Doa Sendiri-sendiri Saat Wabah Penyakit Melanda

 
Doa Sendiri-sendiri Saat Wabah Penyakit Melanda

LADUNI.ID, Jakarta -  Ulama ahli hadis dari Mesir yang bermadzhab Syafii, Al-Hafidz Ibnu Hajar mencatat peristiwa penularan wabah penyakit yang terjadi di Mesir:

وفي نصف جمادى الآخرة جمع الشريف كاتب السر أربعين شريفاً اسم كل منهم محمد وفرق فيهم مالاً، فقرأ بعد صلاة الجمعة بالجامع الازهر ما تيسر من القرآن، فلما أن قرب العصر قاموا فدعوا وضجوا. وكثر الناس معهم في ذلك إلى أن صعد الأربعون إلى السطح فأذنوا العصر جميعاً وانفضوا، وكان بعض العجم قال للشريف إن هذا يدفع الطاعون، ففعل ذلك فما ازداد الطاعون إلا كثرة حتى دخل رجب، فلما دخل رجب تناقص

Pada pertengahan Jumada Akhir (833 H) seroang Syarif mengumpulkan 40 orang syarif yang masing-masing memiliki nama Muhammad. Ia membagikan harta kepada mereka. Setelah Jumat ia membaca beberapa ayat Al-Quran. Setelah hampir Ashar mereka berdiri, berdoa dan menjerit. Orang-orang bersama mereka sampai ke 40 syarif tadi naik ke loteng masjid, mengumandangkan adzan Ashar dan membubarkan diri. Ada orang non Arab berkata kepada Syarif tadi: “Cara ini dapat menghilangkan tha’un”. Ia pun melakukannya, namun tha’un (wabah penyakit) semakin banyak hingga masuk bulan Rajab. Setelah masuk Rajab menjadi berkurang.

ولما اشتد الامر بالطاعون أمر السلطان باستفتاء العلماء عن نازلة الطاعون هل يشرع الاجتماع للدعاء برفعه أو يشرع القنوت له في الصلوات؟ وما الذي وقع للعلماء في الزمن الماضي؟ فكتبوا الأجوبة وتشعبت آراؤهم وتحصل منها على انه يشرع الدعاء والتضرع والتوبة، وتقدم قبل ذلك التوبة، والخروج من المظالم، والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، وانهم لا يستحضرون عن أحد من السلف أنهم اجتمعوا لذلك إلا أن الاجتماع أرجى للإجابة؛ وأجاب الشافعي بجواز القنوت، لأنها نازلة وقد صرح الشافعية بمشروعية القنوت في النوازل، وأجاب الحنفي والمالكي بالمنع

Ketika musibah thaun (wabah penyakit) ini makin menjadi-jadi maka Sultan memerintahkan untuk meminta fatwa kepada para ulama, apakah disyariatkan berkumpul dalam rangka berdoa agar thaun ini hilang ataukah qunut nazilah dalam shalat? Apa yang terjadi di masa ulama terdahulu? Para ulama menulis jawabannya dan pendapat mereka beragam. Kesepakatan di antara mereka bahwa dianjurkan untuk berdoa, merendahkan hati kepada Allah dan bertaubat. Sebelum itu didahului dengan tekat untuk lepas dari perbuatan zalim, mengajak pada kebaikan dan mencegah dari keburukan. Dan mereka tidak menghadirkan dari ulama Salaf untuk berkumpul dalam rangka berdoa, hanya saja berkumpul lebih besar harapan terkabulnya (namun tidak jadi dilakukan, red). Madzhab Syafii menjawab boleh melakukan qunut nazilah. Sementara Madzhab Hanafi dan Maliki melarang qunut nazilah.

ثم طلب القضاة والعلماء إلى حضرة السلطان فقرئت الفتاوى وفسرها له محب الدين ابن الأقصراني فأجاب: أنا أتابع الصحابة والسلف الصالح ولا أخرج بل كل أحد يبتهل إلى الله تعالى في سره!

Kemudian para Qadhi (hakim) dan para ulama meminta kepada Sultan, lalu dibacakan fatwa dan ditafsirkan oleh Muhibbuddin bin Aqsharani. Ia menjawab: “Saya mengikuti para Sahabat dan ulamaf Salaf. Saya tidak keluar. Bahkan setiap orang merendahkan diri kepada Allah dan berdoa saat menyendiri!” (Inba’ al-Ghumr bi Abna’ al-Umr 2/71)

Oleh: Ustadz Ma'ruf Khozin
_______________________________________________________________-
Aktifkan Nada Sambung pribadi Tausiyah Ustadz Ma'ruf Khozin "LIMA ALAM KEHIDUPAN"
Dengan cara kirim SMS: LAKDO kirim ke 1212
Tarif: Rp. 3850 / 7 hari