Biografi Sunan Tembayat (Sayyid Ihsan Nawawi) Sunan Pandanarang II

 
Biografi Sunan Tembayat (Sayyid Ihsan Nawawi) Sunan Pandanarang II

Daftar Isi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga Sunan Tembayat
1.3  Nasab Sunan Tembayat
1.4  Wafat

2.  Sanad Ilmu dan Pendidikan Sunan Tembayat

2.1  Guru-guru Sunan Tembayat

3.  Penerus Sunan Tembayat

3.1  Anak-Anak Sunan Tembayat

3.1  Murid-murid Sunan Tembayat

4.  Perjalanan Dakwah Sunan Tembayat

5.  Keteladanan Sunan Tembayat

7.  Referensi

 

1   Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir          

Sunan Tembayat terlahir dengan nama Sayyid Ihsan Nawawi atau Pangeran Mangkubumi. Beliau  adalah putra dari Pangeran Tumapel atau Syekh Maulana Hamzah. beliau juga masih cucu dari Sunan Ampel. Sunan Tembayat mempunyai saudara lali-laki yang bernama Sayyid Kalkum Wot Galeh yang menjadi Bupati Ponorogo ke II. Beliau mempunyai beberapa nama yaitu :

  1. Sunan Pandanarang II
  2. Pangeran Mangkubumi
  3. Sunan tembayat
  4. Raden Wahyu Hidayat

1.2 Riwayat Keluarga Sunan Tembayat

Beliau menikah dengan Nyai Ageng Kaliwungu dan Nyai Ageng Krakitan  dan dikaruniai putra :

  1. Pangeran Jiwo atau Panembahan Jiwo Ing Tembayat
  2. Syaikh Hanavi Musa
  3. Panembahan Curen I
  4. Nyi Talang Warih Istri Ki Ageng Giring
  5. Istri Pangeran Winong
  6. Istri Pangeran Ahmad Dalem
  7. Nyai Ageng Panembahan Agung Istri Panembahan Agung Ing Kajoran
  8. Nyai Ageng Biting (janda Kyai Ageng Biting) Istri ke dua Panembahan Agung Ing Kajoran 

1.3 Nasab Sunan Tembayat

Jika diambil dari Jalur ayah, Sunan Tembayat adalah cucu dari Sunan Ampel, beliau masih merupakan keturunan Rasulullah SAW dengan Silsilah sebagai berikut :

  1. Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
  2. Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti
  3. Al-Imam Al-Husain bin
  4. Al-Imam Ali Zainal Abidin bin
  5. Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin
  6. Al-Imam Ja’far Shadiq bin
  7. Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin
  8. Al-Imam Muhammad An-Naqib bin
  9. Al-Imam Isa Ar-Rumi bin
  10. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin
  11. As-Sayyid Ubaidillah bin
  12. As-Sayyid Alwi bin
  13. As-Sayyid Muhammad bin
  14. As-Sayyid Alwi bin
  15. As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin
  16. As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin
  17. As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin
  18. As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
  19. As-Sayyid Abdullah bin
  20. As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin
  21. As-Sayyid Husain Jamaluddin bin
  22. As-Sayyid Ibrahim Zainuddin As-Samarqandy
  23. As-Sayyid Ali Rahmatullah
  24. Syekh Maulana Hamzah atau Pangeran Tumapel
  25. Syekh Ihsan Nawawi atau Sunan Tembayat

 1.4 Wafat

Sunan Tembayat wafat pada Jum’at Kliwon tanggal 27 Ruwah dimakamkan Di Kecamatan Bayat, Klaten, tepatnya di kelurahan Paseban, Bayat, Klaten terdapat Makam Sunan Bayat atau Sunan Pandanarang atau Sunan Tembayat yang memiliki desain arsitektur gerbang gapura Majapahit. 

2   Sanad Ilmu dan Pendidikan Sunan Tembayat

Beliau dididik dan dibesarkan oleh ayahanda Pangeran Tumapel atau Syekh Maulana Hamzah

2.1 Guru-guru Sunan Tembayat

  1. Pangeran Tumapel atau Syekh Maulana Hamzah
  2. Pangeran Made Pandan atau Sunan Pandanarang II
  3. Sunan Kalijaga

3  Penerus Sunan Tembayat

3.1 Anak-anak Sunan Tembayat

  1. Pangeran Jiwo atau Panembahan Jiwo Ing Tembayat
  2. Syaikh Hanavi Musa
  3. Panembahan Curen I
  4. Nyi Talang Warih Istri Ki Ageng Giring
  5. Istri Pangeran Winong
  6. Istri Pangeran Ahmad Dalem
  7. Nyai Ageng Panembahan Agung Istri Panembahan Agung Ing Kajoran
  8. Nyai Ageng Biting (janda Kyai Ageng Biting) Istri ke dua Panembahan Agung Ing Kajoran 

