Etika Studi Al-Qur'an

 
Etika Studi Al-Qur'an
Sumber Gambar: flickr.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Saat ini manusia hidup di zaman yang penuh dengan persoalan. Di dalam inti persoalan dan konflik yang hadir saat ini kadang-kadang menjadi ancaman tersendiri terhadap "kehadiran" kitab suci bagi setiap pemeluk agama. Ancaman tersebut berupa degradasi kepercayaan mengenai relevansi kitab suci terhadap realitas. Kitab suci seakan kurang harmonis menyapa realitas. Padahal dalam pengalaman keberagamaan, kitab suci atau Al-Quran dalam hal ini menjadi kitab yang paling banyak dibaca oleh manusia sepanjang masa. Tetapi kenapa seakan pembacanya tidak mampu membuat konstribusi yang siginifikan dalam menyelesaikan sejumlah persoalan.

Persoalan berikutnya mengenai kitab suci tidak hanya persoalan minimnya solusi terhadap persoalan kekinian, tetapi malah persoalan itu justru muncul dari para pembaca kitab suci itu sendiri. Hampir sering ditemukan, betapa perseteruan antar individu dan kelompok itu kerap muncul setelah mereka melakukan pembacaan terhadap kitab suci. Kitab suci dalam hal ini menjadi "tameng" masing-masing kelompok untuk memenangi dan bertahan di tengah pertarungan mengenai apa yang dipahami sebagai kebenaran dan kepentingan.

Baik persoalan pertama maupun yang kedua di atas, menunjukkan bahwa relasi kitab suci dan realitas sosial sangat bergantung kepada pembacanya. Para pembaca ini yang memiliki tanggung jawab terhadap segala perubahan dari hasil bacaan teks kitab suci. Jika melihat secara jernih terhadap mata rantai persoalan ini, salah satu persoalan yang cukup memiliki siginifikansi strategis terhadap perubahan sosial, baik penyelesaian masalah maupun konstribusi produktif lainnya terdapat pada pembaca dan teks itu sendiri, dalam keterpisahan antara pembaca dan teks maupun dalam relasi keduanya.

Persoalan metodologis-epistemologis pembacaan teks sejatinya sudah terdapat keilmuan yang matang. Tetapi itu pun sebenarnya belum cukup memadai untuk meredam kehadiran konflik, khususnya konflik internal sendiri, para pembaca kitab suci. Terdapat ethic norm (standar etika) yang banyak dilupakan oleh para pembaca dan pengkaji kitab suci. Mereka terjebak pada logic norm (standar logika) semata, sehingga pertarungannya bukan penyelesaian solusi tetapi siapa yang lebih logis dan valid.

Para pengkaji kitab suci menempatkan kitab semata-mata sebagai subyek pengetahuan ilmiah, yang kemudian darinya segala persoalan dapat diatasi. Padahal hal tersebut bukanlah satu-satunya. Kitab suci itu rumah besar yang menanungi urusan dunia dan akhirat, urusan individu dan kelompok, laki-laki dan perempuan, orang tua dan anaknya begitulah seterusnya. Kitab suci tidak sesederhana yang dipahami oleh banyak orang saat ini. Karena itu norma etika itu menjadi penting hadir dalam setiap kajian kitab suci.

Salah satu argumentasi mengenai norma etika dalam mengkaji kitab suci adalah, bahwa mengkaji kitab suci itu merupakan proses perjalanan pemahaman personal yang tidak boleh bertujuan melawan kelompok tertentu atau cenderung memihak pada kelompok tertentu yang lain. Proses itu harus terus berjalan dan berupaya menghubungkan dengan proses perjalanan pemahaman dan respons orang lain terhadap teks yang sama, baik yang hadir saat ini ataupun yang telah hadir dalam sejarah.

Argumentasi norma etika berikutnya adalah, bahwa koreksi pemahaman itu tidak untuk orang lain tetapi adalah pertanyaan terhadap sejumlah pemahaman tentang bagaimana pemahaman itu hadir. Pemahaman itu harus dibedakan dari berbagai kecenderungan, harus membuka ruang selebar-lebarnya untuk melakukan eksplorasi ke berbagai konteks yang memungkinkan dihubungkan dengan kitab suci.

