Kisah Seorang Penulis yang Bermesraan dengan Buku

 
Kisah Seorang Penulis yang Bermesraan dengan Buku
Sumber Gambar: dok. pribadi/FB Fahrizal Fadhil

Laduni.ID, Jakarta – Abu 'Ali Al-Farisi (w. 377 H), seorang ahli bahasa penulis kitab Al-Idah pernah bercerita tentang pernikahan Imam Sibawaih (w. 180 H), orang yang pertama kali menulis buku tentang tata bahasa Arab yang berjudul Al-Kitab.

Al-Farisi bercerita, suatu waktu, Sibawaih menikahi seorang perempuan yang telah lama mencintai dirinya, ia tidak tega menggantungkan perasaan perempuan tersebut. Pada waktu itu, Sibawaih tengah menyempurnakan proyek kitabnya yang baru sampai pertengahan.

Sibawaih asik dengan dunianya, sedangkan sang perempuan hanya termenung di atas tumpukan kertas dan kulit, menunggu kekasihnya selesai dari buku dan mulai untuk menyentuhnya yang waktu itu dia sudah sah menjadi istri.

Ternyata, Sibawaih tak kunjung selesai. Dia sama sekali tidak peduli dengan perempuan yang telah ia nikahi. Kesibukannya hanya terus berpikir untuk menulis, bergadang demi membaca, dan terus berduaan dengan buku yang menumpuk.

Tidak tahan karena terus diduakan dengan kitab, wanita itu menyusun siasat. Dia pun memaksa Sibawaih untuk keluar rumah demi membeli beberapa kebutuhan rumah tangga. Saat Sibawaih sudah keluar, istrinya pun menyalakan api dan melempar semua kitab Sibawaih ke kobaran api hingga lenyap menjadi abu.

Beberapa waktu kemudian, Sibawaih pulang membawa kebutuhan rumah tangga yang diminta oleh istrinya. Saat dia melihat semua bukunya telah menjadi abu, dia terkejut, kemudian jatuh dan pingsan tak sadarkan diri. Saat sudah agak baikan dan kembali sadar, tidak menunggu lama, Sibawaih memutuskan untuk menceraikan istrinya, dan melanjutkan kemesraannya dengan kitab miliknya.

Al-Farisi mengomentari kejadian itu, “Dengan dibakarnya banyak buku Sibawaih, telah hilang sebagian besar ilmunya saat mengaji bersama Al-Khalil Al-Farahidi, sang pencetus ilmu 'arudh.”

Dengan kisah yang sama, namun dengan orang yang berbeda dan masa yang beda. Pada Abad ke-5, penulis kitab Al-Syifa, Al-Qadhi 'Iyadh (w. 544 H) pernah mengalami hal yang serupa.

Syekh Muhammad bin Hammad (w. 1437 H) bercerita, suatu hari Al-Qadhi 'Iyadh mengunjungi seorang temannya yang baru saja selesai menulis sebuah buku. Saat Al-Qadhi 'Iyadh melihat dan sedikit membaca buku tersebut, ia terkagum-kagum dengan isinya. Beliau pun memohon kepada temannya agar mau meminjamkan bukunya agar dapat ia baca lebih lanjut.

Akhirnya, kitab itu dipinjamkan. Namun dengan syarat, kitab itu harus dikembalikan dalam keadaan utuh karena itu naskah satu-satunya dan belum disalin. Jika naskah itu hilang, maka kitab itu juga otomatis akan lenyap. Al-Qadhi 'Iyadh menjanjikan akan mengembalikan kitabnya sebaik mungkin.

Kitab itu pun dibawa ke rumah. Al-Qadhi 'Iyadh akhirnya bergadang demi menikmati hidangan yang lezat tersebut, kitab yang baru saja jadi, terasa begitu hangat di alam fikiran seorang Al-Qadhi 'Iyadh. Bersamaan dengan lezatnya membaca, istrinya ternyata memaksa Al-Qadhi 'Iyadh untuk menemaninya, bermesraan layaknya seorang suami istri. Bagi Al-Qadhi 'Iyadh kenikmatan membaca di atas segala-galanya, ajakan sang istri pun tidak dihiraukan, ia terus asik membaca.

Waktu pagi pun tiba, adzan shubuh dikumandangkan. Al-Qadhi 'Iyadh pergi ke masjid untuk menunaikan shalat jama'ah dan mengajar para santri di sana. Saat ia kembali ke rumah, ia mencium aroma yang tidak sebab, ia bertanya pada istrinya.

“Sayang, kamu memasak lauk apa siang ini?”

“Liat saja nanti, kamu juga akan tau,” jawab istrinya dengan ketus.

Saat piring disajikan di meja makan, Al-Qadhi 'Iyadh terkejut saat melihat buku temannya yang dipinjam sudah terbakar. Ternyata, sang istri membakar buku tersebut karena rasa cemburu semalam saat buku tersebut menduakan dirinya.

Buku yang sudah berbentuk itu ia ambil, dan kemudian ia mulai mengambil kertas dan pulpen untuk menulis apa yang beliau hafal semalam suntuk saat membaca buku tersebut.

Tidak lama, buku tersebut dikembalikan kepada temannya. Dan kerennya, saat teman itu mengecek tidak ada satupun kalimat yang hilang dari buku tersebut. Ini menunjukkan betapa seriusnya Al-Qadhi iyadh saat membaca buku tersebut pada malam itu.

Senin, 24 Januari 2022
Oleh: Gus Fahrizal Fadil


Editor: Daniel Simatupang