​3.2  Murid-murid Sunan Tembayat

  1. Syekh Domba
  2. Syekh Kewel
  3. Kyai Tasik

4.  Perjalanan Hidup dan Dakwah Sunan Tembayat

Setelah diangkat menjadi Adipati Pandanarang II di Semarang, beliau merasakan telah mendapat atau bisa meraih wahyu yang menjadi impian setiap orang yaitu, wahyu kawiryan,wahyu kehartaan,wahyu kawasisan. Artinya memiliki derajat,harta,dan ilmu. Dalam menjalankan roda pemerintahan Adipati Pandanarang II memiliki kepandaian berdagang yang tekun,dan ulet. Karena itu tidak heran jika beliau memiliki armada angkatan laut yang tangguh. Pada masa itu Adipati Pandanarang II menjadi orang terkaya dan berkuasa di Semarang.
Dalam kehidupannya sebagai Adipati di Semarang, beliau  menguasai berbagai ilmu antara lain sebagai berikut :

1.    Ilmu Duniawi, yaitu ilmu pemerintahan, perdagangan, pertanian, dan tata cara kehidupan.
2.    Ilmu Batin, yaitu ilmu bagaimana cara untuk mendapatkan harta benda dalam kehidupan
3.    Ilmu Jaya Kawijayan, yaitu ilmu kesaktian diri yang tidak ada tandingannya.
4.    Ilmu Panglerepan, yaitu ilmu untuk menakhlukkan musuh melalui kewibawaan sehingga musuh tunduk dan bisa menuruti perintahnya.

Adipati Pandanarang II adalah seorang nasionalis sejati. Hal ini terbukti pada waktu Adipati Unus menyerang Malaka beliau membantu dengan mengirimkan tiga kapal perang beserta pasukannya. Dalam kehidupannya sebagai adipati dan menjalankan roda pemerintahan, sebetulnya pada waktu itu Sunan Kalijaga telah lama mengikuti  jejak Adipati Pandanarang II mulai dari Gunung Kidul sampai menjadi Adipati di Semarang.

Pada suatu saat Sunan Kalijaga mendekati Adipati Pandanarang II untuk berdialog dan bermusyawarah yang intinya untuk mengikuti jejak mendiang ayahnya sebagai Ulama. Setelah bermusyawarah, Sunan Kalijaga kemudian pulang ke Demak untuk mengadakan pertemuan dengan para wali. Intinya  untuk mencari seorang wali sebagai pengganti Syeh Siti Jenar agar jumlah wali tetap 9 (sembilan). Dalam musyawarah itu Sunan Kalijaga mengatakan bahwa pengganti Syeh Siti Jenar itu sudah ada tetapi belum waktunya. Menurut Sunan Kalijaga besok pengganti Syekh Siti Jenar adalah Adipati Pandanarang II. Untuk menggantikan seorang wali perlu diadakan pengujian diri sebagai bekal menjadi wali. Hal ini agar beliau terketuk hatinya mau bertobat dan meninggalkan hal-hal duniawi dan menjadi seorang Ulama.

Selanjutnya Sunan  Kalijaga pergi ke Semarang untuk menguji Adipati Pandanarang II dengan menyamar sebagai tukang  rumput (penjual rumput alang-alang) yang menawarkan rumput kepada Adipati Pandanarang II. Setelah rumput atau alang-alang yang segar dibawa, kemudian Adipati menawar dengan harga murah yaitu 25 ketheng. Tawaran disetujui dan alang-alang diberikan kepada Adipati dan kemudian dibongkar. Adipati Pandanarang II sangat terkejut karena didalam ikatan rumput alang-alang terdapat suatu barang yang disebut kandelan (sarung tempat keris yang terbuat dari emas). Barang yang ada dalam ikatan rumput itu kemudian diambil oleh Adipati Pandanarang II. Hal ini sebetulnya oleh Sunan Kalijaga untuk menyindir Adipati tetapi beliau tidak merasa. Maksud dari alang-alang adalah sebagai rintangan, sedangkan kandelan asal kata andel yang artinya percaya pada saya (Sunan Kalijaga). 

