Renungan Seputar Makna Hikmah

 
Renungan Seputar Makna Hikmah
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Kehidupan sudah menyajikan ragam peristiwa, ada yang menimbulkan kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan. Begitu juga ragam peristiwa yang menyayat perasaan, kesedihan, nestapa, kesengsaraan, dan pilu. Semua kita pernah merasakan, laki-laki maupun perempuan. Seolah kehidupan adalah roda yang terus berputar, ada kalanya di atas, ada kalanya di bawah, ada saatnya cepat ada pula saatnya lambat. Masa dulu adalah kenangan, kemarin adalah pengalaman, saat ini adalah kenyataan dan esok adalah harapan. Silih berganti keadaan hidup dialami oleh setiap manusia.

Saat menghadapi masalah hidup tidak sedikit menyelesaikannya dengan cara singkat, potong kompas, dan irrasional. Ada juga yang tetap dapat menyelesaikan problematika hidup dengan cara sadar nalar, jiwa tenang dan hati yang luas. Dari persoalan-persoalan hidup itulah kita lalu dapat memetik makna atau hikmahnya.

Menurut Muhammad Quraish Shihab, hikmah juga diambil dari kata hakama yang pada awalnya berarti menghalangi. Dari awal mula kata yang sama maka dibentuklah kata yang memiliki makna kendali, yaitu sesuatu yang fungsinya mengantarkan kepada yang baik serta menghindarkan yang buruk. Lalu dalam rangka mencapai maksud tersebut, maka diperlukan pengetahuan serta kemampuan untuk menerapkannya.

Hikmah adalah suatu proses yang telah dilalui seseorang dalam hal agama ataupun dalam kehidupan sehari-harinya. Ketika orang tersebut sedang dalam fase quarter life crisis, maka hikmah yang diperoleh adalah bahwa hal itu akan dapat mengajarkan kita arti kedewasaan dalam mengambil sikap.

Ibnu Manzhur, penyusun kamus terkenal yang berjudul Lisan Al-‘Arab, mendefinisikan makna hikmah sebagai “Ma’rifah Afdhalil Asyya' bi Afdhalil ‘Ulum” (mengenali hal-hal paling utama dengan pengetahuan paling utama). Orang kemudian mengidentikkan makna hikmah sebagai filsafat atau pengetahuan filosofis.

Sedangkan dalam bahasa Indonesia, hikmah sering disebut dan dimaknai sebagai “kebijaksanaan”. Orang yang memiliki kebijaksanaan disebut “hakim” (orang yang bijaksana). Kata ini sering juga diterjemahkan sebagai “filsuf”. Sementara di dalam dunia Islam, kata Al-Hakim identik digunakan untuk menyebut sang sufi.

Ibnu Katsir dan At-Thabari, dua sosok maha guru para ahli tafsir, menyampaikan pandangan beragam mengenai tafsir atas kata ini. Keduanya menyimpulkan bahwa semua pendapat para ulama atas kata ini, meski dengan uraian yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya sama, bahwa kata Al-Hikmah adalah mengandung pengertian Al-Ishabah fil Umuri, yakni tentang kebenaran dalam berbagai perkara.

Sementara, Al-Hikmah menurut Imam Al-Jurjani, sebagaimana yang tertuang dalam kitabnya At-Ta'rifat, dimaknai sebagai berikut:

اَلْحِكْمَةُ هِيَ عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ حَقَائِقِ الْاَشْيَاءِ عَلَى مَا هِيَ عَلَيْهِ فِي الْوُجُوْدِ بِقَدْرِ الطَّاقَةِ الْبَشَرِيَّةِ

“Al-Hikmah adalah ilmu yang membahas di dalamnya tentang hakikat-hakikat sesuatu terhadap yang dialami dengan kadar kemampuan manusia.”

Sedangkan Imam Ibnu Athaillah As-Sakandari dalam masterpiecenya, Kitab Al-Hikam, menyatakan:

رُبَّمَا أَعْطَاكَ فَمَنَعَكَ وَرُبَّمَا مَنَعَكَ فَأَعْطَاكَ

“Bisa jadi Allah memberimu suatu anugerah kemudian menghalangimu darinya, dan boleh jadi Allah menghalangimu dari suatu anugerah kemudian Ia memberimu anugerah yang lain.”

Imam Ibnu Athaillah melanjutkan kalam hikmahnya:

مَتَى فَتَحَ لَكَ بَابُ الْفَهْمِ فِي الْمَنْعِ عَادَ الْمَنْعُ عَيْنَ الْعَطَاءِ

“Ketika Allah membukakan pintu pemahaman kepadamu tentang pencegahannya dari suatu anugerah, maka penolakan Allah itu pun berubah menjadi anugerah (hikmah) yang sebenarnya.”

Kalam hikmah Imam Ibnu Athaillah di atas terkonfirmasi oleh ayat Al-Qur’an berikut:

وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ، وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Boleh jadi kalian tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagi kalian dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Karenanya, orang-orang pilihan yang telah mencapai derajat Al-Ma’rifat Billah, sering merasa takut ketika ia menerima anugerah Allah SWT. Hal ini bisa dilihat dengan pernyataan Syaikh Ibnu Ajibah berikut ini:

اَلْعَارِفُوْنَ إِذَا بُسِطُوا أَخْوَفُ مِنْهُمْ إِذَا قُبِضُوْا

“Orang-orang Al-'Arif Billah lebih takut ketika diberikan kelapangan daripada diberikan kesempitan.” (Ibnu Ajibah, Iqodlul Himam, hlm. 97)

Sementara itu, bagi umat Islam di Indonesia kata hikmah ada yang menganggapnya lebih identik dengan kumpulan ilmu yang terdiri dari asma, hizib, dzikir, ijazah shalawatan dan atau wifiq. Semuanya itu dimaknai sebagai perantara terkait hal-hal metafisik. Padahal, rata-rata para kyai yang disowani tidak pernah mengaku sebagai kyai hikmah, meski terkadang memang beliau memiliki keistimewaan akan hal itu.

Memang ada dalam ilmu hikmah terkait bermacam-macam kekuatan, kejadugan dan kedigdayaan. Tetapi kini banyak orang yang berlatarbelakang konservatif justru lebih memilih yang rasional, meski pada saat yang sama juga harus diakui bahwa untuk hidup sekarang dan seterusnya, kebutuhan akan spritualitas masih sangat diperlukan, tentu dengan pemaknaan rasionalitas dan irrasionalitas yang bersamaan. Karena itu sisi spiritualitas tidak akan pernah ditinggalkan, apalagi jika diamati lebih jauh bahwa kecenderungan manusia post modernisme akan lebih mencari nilai-nilai spiritualisme ketika dunia hanya dimaknai sebagai kehidupan yang bebas nilai, yang akhirnya mengarah pada kehampaan nilai. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 25 Agustus 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Hamdan Suhaemi

Editor: Hakim