Islam Nusantara (1) Lokalitas, Manuskrip dan Karakter Bangsa

 
Islam Nusantara (1) Lokalitas, Manuskrip dan Karakter Bangsa

LADUNI.ID - Satu hal yang penting dalam hidup adalah tekad bahwa semangat belajar tidak boleh kendor, apalagi yang berkaitan dengan perkembangan dan pemahaman atas nilai-nilai Islam. Karenanya, perhelatan "The 3rd International Workshop and Training on Islam Nusantara Research Methodology" yang baru saja diadakan oleh PW LTN NU Jatim, Aspirasi dan Universitas Yudharta (26-27 September 2019) di Pondok Pesantren Ngalah Pasuruan, adalah wujud kesadaran untuk mengawal terlahirnya individu-individu yang sadar literasi, khususnya literasi berbasis "Islam Nusantara Studies", yakni kesadaran untuk terus belajar dan menuliskannya dalam konteks kekinian melalui kajian lokal.

Istilah Islam Nusantara sudah tidak perlu diperdebatkan lagi sebab ia bukan madhab baru dalam ber-Islam, apalagi agama baru.
ليس اسلام نوسانتارا مذهبا جديدا او دينا جديدا.

Hanya saja mereka yang terlanjur berdasarkan like and di-slike -baik berlatar pada temanya atau hanya melihat pengusungnya NU- masih ada saja yang tidak mau melihat dengan kesadaran belajar melalui proses dialektika keilmuan yang jujur, jauh dari prasangka-prasangka, termasuk perlunya menggunakan perangkat metodologis yang beragam.

Dengan begitu, Islam yang sampai kepada kita, penduduk Nusantara, telah mengalami pergumulan yang sangat panjang; dengan berbagai macam budaya lokal yang saling berkomunikasi. Tidak salah bila kemudian, banyak ditemukan kitab tafsir atau fikih dan lain-lain sangat mempertimbangkan budaya lokal, ketika penulisnya menuangkan gagasan dalam memahami teks-teks keagamaan.

Nadhirsyah Hosen, salah satu nara sumber yang hadir dalam acara ini menjelaskan kaitan dengan pergumulan Islam dengan budaya, bahwa perkembangan Islam selalu bersinggungan dengan budaya, bukan hanya sekarang, tapi sudah cukup lama. Sebut saja misalnya, Tafsir Al-Qurtubi, yang penulisnya "Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abu Bakar Farh al-Anshari al-Ansor al-Qurtubi" berasal dari Qurthub (Cordoba, Spanyol).

Dengan begitu, kita menemukan beragam karya ulama Nusantara selalu dinisbatkan dengan daerah dimana mereka berasal sebagai bukti adanya dialektika Islam dan budaya. Bahkan, tidak sedikit isu-isu lokal menjadi perbincangan dan perdebatan yang sangat serius hingga menjadi sebuah karya tersendiri, misalnya tentang rokok-kopi, maulid Nabi Muhammad, hukum kentongan jelang masuk waktu sholat, dan lain-lain.

Sebut saja misalnya, kitab "Sharh Sullamul Munajah" karya Syaikh Nawawi al-Bantani cukup serius menjelaskan soal kewajiban sholat menghadap kiblat dengan mempertimbangkan lokalitas beliau yang berasal dari Banten dengan penjelasan yang sangat mendalam berikut gambar petunjuk arah, agar warga kepulauan Banten (baca: Jawa) ketika menghadap Kiblat, sedikit bergeser ke arah utara. Jelasnya Lihat hal: 13-14. Atau salah satu Kitab Syaikhana Kholil Bangkalan, misalnya kitab "Isti'dad al-Maut" fi al-Hatstsi 'ala Dzikri al-Maut wa Fikh al-Janazah (lihat Photo), yang sedang proses cetak ulang, juga bentuk respon atas kondisi lokalitas beliau dalam memberikan petunjuk bagi masyarakatnya kaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kematian, termasuk tatacara merawat jenazah. Dan masih banyak lagi karya-karya Nusantara yang menggambarkan penulisnya sangat kreatif merespon budaya lokal dengan cara pandang Islam penuh ramah dan mengedepankan kesejukan berdialog (wajadilhum billati hiya ahsan).

Maka, wajah Islam Nusantara bukanlah wajah lokalitas secara utuh dan simbolik, tapi wajah Islam yang berdialektika dengan budaya lokal sehingga melahirkan cara pandang yang arif, teduh dan toleran sebagaimana dipraktikkan dan diteladankan oleh para pendahulu kita (khususnya sejak Wali Sanga). Ada kreatifitas tafsir sehingga tidak terjebak pada simbol arabisme, yang mengabaikan substansi ajaran Islam. Maksudnya, Islam bukanlah Arab, tapi risalah Islam dengan akhlaknya yang terus berproses menyapa umat, dengan Arab sebagai proses dakwah awal hingga menyebar ke penjuru dunia.