Karena dengan percobaan (ujian) pertama ternyata belum bisa  menggugah hati Sang Adipati, maka oleh Sunan Kalijaga diberikan ujian yang kedua. Pada waktu Adipati Pandanarang II mengundang para adipati dari pesisir untuk menyaksikan selesainya pembangunan rumah megah di kadipaten, pada waktu itu Sunan Kalijaga datang dengan menyamar sebagai orang muslim yang berpakaian sederhana. Pada saat Sunan Kalijaga yang telah menyamar datang, tidak disambut oleh Sang Adipati bahkan mengabaikan kedatangannya. Sunan Kalijaga kemudian keluar pendopo dan masuk lagi dengan penampilan sebagai seorang kaya dan mewah. Melihat ada tamu berpenampilan mewah, Sang Adipati menyambut dengan hormat dan memberi tempat terhormat seperti tamu bangsawa yang lain. Bahkan tamu tadi (Sunan Kalijaga) dimintai pendapatnya tentang rumah mewah yang selesai dibangun, tamu menjawab bahwa bangunan rumah tersebut sudah sangat mewah bahkan tidak ada yang menandingi. Setelah itu tamu tadi keluar dan berganti pakaian biasa dan jelek seraya meninggalkan tempat pesta Adipati Pandanarangg II. Dari ujian atau cobaan tersebut, Adipati Pandanarang II ternyata belum juga menyadari dan mengerti atas sindiran-sindiran Sunan Kalijaga. Hal ini menjadikan Sunan Kalijaga kecewa, Akan tetapi Sunan Kalijaga tidak putus asa dan tetap selalu berusaha menyadarkan Sang Adipati.

Sunan Kalijaga kembali mendatangi Adipati dan kali ini menyamar sebagai seorang peminta-minta. Beberapa kali bupati melemparkan koin padanya namun pengemis itu tidak juga pergi. Melihat hal itu, Adipati pun murka. Di saat itu pula pengemis tadi menjelaskan niat kedatangannya ke hadapan Adipati. Pengemis itu datang bukan untuk uang melainkan untuk mendengar suara bedug pertanda waktu sholat tiba. Setelah itu, pengemis tadi melemparkan tanah yang digenggamnya ke arah Adipati. Adipati terkaget-kaget dengan apa yang dilihatnya saat itu. Tanah yang tadi dilempar oleh pengemis berubah menjadi sebongkah emas sesaat setelah dia tangkap. Dan di saat itu pula Adipati mendapatkan pencerahan tentang kehidupan dunia yang hanya bersifat sementara. Barulah kemudian Adipati Pandanarang II mengerti apa yang dimaksudkan Sunan Kalijaga dan bersedia dibimbing oleh beliau. 

Namun sebelum lebih jauh lagi, Sunan mengajukan empat syarat pada Adipati jika dia ingin menjadi muridnya. Keempat syarat tadi adalah: 

1.    Bupati harus berdoa dengan rutin dan mengajarkan Islam, mengajak semua penduduk yang berada di wilayah kekuasaanya masuk ke agama Islam. 
2.    Adipati harus memberi makan santri dan ulama, membuat bedug di langgar-langgar. 
3.    Memberi dan menyumbang dengan ikhlas dan menyerahkan kekayaannya pada yang membutuhkan dalam bentuk zakat. 
4.    Ikut pulang ke rumah Sunan Kalijaga dan menjadi orang yang bersedia menyalakan lampu rumah Sunan Kalijaga. 

Dan barulah setelah itu kisah Adipati Pandanarang II berlanjut untuk menuntut ilmu pada Sunan Kalijaga di Jabalkat, Bayat. Dan kisah selanjutnya dari Adipati Pandanarang adalah kisah perjalanannya menuju Jabalkat bersama istrinya. Dalam Perjalanan tersebut, Adipati tidak sendiri melainkan ditemani oleh istrinya, Nyi Ageng Kaliwungu, yang tidak mau meninggalkan suaminya. Kisah perjalanan Adipati Pandanarang menuju Gunung Jabalkat mencari Sunan Kalijaga penuh dengan rintangan dan cerita yang membesarkan namanya hingga dikenal luas oleh masyarakat pada waktu itu. Cerita-cerita tentang kesaktian dan kebijakan Adipati akhirnya mengantarkan Adipati pada gelar Sunan Pandanarang atau Sunan Tembayat dan diterima baik oleh masyarakat luas dan juga mereka yang masih lekat dengan kepercayaan Orang Jawa di saat itu. Tidak hanya jasanya dalam menyebarkan agama Islam, hingga saat ini masyarakat luas percaya bahwa dalam perjalanan tersebut Sunan Tembayat adalah sosok besar yang memberikan nama pada beberapa tempat di Jawa seperti Salatiga, Boyolali, Wedi dan Jiwo. Bahkan beliau juga yang disebut-sebut-sebagai sosok yang meninggalkan jejak kesaktian seperti Sendang Kucur dan Batu Kali Pepe. 

