Rektor Al-Azhar Puji Kealiman Kiai Afifuddin Muhajir

 
Rektor Al-Azhar Puji Kealiman Kiai Afifuddin Muhajir

LADUNI.ID, Jakarta - Alhamdulillah, saya bersyukur termasuk orang yang beruntung dapat belajar secara langsung Kepada Al-Mukarram KH. Afifuddin Muhajir sejak tahun 1995 hingga saat ini. Berarti sekitar 25 tahun kebersamaan  dengan belau. Bagi saya, rentang waktu 25 tahun adalah waktu yang sangat cukup untuk berkata jujur dalam menggambarkan sosok panutan ini, di mana saya menyaksikan langsung hal ihwal beliau  dari hari demi hari.

Secara simpel, saya menemukan dua hal yang istemewa pada diri beliau. Pertama, kedalaman ilmu (al-Kafayah al-Ilmiah), kedua keluhuran budi pekerti (al-Kafayah al-Khuluqiyah). Dua hal inilah yang menjadikan sosok Kiai Afif sebagai referensi  hidup, bukan hanya dalam ilmu pengetahuan akan tetapi dalam akhlak kebaikan.

Soal kedalaman ilmu, hampir sudah disepakati bersama (muttafaq alaih) bahwa sosok Kiai Afif adalah seorang kiai yang alim yang rasikh dan mutabahhir, utamanya dalam kajian fikih-usul fikih. Kedalaman ilmu Kiai Afif sangat nampak terbaca dari kemampuan beliau menyederhanakan beberapa hal yang begitu rumit dan kompleks menjadi tampak mudah dicerna. Dalam forum-forum Bahtsul Masail, forum-forum akademik, beliau begitu tenang, runut dalam menjelaskan sesuatu.

Jauh sebelum itu, tepatnya ketika saya masih menjadi santri dan mengaji kitab kepada beliau baik di kelas dan pengajian umum, kemampuan Kiai Afif mengelaborasi konten kitab kuning begitu terlihat di jelas. Kitab Fath al-Wahhab dan Jamu al-Jawami, yang merupakan kitab angker bagi para santri –bahkan mungkin juga di kalangan masyaikh -, ketika beliau yang membacakan seperti begitu “lunak”. Intonasi, titik koma jeda, dan cara beliau membaca sudah memberi titik awal pemahaman. Jadi sebelum beliau menjelaskan, benih-benih pemahaman sudah mulai “disusupkan” pada memori para santri.

Tentu ini bukan hasil yang diperoleh secara instan akan tetapi melalui proses dan kerja keras yang panjang. Konon katanya beliau sejak usia 20 tahun sudah terbiasa membacakan kitab dan sampai detik ini beliau terus disibukkan dengan talim dan taalum. Mungkin karena perjalanan panjang beliau dalam dunia kitab kuning juga sangat berpengaruh dalam penguasaan bahasa arabnya, baik lisan ataupun tulisan. Karyanya Fath al-Mujib al-Qarib yang kemudian diberi pengantar oleh Syaikh Wahbah al-Zuhaili adalah bukti soal kecakapan bahasa Arab pasif beliau.

Begitu pula dalam penguasaan bahasa Arab aktif. Adalah Syaikh Ibrahim Shalah al-Hudhud, seorang mantan Wakil Rektor Universitas al-Azhar Mesir yang dikenal ahli Balaghah ketika diundang memberi orasi ilmiah di Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo juga tak luput memberi sanjungan pada kemampuan bahasa arab Kiai Afif. Cara beliau memilih diksi tampak begitu sangat rapi. Begitupula beberapa masyayikh Timur-Tengah yang kebetulan hadir ke Mahad Aly Situbondo, terpukau ketika Kiai Afif memberi kata pengantar diskusi (Kalimah al-Tarhib). Biasanya para masyayikh bertanya, “Apakah Kiai Afif lulusan Perguruan Tinggi Madinah atau al-Azhar?” Penulis yang biasanya ditanya oleh para tamu tersebut menjawab dengan tegas bahwa sepengetahuan saya beliau tidak pernah kuliah di Timur Tengah, tetapi asli produk Pesantren Sukorejo.

