Mbah Ma’shum Lasem, Kunci Perlawanan Pemberontakan PKI di Rembang

 
Mbah Ma’shum Lasem, Kunci Perlawanan Pemberontakan PKI di Rembang
Sumber Gambar: Dunia Santri

Laduni.ID, Jakarta – Meletusnya pemberontakan PKI pada tahun 1965 tidak hanya menjadi catatan sejarah Bangsa Indonesia, tetapi juga sebagai bukti bahwa santri, kiai, dan pesantren turut andil dalam menumpas gerakan makar tersebut.

Salah satu yang menjadi peran kunci dalam penumpasan PKI di Lasem, Rembang, Jawa Tengah adalah KH. Muhammadun atau yang biasa dipanggil dengan KH. Ma’shum atau Mbah Ma’shum Lasem, ayahanda KH. Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta, sang Rais Am PBNU periode 1981-1984 M.

Kala itu ada salah satu pasukan bersenjata yang membelot (berpihak) pada pemberontak, sehingga menyebabkan kelumpuhan pada pertahanan Indonesia. Mbah Ma’shum akhirnya turun tangan dengan menjadikan Pondok Pesantren Al-Hidayah pusat pemerintahan Lasem sementara.

Mbah Ma’shum menyulap kamar-kamar pondok menjadi pertahanan utama, dengan pintu tertutup dan jendela terbuka, serta senjata yang dihadapkan keluar. Ketika ada serangan dari para pemberontak, maka senjata-senjata itulah yang digunakan untuk serangan balik bagi menghadapi PKI.

Usaha Mbah Ma’shum menjadikan ponpes Al-Hidayah sebagai pusat pemerintahan sementara dan tempat pertahanan tentunya menjadikan beliau sebagai target utama yang harus dibunuh oleh PKI.

Saat itu, Mbah Ma’shum berusia 97 tahun. Namun dengan usia yang sudah cukup sepuh, semangat mempertahankan NKRI Mbah Ma’shum mampu menjadi pemantik semangat juang para santri, ulama, dan warga NU lainnya berperang melawan PKI.

Sebelum itu, telah banyak santri yang mencegah beliau untuk turun tangan dalam menghadapi PKI, mengingat usia yang tak lagi muda. Namun, beliau tetap bersikeras turun tangan, hingga beliau keluar dari Lasem dengan dikawal oleh beberapa santri sebagai pengayuh becak secara bergantian.

Menempuh waktu selama dua bulan, Mbah Ma’shum bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Dalam perjalanannya tersebut, Mbah Ma’shum selalu berada dalam perlindungan Allah, hingga akhirnya pemberontakan berhasil diredam dan kondisi bisa kembali pulih seperti sedia kala.

Kecintaan beliau terhadap NKRI dan NU tertuang dalam beberapa maqolah beliau, salah satunya ialah:

“Jangan sekali-kali membenci NU. Siapapun yang membenci NU berarti membenci aku. Karena NU itu saya yang mendirikan bersama Ulama-ulama lainnya.”

Wafat di usia 104 tahun, Mbah Ma’shum meninggalkan banyak sekali pelajaran. Wafatnya Mbah Ma’shum tak bisa digantikan oleh ulama manapun juga, sama seperti wafatnya Syekh Abdul Qadir Jailani dan wafatnya Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari.


Editor: Daniel Simatupang