Perjalanan Panjang dari Semarang Menuju Gunung Jabalkat Perjalanan yang penuh dengan petualangan ditempuh Sunan Tembayat dengan jarak kurang lebih 120 km. Dan dalam perjalanan ini lah Sunan Tembayat diramalkan akan menjadi seorang pemimpin besar umat Muslim nantinya. Sunan Tembayat tidak melakukan perjalanannya seorang diri. Karena tidak ingin meninggalkan suaminya yang memilih jalan agama dengan meninggalkan semua kekayaannya dan melakukan perjalanan panjang mencari Sunan Kalijaga di Gunung Jabalkat, Nyi Ageng Kaliwungu, memilih ikut bersama suaminya. Namun tidak sepenuhnya Nyi Ageng Kaliwungu dapat meninggalkan segala kekayaan yang dimiliki seperti yang dilakukan Sunan Tembayat. Dalam perjalanan itu, dia memasukan beberapa perhiasan dalam tongkat bambu yang dibawanya dengan maksud untuk berjaga-jaga selama di perjalanan. Apa yang dilakukan istrinya ternyata menuntun pada sebuah perkenalan dengan dua perampok yang nantinya menjadi pengikut setia Sunan Tembayat. 

Hal itu berawal ketika mereka sampai pada suatu daerah (kini Salatiga) dan di sana mereka dihentikan oleh dua orang perampok bernama Sambang Dalan dan dua orang rekannya. Saat mereka meminta harta benda, Sunan Tembayat yang tidak membawa apa-apa menyuruh dua perampok tadi mengambil bambu yang dibawa istrinya. beliau juga mengatakan bahwa isi dalam bambu itu cukup untuk memenuhi kebutuhan seumur hidup mereka dan juga berpesan agar mereka tidak melukai istrinya. Namun sifat serakah para perampok makin menjadi karena mengira istrinya pasti membawa barang berharga lainnya. Kedua perampok tadi pun mulai menggeledah istri Sunan Tembayat untuk menemukan benda berharga lainnya. Seketika pula istri Sunan Tembayat berteriak minta pertolongan.

Dari kejadian ini dipercaya nama kota Salatiga berasal. Saat itu Sunan Tembayat berkata, “Wong salah kok isih tega temen” (Sudah berbuat salah tetap saja tega). Dan beliau juga menyebut bahwa mereka bertiga telah berbuat salah. Dan kemudian lokasi perampokan itu disebut Salatiga yang berasal dari kata “salah” dan “tiga”, Salahtiga (Salatiga). Dari kejadian itu juga perampok yang menghentikan perjalanan mereka mendapatkan pelajaran. Sambang Dalan disebut oleh Sunan Tembayat telah berbuat keterlaluan seperti domba (hewan) dan seketika itu pula wajahnya berubah menyerupai domba. Rekan dari Sambang Dalan ketakutan melihat kejadian itu hingga tubuhnya gemetaran (Jawa – ngewel). Saat itu juga berubah menyerupai ular. Mereka berdua akhirnya menyesali perbuatan mereka dan memohon ampun. Mereka juga berjanji untuk mengabdi dan setia kepada Sunan Tembayat dan akan ikut dalam perjalanan menuju Jabalkat. Dua perampok tadi akhirnya menjadi pengikut pertama Sunan Tembayat dan dijuluki sebagai Syekh Domba (Sambang Dalan) dan Syekh Kewel (yang ngewel dan berwajah ular). 

Cerita perjalanan Sunan Tembayat berlanjut saat mereka sampai ke daerah yang sekarang dikenal dengan nama Boyolali. Di daerah itu beliau yang berjalan di depan meninggalkan jauh istri yang menggendong anaknya. Hingga pada akhirnya karena kelelahan di tengah terik matahari Sunan Tembayat duduk beristirahat di atas batu besar menunggu rombongannya yang tertinggal. Dari kejadian ini Nyi Ageng Kaliwungu kemudian berujar, “Karo bojo mbok ojo lali” (Jangan lupa dengan istri). Dan setelah kejadian tersebut nama Boyolali yang dipercaya berasal dari frase “mbok ojo lali” mulai digunakan untuk menyebut daerah itu. 

