Hukum Istri Menolak Ajakan Suami Bersenggama

 
Hukum Istri Menolak Ajakan Suami Bersenggama
Sumber Gambar: Ivan Oboleninov dari Pexels (foto ilustrasi)

Laduni.ID, Jakarta – Semua pasangan suami isteri pasti menginginkan hidupnya senantiasa bahagia dan harmonis. Dengan saling memahami satu sama lain dan memenuhi kebutuhan masing masing merupakan kunci dari keharmonisan dalam berumah tangga, pun seperti kebutuhan dalam hubungan seksual.

Banyak sudah yang terjadi hubungan rumah tangga rusak bahkan hingga memutuskan untuk berpisah dikarenakan tidak puas dalam memenuhi kebutuhan secara biologis. Kerap kali penolakan seorang isteri menjadi sebuah faktor permasalahan.

Ada saatnya mungkin isteri untuk menolak ajakan bercinta karena alasan tertentu seperti sedang haid, atau bahkan badan sedang kecapean sehingga mengakibatkan gairah untuk berhubungan intim sang isteri menurun sehingga menolak untuk bercinta.

Lantas bagaimanakah hukum seorang isteri ketika sedang tidak mau bercinta dengan suami dan menolak ajakan suami untuk bercinta.

Diceritakan dari Musaddad, diceritakan dari Abu ‘Awanah, dari al-A’masy, dari Abi Hazim, dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah bersabda: “Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, namun sang istri tidak mau sehingga suaminya marah, maka malaikat akan melaknat istri tersebut sampai pagi hari”. (HR. al-Bukhari)

Dalam kitab Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari (9/294) dijelaskan, teks hadis di atas mengisyaratkan adanya muqayyad (dibatasi dengan suatu syarat), yaitu adanya kemarahan dari pihak suami karena penolakan tersebut.

Artinya, ketika istri menolak ajakan hubungan intim namun suaminya tidak marah, bisa jadi karena ia memaklumi kondisi istri atau memang meninggalkan haknya, maka intervensi laknat malaikat tidak akan terjadi.

Dalam kitab Syarh Riyadhis Shalihin (3/142) juga menambahkan syarat lainnya, yaitu apabila pihak laki-laki sudah melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai suami, seperti memberikan nafkah.

Jadi, cakupan hukum dalam hadis ini memang tidak berlaku mutlak sepenuhnya. Terlebih ulama menegaskan bahwa dalam kondisi istri dalam keadaan uzur syar’i, seperti sedang melaksanakan puasa wajib, ihram, atau dalam keadaan haid dan nifas, maka pihak perempuan diperbolehkan untuk menolak ajakan suami tersebut (‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, 6/ 126).

Begitu juga diperbolehkan untuk tidak mengindahkan ajakan pihak suami bila hubungan tersebut justru menimbulkan dampak buruk (dharar) pada diri pihak istri (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillathu, 9/6851).


Editor: Nasirudin Latif