Dalam konteks itulah kadang, saya merasa keder ketika diminta untuk memoderatori para masyayikh dan kebetulan ada beliau. Saya pribadi sering “menghindar” bila sekedar diminta menerjemahkan teks Indonesia ke Arab atau sebaliknya. Bukan tidak mau akan tetapi jujur penulis merasa begitu kerdil di hadapan beliau.

Dalam forum-forum Bahtsul Masail, baik yang diselenggarakan oleh internal pesantren hingga taraf Nasional oleh PBNU, Kiai Afif selalu diminta untuk menjadi Tim Perumus utama. Yang begitu khas adalah beliau memberikan jawaban yang elaboratif dan ekspansif, tidak hanya merumuskan soal halal-haram, akan tetapi juga memaparkan alur befikir, kenapa halal? Kenapa haram? Beliau selalu menghindar memberi jawaban pertanyaan secara hitam-putih, istilah beliau rumusan jawaban tanya-jawab ala MI (Madrasah Ibtidaiyah) karena di samping tidak membumi juga cenderung tidak memberi pencerahan dan solusi kepada masyarakat.

Sisi lain, yang juga menjadi nilai lebih beliau adalah keluhuruan budi pekerti, jiwa yang bersih sehingga menyebabkan orang yang duduk bersama beliau, menatap wajahnya memberikan kesejukan hati dan keteduhan jiwa. Itulah fakta yang saya rasakan saat duduk bersama beliau di Kantor Ma’had Aly. Suasana kebatinan ini ersis seperti yang saya rasakan ketika masih ada Allahyarham Kiai Ach. Hariri Abd. Adhim dan Kiai Moh. Hasan Basri, Lc. Tiga sosok panutan yang menjadi pilar utama penyangga eksistensi Ma’had Aly Situbondo.

Di kantor Mahad Aly beliau juga tidak segan mendengarkan beberapa obrolan para santrinya yang sudah menjadi pengurus, beliau menyimak dengan serius celotehan kami yang sejati tidak berbobot. Beliau sebenarnya sudah paham dan tahu apa yang kami bicarakan. Namun, demi sebuah penghargaan beliau berikan sekaligus sebagai contoh keteladanan, ilmu yang beliau memiliki tidak digunakan dengan sewenang-wenang untuk membungkam orang lain. Itulah bukti ke-tawadhu’-an beliau.

Ada banyak cerita  sebenarnya yang ingin diutarakan dari testimoni orang-orang tentang kewaraan beliau. Namun pembatasan jumlah halaman mengharuskan saya membatasi diri. Hanya ada satu penggal cerita keteladanan beliau yang saya saksikan secara langsung.

Suatu waktu, saya berkesempatan mendampingi beliau melakukan kunjungan kepada para santri Mahad Aly yang sedang melakukan pengabdian (PPM) di beberapa pesantren. Sebagai acara resmi, panitia sudah menyiapkan uang tranpost untuk beliau sesuai aturan yang berlaku. Masih lekat dalam ingatan saya, saat itu kami pantia menumpang mobil beliau merk Panter Turbo berwarna hitam. Sungguh pelajaran berharga bagi kita semua, khususnya yang sedang mengabdi di pesatren ataupun lembaga sosial yang sumber pendanaannya berasal dari umat atau negara. Ternyata jumlah uang yang disediakan panitia tidak diterima semua, beliau hanya  membeli bensin seukuran jarak yang ditempuh. Uang sisanya diserahkan kepada panitia untuk dikembalikan kepada lembaga MA.

Dua hal itulah —di samping banyak hal lain—yang sangat berkesan dalam diri saya ketika membicarakan sosok Kiai Afifuddin Muhajir, yang sebentar lagi akan menerima gelar kehormatan (Dr. Hc) bidang Fiqh-Usul Fiqh dari Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. Selamat Kiai, semoga sehat selalu dan panjang umur sehingga kami terus bisa belajar banyak hal kepada ajunan.(*)

***

Penulis: Ustaz Kharuddin Habziz
Sumber: Tanwirul Afkar
Editor: Muhammad Mihrob