Jejak kisah perjalanan juga terdengar di kawasan Wedi (kecamatan di sebelah utara Bayat). Nama Wedi dipercaya juga berasal dari kisah perjalanan Sunan Tembayat, tidak berbeda dengan nama Salatiga dan Boyolali. Di tempat ini Adipati memilih untuk menetap dan bekerja sementara sebelum kembali melanjutkan perjalanannya. Dua pengikut setianya, Syekh Domba dan Syekh Kewel, diminta untuk menetap di gunung untuk menjalankan meditasi hingga Sunan Tembayat kembali akan melanjutkan perjalanan. Di daerah ini beliau bekerja pada seorang juragan beras bernama Kyai Tasik. Konon di Wedi inilah nama besar Sunan Tembayat kian dikenal di kalangan masyarakat. 

Kejadian pertama adalah kejadian asal mula nama Wedi. Kejadian yang melibatkan seorang penjual beras dan Sunan Tembayat. Suatu hari saat beliau diminta untuk mencari beras oleh majikannya dan bertemu dengan seorang penjual di jalan. Penjual itu membawa gerobak dan akan menuju pasar. Ketika ditanya apakah dia membawa beras (karena berniat untuk membelinya), penjual tadi mengatakan tidak. Dia berbohong pada Sunan Tembayat karena tidak mau menjual beras kepada beliau dan justru mengatakan dia sedang membawa wedi (pasir). Penjual itu kemudian melanjutkan perjalannya ke pasar untuk menjual berasnya. Namun dia sangat terkejut ketika sampai di pasar dan membongkar muatannya. Dia mendapati semua beras yang dibawanya telah berubah menjadi wedi, persis seperti apa yang dikatakannya pada Sunan Tembayat. 

Kejadian berikutnya adalah saat Adipati membantu istri majikannya, Nyi Tasik, untuk berjualan makanan di pasar. Suatu hari, setibanya di pasar untuk berjualan sama seperti setiap harinya, Nyi Tasik lupa membawa kayu bakar. Nyi Tasik kemudian memarahi Sunan Tembayat karena hal itu dan saat menghadapi hal itu beliau justru menawarkan tangannya sebagai pengganti kayu bakar. Sesaat kemudian Adipati meletakan tangan di tungku masak dan seketika itu pula api menyembur dari tangannya seperti kayu yang terbakar api. Hal itu tentu tidak hanya menakjubkan bagi Nyi Tasik tetapi juga bagi masyarakat yang kemudian banyak mengenal nama Sunan Tembayat. Dan konon setelah kejadian itu, Nyi Tasik menjadi salah satu pengikut Sunan dan turut dalam perjalanan ke Gunung Jabalkat. 

Kisah terakhir Sunan Tembayat di Wedi adalah saat beliau menjadi tukang pengisi air wudhu. Suatu hari saat menjalankan tugasnya beliau menggunakan keranjang bambu untuk mengisi air dalam padasan (gentong tempat menyimpan air wudhu). Tentu saja semua orang terkejut melihat kejadian itu karena mereka mendapati tidak setetes air pun keluar melalui sela rajutan bamboo yang digunakan Sunan Tembayat untuk mengisi padasan. Kemudian tiba waktu saat Sunan Tembayat melanjutkan perjalanan menuju Gunung Jabalkat. Kini beliau bersiap menerima petunjuk dan arahan yang lebih dari Sunan Kalijaga. Dalam perjalanan itu tidak lupa menjemput kedua pengikut setianya, Syeh Domba dan Syeh Kewel, dari tempat meditasi mereka. 

Dalam perjalanan menuju Jabalkat ini kembali lagi ada satu cerita tentang kesaktian Sunan Tembayat. Cerita itu diawali dengan anaknya yang menangis karena kehausan. Sunan Tembayat tidak dapat menemukan sumber mata air di kawasan itu, dan kemudian sebuah peristiwa magis terjadi. Terdapat dua versi cerita tentang bagaimana kejadian ini berlangsung, yaitu: Ada yang percaya bahwa Sunan Tembayat menggunakan tongkatnya untuk memunculkan sumber mata air di lokasi tadi. Beliau  menghujamkan tongkatnya hingga air mengucur dan tidak berhenti keluar dari lubang itu hingga membentuk sumur. Cerita lain yang juga dipercaya warga di sana saat ini adalah Sunan Tembayat menggunakan kukunya untuk memunculkan sumber air. Beliau  menggoreskan kukunya ke tanah. Dan seketika itu juga dari bekas goresan kukunya menyembur air hingga membentuk genangan air. Dari genangan itu kemudian anak dan istrinya dapat mengobati rasa haus mereka tadi. Konon genangan air jejak dari kesaktian itu adalah Sendang Kucur yang terdapat di dalam hutan angker Kucur yang terletak di Paseban, Bayat, Klaten.
 
