Memahami Makna Iradah dan Ridho Allah

 
Memahami Makna Iradah dan Ridho Allah
Sumber Gambar: demilked.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Iradah dan Ridho Allah adalah dua hal yang sering dicampur aduk oleh nafsu seseorang, sehingga akalnya pun ikut bingung. Para ulama telah memberi garis pemisah yang jelas antara keduanya, tapi nafsu terus mengajak agar keduanya dicampur aduk. Dan akhirnya kebingungan sendiri dalam menentukan sikap.

Iradah adalah sifat Allah yang mutlak dan mencakup segalanya, di mana dengan sifat ini Allah menentukan kapan terjadinya sesuatu, bagaimana prosesnya, bagaimana hasilnya, di mana tempatnya, bagaimana kualitas dan kuantitasnya dan seterusnya. Jadi, segala kejadian di dunia ini, apa pun itu adalah hasil dari iradah Allah. Namun iradah ini adalah wilayah Tuhan, tidak ada sangkut pautnya dengan manusia kecuali bahwa manusia harus meyakini keberadaannya.

Sedangkan ridho bukanlah sifat yang melekat pada Allah, hal itu adalah istilah untuk menunjukkan bahwa tindakan baik atau ibadah manusia direstui oleh Allah. Setiap kali manusia menjalankan perintah Allah dengan baik, maka Allah akan ridho dan memberikan pahala kepadanya. Sebaliknya, setiap kali manusia berbuat jahat atau maksiat, maka Allah akan memberinya kemarahan berupa hukuman. Inilah wilayah yang menjadi urusan manusia.

Namun nafsu selalu saja tergerak membawa aspek ridho yang merupakan wilayah urusan manusia ini ke aspek iradah yang sebenarnya bukan urusannya. Ketika dia melakukan pelanggaran, maka nafsunya akan berbisik bahwa pelanggaran ini pun sebenarnya iradah Allah. Sebaliknya, ketika para ulama menjelaskan aspek iradah, maka nafsunya akan berbisik mengingatkan bahwa maksiatnya juga masuk di bawah aspek itu.

Orang yang bodoh akan termakan hasudan nafsu itu dan dia merasa benar dengan hal itu, padahal dia semakin tersesat jauh sekali. Nabi Muhammad SAW pernah sangat marah pada beberapa sahabat yang membahas takdir (aspek iradah) tidak pada tempatnya. Orang yang mengikuti nafsunya mencampur aduk kedua aspek ini sejatinya mengikuti jejak orang-orang musyrik yang disinggung dalam Surat Al-An'am ayat 148.

سَيَقُوْلُ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْا لَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ مَآ اَشْرَكْنَا وَلَآ اٰبَاۤؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍۗ كَذٰلِكَ كَذَّبَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتّٰى ذَاقُوْا بَأْسَنَاۗ قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِّنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوْهُ لَنَاۗ اِنْ تَتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِنْ اَنْتُمْ اِلَّا تَخْرُصُوْنَ

Artinya, “Orang-orang musyrik akan berkata, ‘Jika Allah menghendaki, tentu kami tidak akan mempersekutukan-Nya, begitu pula nenek moyang kami, dan kami tidak akan mengharamkan apa pun.’ Demikian pula orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan azab Kami. Katakanlah (Muhammad), ‘Apakah kamu mempunyai pengetahuan yang dapat kamu kemukakan kepada kami? Yang kamu ikuti hanya persangkaan belaka, dan kamu hanya mengira.’” (QS. Al-An’am: 148)

Mereka merasa benar ketika berkata bahwa seandainya Allah berkehendak tentu mereka dan leluhur mereka tidak akan musyrik. Betapa bodohnya mereka ini yang membawa-bawa iradah dalam bab ridho.

Aspek iradah bukan pada tempatnya dibahas atau dicampur aduk pada aspek ridho. Hanya ridho Allah lah yang perlu menjadi perhatian kita sebab di bagian ini kita dituntut bertanggung jawab.


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 14 Oktober 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

Penulis: Ust. Abdul Wahab Ahmad

Editor: Hakim