Teori Mahabbah Imam Al-Ghazali: Aspek, Etika dan Estetika

 
Teori Mahabbah Imam Al-Ghazali: Aspek, Etika dan Estetika
Sumber Gambar: Ilustrasi/Pexels

Laduni.ID, Jakarta – Tanpa dipungkiri berbicara mengenai cinta (mahabbah) dan berspekulasi tentang etimologinya itu sudah booming dikalangan dunia. Mahabbah juga menjadi salah satu pokok penting dalam Islam, yang mana dalam Islam ajaran mahabbah kepada Allah bukan suatu hal yang baru, karena sejak baginda Rasulullah memang telah mengajarkan perihal ajaran mahabbah.

Sebagian besar para sufi menjadikan mahabbah sebagai kajian ajaran pokok atau cikal bakal dalam tasawuf, guna menuju kehidupan yang zuhud (asketisisme). Makna mahabbah bagi para sufi merupakan sumber kecemerlangan Islam dan ruh yang mendasari ajaran tasawuf. Di antara salah satu tokoh sufi terkemuka yang membahas kajian mahabbah adalah Imam al-Ghazali.

Teori mahabbah yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali muncul dikarenakan situasi dan kondisi hidup parahnya penyakit kala itu. Ia merasa bahwa tidak ada pelindung selain Allah, maka ia menghadap dan mencintai Allah secara keseluruhan dengan hati yang tulus, serta berzuhud meninggalkan semua kenikmatan duniawi yang akan hancur. Dengan mahabbah seorang akan mempunyai nilai keimanan lebih di sisi Allah SWT.

Dari sikap dan teori yang demonstrative, ini menunjukkan bahwa Imam al-Ghazali juga ikut berkontribusi mensosialisasikan perihal teori cinta tanpa pamrih, yang disebabkan oleh keprihatinannya terhadap strata ibadah yang dilakukan oleh para zahid dan sufi pada periode itu.

Mahabbah perspektif Imam al-Ghazali adalah tendensi hati kepada sesuatu yang memuaskan. Jika tendensi tersebut semakin mematok, maka berubah menjadi 'isyq (asyik-masyuk) yang namanya bukan lagi mahabbah. Jika dijabarkan, mahabbah merupakan tendensi hati pada sesuatu yang disayangi serta disukai, lalu menerangkan segenap otoritas dan usaha guna melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya.

Imam al-Ghazali dalam kitab monumentalnya Ihya’ Ulumuddin, merumuskan ada beberapa faktor (sebab) yang mempengaruhi atau menimbulkan lahirnya mahabbah, diantaranya; Pertama, mahabbah manusia terhadap diri sendiri, dan berambisi supaya keabsolutan serta kesempurnaan dirinya. Sebab orang yang mengenal dirinya dengan ma’rifah yang benar, maka akan mengenali atau mencintai Allah.

Kedua, mahabbah kepada “ihsan” berbuat baik kepadanya. Al-Ghazali mengklaim bahwa hakikat manusia secara naluri pasti mencintai seseorang yang bersifat muhsin (yang berbuat ihsan) sejatinya hanyalah Allah, dan sesungguhnya Ihsan manusia terhadap antar makhluk hanya bersifat kiasan. Karena ia mengenal dan mengerti Allah dengan ma’rifah yang sebenarnya.

Ketiga, mahabbah kepada yang berbuat ihsan terhadap dirinya sendiri. Mahabbah ini menghendaki kecintaan kepada dzat Allah SWT, sebab Allah berbuat ihsan terhadap seluruh makhluk-Nya, telah memberikan jasa, membantu, ataupun menolongnya, bukan karena sebab atau tujuan lain. Mahabbah ini merupakan mahabbah hakiki dan kekal (Mahabbah para arifin).

Keempat, mahabbah kepada setiap yang indah karena keindahannya sendiri, bukan karena kesenangan lain yang dapat diperoleh dari keindahan itu sendiri. Orang yang mengenal Allah dengan ma’rifah yang sebenarnya, hatinya akan melihat bahwa Allah lah yang paling indah. Sebab Allah lah dzat yang Maha Indah, secara absolute tidak ada dzat lain yang menandingi-Nya.

Kelima, mahabbah yang lahir karena saling menyesuaikan. Seseorang yang mencintai orang lain cenderung karena kesesuaian. Hanya orang yang berlayar menuju Allah saja yang dapat mengungkap rahasia kesesuaian tersebut. Kesesuian ini tidaklah tampak akan tetapi dengan melazimkan penggunaan ibadah-ibadah kepada Allah.

Mahabbah ibarat pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya berada di langit, buahnya mensucikan hati, lisan, dan semua anggota dalam badan. Mahabbah yang diajarkan dalam tasawuf Imam al-Ghazali tidak terlepas dari moralitas-moralitas yang didasarkan pada ajaran islam. Moral yang dimaksud tentu moral yang baik dan sesuai dengan ajaran Islam.

Adanya berbagai maqamat (fase yang harus dilewati) dan ahwal (keadaan) itu semuanya merupakan berbagai wujud moralitas kebaikan, berdasarkan syariat yang menyemukakan makhluk dengan Kholiq-nya. Salah satu diantaranya termasuk mahabbah Ilahi.

Allah-lah yang paling pantas mendapatkan cinta dan dicintai. Allah pantas dicintai karena hanya ia yang memenuhi syarat sebagai sumber kebaikan, dan berkuasa untuk memerintahkan berbuat baik serta kuasa menjalankan seluruh kebaikan. Allah mempunyai taraf paling tinggi atas setiap altruisme (kebajikan) dan kesempurnaan, yang terbebas dari segala keburukan.

Kajian mahabbah yang dirumuskan al-Ghazali sangat erat berasosiasi dengan estetika. Menurutnya keindahan merupakan karakter manusia. Jika sudah mengklaim bahwa Allah itu indah, maka secara instingtif Allah pasti akan dicintai oleh orang yang telah terbuka atas keindahan dan kemuliaan-Nya.

Estetika berhubungan dengan kelembutan perasaan. Karena itu untuk mendapatkan getaran keindahan, seseorang harus mempunyai perasaan halus dan lembut. Dengan memiliki perasaan tersebut para sufi mengubah dan mendendangkan serta meningkatkan nubuat-nubuatnya dalam bentuk syair yang indah nan menawan, guna sebagai rute dan kondisi rohaniah.

Oleh: Durriyatun Ni’mah, Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya


Editor: Daniel Simatupang