Kelanjutan kisah dari perjalanan ini adalah sampainya Adipati dan rombongan di Gunung Jabalkat dan di sana dia mendapatkan nama Sunan Pandanarang atau Sunan Bayat atau Sunan Tembayat. Di sana pula dengan segala ketenaran yang telah dimilikinya selama perjalanan dia menjalankan tugas syiar Islam ke seluruh penjuru Jawa khususnya Jawa Tengah dengan mendirikan masjid yang sekaligus menjadi pesantren pertama. Kisah terakhir dari Sunan Tembayat adalah masa ketika dirinya sampai di Tembayat. Di Tembayat Sunan mendirikan sebuah masjid di atas Gunung Jabalkat yang sekaligus difungsikan sebagai tempat pendidikan agama. Tempat itu pun akhirnya menjadi pesantren pertama atau sekolah asrama pertama di Jawa Tengah. Namun usaha yang dilakukan Sunan tidaklah semudah itu. Setelah memilih jalan agama dan menjalani perjalanan yang penuh petualangan ternyata hambatan masih saja ada saat dia berada di Tembayat. Salah satunya adalah perlawanan dari para pemimpin mistis Jawa. Disebutkan dalam kisah ini adalah seorang pemimpin di Jawa harus memiliki kekuatan sakti di luar kekuatan pengetahuan dan wibawa. Dan di saat seseorang memiliki itu semua, barulah semua kalangan di Jawa percaya dengan maksud keberadaanya. 

Ketika Sunan Pandanarang sudah menetap di Bayat atau Gunung Jabalkat, Sunan Tembayat sering berkunjung ke Masjid Demak untuk mengadakan Sholat Jum’at. Sunan Tembayat melaksanakan pesan-pesan Sunan Kalijaga, tetapi sebelumnya diberi wejangan oleh Sunan Kalijaga tentang asal mula dan kesudahannya orang hidup di dunia ini. Sunan Kalijaga bersedia memberikan wejangan itu, tetapi dengan permintaan agar tidak diajarkan kepada orang lain kecuali dengan Tarekat (Jalan atau metode), Syariat (aturan) dan Makrifat (mengenal atau pengetahuan, pengetahuan langsung mengenai Tuhan yang berdasarkan atas wahyu atau petunjuk Tuhan) 

Sunan Tembayat diberi wejangan oleh Sunan Kalijaga tentang asal usul dan tujuan segala makhluk “Sangkan Paraning Dumadi”. Dikatakannya, orang hidup harus meninggalkan amal kebaikan. Orang jahat akan celaka, dan orang baik akan selamat di akhirat. Wejangan Sunan Kalijaga yang diberikan kepada Pangeran Bayat adalah sebagai berikut:

“Orang hidup di dunia ini tidak lama, dapat diumpamakan sebagai orang yang pergi ke pasar. Di pasar orang tidak lama, dan akan segera kembali ke rumah tempat asalnya. Apabila orang tidak tahu asalnya itu, maka orang tersebut telah tersesat. Orang yang mati jangan sampai nanti tersesat seperti itu. Rohnya yang tersesat itu akan mengembara kemana-mana karena tidak mempunyai tujuan. Untuk menghindari hal itu, apabila seseorang sampai pada ajalnya janganlah lupa berdzikir terus-menerus dan waspada akan dirinya sendiri. Pada saat itu banyak bayangan yang sengaja akan menghilangkan iman seseorang. Orang yang tersesat akan menemui pemandangan-pemandangan seperti itu, bahkan pemandangan yang indah dan menggiurkan hati pula. Sebaliknya, orang yang tahu akan jalannya tidak melihat hal-hal itu, kecuali sukma yang memang terlihat dengan jelas.

Selain meninggalkan jejak cerita pada saat dirinya menyebarkan agama Islam dari Tembayat. Ternyata kekuatan kebesaran Sunan Tembayat masih terasa hingga pada masa Sultan Agung, yang hidup di masa setelah Sunan. Beberapa kisah pertemuan Sultan dan Sunan Tembayat juga beredar dan menjadi salah satu cerita tentang awal mula berdirinya kompleks pemakaman Sunan Bayat yang megah dan elok. Masa Kebesaran Sunan di Tembayat Di awal tugas di Tembayat inilah saat Sunan Pandanarang mendapat perlawanan dari pemimpin mistis Jawa. Mereka adalah orang-orang yang mempertanyakan kekuatan sakti yang dimiliki oleh Sunan Tembayat.