Dalam pandangan norma etika, para pengkaji kitab suci itu berada pada posisi yang sama. Memiliki kesempatan dan akses yang sama tanpa harus mendiskriminasi dan memonopoli otoritas pemahaman terhadap teks kitab suci.

Problem klasik yang sering muncul dalam kajian kitab suci adalah perbedaan dikotomis antara pengkaji atau pembaca tesk asli dan pembaca terjemahan. Pemahaman umum telah membuat pembeda kualitas antara dua pembaca yang memiliki kemampuan dasar yang berbeda.

Pembaca yang memiliki kemampuan membaca teks asli dari kitab suci dianggap lebih otoritatif daripada pemahman yang disampaikan oleh pembaca teks melalui terjemahan. Barangkali strukturalisasi ini dapat dibenarkan, tetapi belum tentu cukup mampu menyelesaikan persoalan. Argumentasi norma etika dalam persoalan perbedaan kapasitas para pembaca teks kitab suci adalah, dari mana pun para pembaca itu berangkat untuk membaca teks kitab suci, tentu sangat bergantung pada upaya keras dan perjuangannya dalam memahami teks kitab suci.

Jika melihat dimensi pembaca secara umum, baik yang memiliki kualifikasi yang baik maupun mereka yang baru memulai. Sementara kehadiran teks kitab suci itu sendiri adalah dua hal yang berbeda. Pembaca datang dengan kognisi dan pengalaman parsialnya, sementara kitab suci hadir denga keluasan dan keabadiannya. Pembaca dengan kualitas tinggi pun, dia tetap hadir dengan kejernihan kognisi dan pengalaman yang parsial dan tentatif. Oleh karena itu seluruh pemahaman manusia tentang kitab suci yang kekal (melintasi, masa lalu, saat ini dan masa yang akan datang) dan luas itu akan selalu terbuka untuk mengakomodir urun pemahaman dari orang lain. Tidak ada pembaca yang sampai pada pembacaan yang selesai dan absolut. Seluruh pembaca kitab suci harus terus berupaya keras untuk memahami dan menghormati Al-Qur'an dengan cara terus melakukan pembacaan dan menghormati apa yang disampaikan orang lain. Dengan cara seperti itulah pemahaman tentang kitab suci akan sampai pada pemahaman yang dapat diakui bersama.

Al-Quran satu sisi adalah kitab suci umat Islam, tetapi Al-Quran tidak hanya boleh dipahami oleh umat Islam. Al-Quran hadir sebagai petunjuk bagi seluruh manusia, oleh karena itu maka peruntukannya juga untuk kemanusiaan. Segala pemahaman boleh disampaikan oleh siapapun tanpa dikhususkan bagi yang mengimaninya saja. Memang beberapa ayat dikhususkan bagi mereka yang beriman tetapi ayat-ayat yang lain memliki fungsional yang lebih luas untuk seluruh manusia. Dalam konteks studi Al-Qur'an, seorang Muslim tidak boleh merasa tabu dengan tafsir-tafsir yang dilakukan oleh orang Nonmuslim, karena mereka punya hak yang sama untuk membaca Al-Qur'an.

Maka persoalan pokok dalam studi Al-Qur'an dan relasinya dengan konstribusi umat Islam terhadap sejumlah persoalan kehidupan bukan berada pada persoalan metodologis, akan tetapi berada pada problem etis. Persoalan etis tersebut adalah sikap para pembaca dan pengkaji Al-Qur'an dalam memperlakukan pembaca dan pengkaji yang lain dalam bacaan dan pemahaman terhadap teks yang sama. Sikap terbuka dan akomodatif adalah prinsip etis yang akan mampu membawa Al-Qur'an pada jati dirinya sebagai hudan linnas. Wallahu A’lam bis Showab. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 02 Oktober 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Ach. Tijani (Lakpesdam PC NU Kota Pontianak)

Editor: Hakim