Karenanya, mendekati Islam -termasuk Islam Nusantara- dengan pendekatan metodologis menjadi sangat penting sehingga terlahir kesadaran utuh bahwa dialektika Islam dan budaya lokal adalah keniscayaaan. Dengan kesadaran ini, konsepsi _sholih likulli zaman wa makan_, _rahmatan li al-'alamin_ atau al-'adah muhakkamah memiliki makna serta momentumnya dengan model kegiatan penuh keluhuran dalam rangka membumikan Islam, mengutip istilah Gus Dur.

Fanatisme terhadap ajaran sah-sah saja, tapi jangan sampai menjadi fanatisme buta yang menjadi sebab merasa paling benar, dan suka menyalahkan yang lain. Karenanya, semangat terus belajar menjadi kunci sehingga ada proses bertambahnya ilmu, sekaligus ada koreksi dan kritik internal sejauhmana praktik keagamaan yang dilakukan?, jika kaitan dengan integrasi Iman, Islam dan Ihsan.

Manuskrip Sebagai Karakter

Mengkaji manuskrip sama halnya _salah satunya_ mengkaji Islam Nusantara, mengingat adanya manuskrip lokal adalah bukti bahwa sebuah bangsa memiliki peradaban literasi yang tinggi. Dan Indonesia (Nusantara) sejatinya adalah salah satu bangsa yang memiliki kekayaan manuskrip yang melimpah dengan berbagai macam info keilmuan di dalamnya; mulai fikih, tasawuf, tauhid, sastra hingga tentang pengobatan ala Nusantara.

Karenanya, banyak bangsa asing telah memiliki beragam manuskrip bangsa ini dengan cara membeli, mendapat hadiah hingga cara-cara picik dengan merampas manuskrip dari tangan pemiliknya. Sungguh sangat disayangkan, sekalipun masih ada ribuan manuskrip yang tersebar di berbagai daerah di Nusantara; baik yang telah dirawat atau belum terawat hingga mengalami kerusakan. Alih-alih membacanya, di antara pemiliknya masih mengangkap manuskrip sebagai naskah sakral yang tidak boleh disentuh apalagi dibaca.

Sungguh, manuskrip memiliki kaitan dengan budaya bangsa sehingga tidak salah orang asing tertarik, dengan jenis barang lama ini. Pastinya, mereka bukan saja menyimpan dan menulis, tapi juga mengkaji kembali dengan bahasa dan tafsir ideologis mereka sehingga tidak salah bila pemahamannya tidak mengindahkan semangat kebangsaan dan keluhuran nilai-nilai Nusantara yang religius.

Karenanya, untuk menyelami dunia manuskrip ini perlu pendekatan filologis agar keberadaannya akan lebih bermanfaat. Filologis berkaitan dengan naskah atau teks lama, yang secara fungsional juga mengupas tentang kodikologi (ilmu yang mempelajari tentang naskah), tekstologi (ilmu yang mempelajari tentang teks, kritik teks dan penggarapan naskah.

Dengan kajian filologis, manuskrip akan lebih bermakna -bukan sekedar barang lama- sebab akan terungkap gambaran yang mengitarinya; mulai jenis kertas, tahun manuskrip itu ditulis hingga kandungan keilmuan yang tersingkap dari makna teksnya. Jadi, manuskrip bukan hanya untuk dipajang apalagi disakralkan secara berlebihan, tapi perlu ditelaah melalui titik signifikansi makna sesuai dengan konteks kekinian.

Untuk mencapai tujuan itu, kajian filologis terhadap manuskrip membutuhkan alat bantu keilmuan lain, misalnya, sosiologi, antropologi (budaya), kritik wacana kritis hingga fenomenologi. Dengan perangkat ini akan memudahkan peminatnya dalam membaca, menafsirkan serta melakukan kontekstualisasi manuskrip dengan kehidupan terkini.

Akhirnya, mengkaji Islam Nusantara melalui naskah-naskah ulama Nusantara, secara khusus, akan memberikan pengetahuan kepada khalayak, bagaimana ulama Nusantara sangat kreatif membumikan normatifitas Islam dalam bingkai dialektika nilai budaya lokal sehingga memunculkan sikap tegas, sekaligus ramah. Tegas sebab berkaitan dengan keputusan strategis yang berkaitan dengan kemaslahatan publik. Dan ramah sebab para Ulama menyadari betul jalan kerahmatan adalah salah satu nilai luhur Islam, yang layak dijaga tanpa kenal lelah.

Pada titik ini, kita memahami bahwa kajian Islam Nusantara akan menuntun hadirnya hikmah kehidupan kaitan bagaimana Islam itu berkembang? Melalui basis keilmuan, sekaligus basis dialog dalam bingkai akhlakul karimah. Semoga kita senantiasa diberikan kesadaran untuk memahami Islam Nusantara dengan penuh kejujuran, bukan berdasarkan like and dis-like. Dengan begitu kita akan menikmati indahnya karakter bangsa yang selalu menjaga kedamaian dalam keragaman penduduknya. Amin.

Oleh: Dr Wasid Mansyur