Salah satunya adalah perlawanan dari Prawira Sakti, seorang penganut ilmu kebatinan. Beliau  menerima tantangan Prawira Sakti untuk melakukan uji kewibawaan. Beberapa tantangan dilakoni oleh Sunan Tembayat dan yang pertama adalah tantangan untuk menangkap merpati yang dilepas ke udara oleh Prawira. Yang dilakukan beliau untuk menangkap merpati itu adalah dengan hanya melemparkan sandal kayunya. Dan dengan sekali lempar burung itu berhasil dijatuhkan. Tantangan kedua adalah menangkap topi yang oleh Prawira dilempar ke langit jauh hingga tak terlihat oleh mata. Dengan sebelah sandal kayu yang masih ada Sunan berhasil dengan sangat mudah mengenai topi itu dan lolos tantangan kedua. Pada tantangan ketiga Sunan ditantang untuk mencari keberadaan Prawira yang bersembunyi. Keberadaan Prawira tidak tampak karena dia bersembunyi dengan cara yang tidak biasa. Namun dengan mudah Sunan berhasil menemukan keberadaan Prawira yang bersembunyi di bawah sebongkah batu besar. Setelah tiga tantangan berhasil dilalui dengan mudah oleh Sunan Tembayat. Kini giliran beliau memberikan satu tantangan pada Prawira. Dan sekarang menjadi giliran Prawira untuk mencari keberadaan Sunan Tembayat yang bersembunyi. Dan Prawira yang sakti gagal menjalankan tantangan Sunan karena tidak dapat menemukan Sunan Tembayat yang bersembunyi di antara kedua alisnya. 

Sunan Tembayat diberi tugas untuk mengislamkan orang yang masih beragama Hindu Budha. Sunan Tembayat diperbolehkan mendirikan pesantren dan diminta oleh Sunan Kalijaga untuk menjaga masjid kecil yang ada di Gunung Jabalkat Masjid yang dirawat oleh Sunan Tembayat adalah Masjid Golo yang sekarang letaknya berada di bawah. Yang menurut dongeng, tadinya masjid Golo ada diatas Gunung Jabalkat. Dikisahkan adalah suara adzan yang terlalu kuat dan keras yang didengar oleh salah satu Wali yang berada di Demak. Suara adzan tadi ternyata adalah suara dari panggilan sholat Sunan Tembayat dari Tembayat, ratusan kilometer jaraknya. Tentu saja suara yang terlalu keras itu mengganggu Wali tadi hingga kemudian dia meminta Sunan Tembayat untuk menurunkan suara adzan yang dibuatnya. Menyanggupi permintaan Wali tadi, Sunan kemudian memindahkan masjid yang berada di puncak Jabalkat. Dan dengan kesaktiannya Sunan menarik masjid tadi hingga sampai di lereng gunung. Kebesaran Sunan Setelah Meninggal Kebesaran nama Sunan sebagai seorang pemimpin agama tetap terjaga hingga dirinya meninggal setelah menjalankan syiar selama 25 tahun di Tembayat. 

Sunan Tembayat kemudian melanjutkan cita-citanya untuk mengadakan penyiaran Agama Islam. Sunan Tembayat akhirnya diangkat menjadi pengganti dari Syekh Siti Jenar maka daerah dakwahannya juga di daerah-daerah yang yang menjadi medan dakwah Sunan Tembayat di Lemah Abang. Cerita-cerita babad menyebutkan bahwa Syekh Siti Jenar pernah berhubungan dengan para pembesar di Pengging, Tingkir, Butuh, Banyubiru dan Ngerang. Maka tidak aneh, walaupun tadinya dari Semarang di pesisir utara sampai akhirnya melesat ke selatan jauh sampai di Tembayat dan tinggal di Gunung Jabalkat. 

Pedalaman Jawa semula hampir tidak tersentuh oleh agama Islam. Hanya di mana pesantren yang sering terbentuk disekitar seorang kyai yang terpandang, gaya hidup santri juga berpancaran ke desa-desa sekeliling. Di kebanyakan desa tidak banyak masjid, hanya ada seorang kaum yang diperlukan untuk pernikahan, pemakaman, dan doa pada permulaan kenduren. Para kesatria dari cerita-cerita Ramayana dan Mahabarata sampai sekarang bagi orang desa sederhana lebih dikenal daripada para Wali. Kebiasaan masyarakat terhadap pemujaan roh leluhur, sesajen-sesajen telah berurat berakar dalam kehidupannya, bahkan setelah agama Hindu Budha masuk ke nusantara yaitu sekitar abad ke 4 Masehi. Kebiasaan semacam itu menjadi bertambah subur, sebab agama Hindu Budha pun dalam bidang peribadatannya juga sering mengadakan sesajen-sesajen terhadap roh dewa-dewa dan pemujaan-pemujaan terhadap benda-benda yang berupa patung dari dewadewanya. Kebiasaan itu berjalan terus hingga agama Islam masuk ke Indonesia pada sekitar abad ke 11 M.

Sunan Pandanarang adalah murid dari Sunan Kalijaga maka Sunan Pandanarang juga mengikuti cara-cara pengislaman yang dijalankan oleh gurunya. Dalam menyebarkan agama Islam Sunan Pandanarang juga menganut prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga. Dalam menyebarkan agama Islam, berpendirian sebagai berikut:

1. Membiarkan dulu adat-adat yang sukar dirubah dan kepercayaan lama itu sangat berat dirubah dengan jalan kekerasan dan tergesa-gesa. 
2. Adat yang tidak sesuai dengan pendirian Islam akan tetapi tidak mudah dirubah segera dihilangkan
3. Menghindari konfrontasi secara langsung dengan masyarakat dengan harapan agar agama Islam yang baru saja dikenalkan bisa diterima oleh masyarakat. 

Mereka mempertahankan sebagian besar kebudayaan Hindu Jawa (dalam tradisi Jawa pewarta-pewarta pertama agama Islam, para Wali, bahkan dianggap sebagai penemu wayang dan gamelan) dan ciri mistik ajaran Islam mencocokkannya tanpa kesulitan ke dalam pandangan dunia Jawa tradisional. Dari proses integrasi itu, lahirlah kebudayaan santri Jawa. Proses Islamisasi terjadi dan dipermudah karena adanya dua pihak, yakni

Sunan Pandanarang dalam melakukan dakwahnya menyesuaikan diri dengan waktu, dan tempat dari masyarakat di Jawa Tengah. Oleh Sunan Pandanarang adat-adat semacam itu tidak dilenyapkan dengan kekerasan, tetapi dibiarkan dan dimasuki unsur-unsur keislaman. Misalnya sewaktu orang-orang sedang berkumpul mengadakan upacara kematian yang disertai dengan sesajen dan bakar kemenyan serta dibacakan mantra-mantra, Sunan Pandanarang mengajarkan mereka untuk melafalkan tahlil: laa….ilaaaha illallah (Tiada Tuhan kecuali Allah), dengan suara panjang dan berulang-ulang dan didikuti oleh segenap yang hadir hingga doa selesai.

Percampuran-percampuran kebudayaan antara Jawa dan Islam tersebut meliputi aspek-aspek kehidupan manusia mulai dari bentuk rumah, aneka ragam masakan, aneka ragam pakaian, ritual-ritual penguburan dan sebagainya yang menampakkan adanya berbagai macam corak budaya. Wali dalam memulai tugas da’wahnya selalu diawali dengan mendirikan masjid sebagai tempat pemusatan ibadah dan sebagai tempat berpijak dari segala bentuk kegiatan da’wah yang dilakukannya. Dengan demikian sangat memungkinkan untuk mengundang dan mengumpulkan masyarakat banyak untuk dididik dengan ajaran Islam.

Oleh sebab itu, ada satu semangat dari Sunan Tembayat yang harus dijaga oleh keturunannya dari generasi ke generasi. Salah satu semangat Sunan Tembayat tersebut adalah “semangat patembayatan” (semangat pirukunan) terhadap sesama manusia tanpa memandang agama, suku, budaya, aliran kepercayaan dan lain sebagianya. Semangat “patembayatan” atau “pirukunan” inilah yang sejak dahulu diterapkan oleh Sunan Tembayat (Sayyid Hasan Nawawi) terhadap semua kalangan, tanpa membedakan agama dan aliran kepercayaan yang ada kala itu.

Sunan Tembayat bisa hidup rukun dengan pemerintahan Kerajaan Islam Demak, Pajang, hingga Mataram. Bahkan Sunan Tembayat  juga telah terbukti dapat mengadakan “patembayatan” atau “pirukunan” kepada murid-murid Syaikh Siti Jennar (Syaikh Lemah Abang) dari beberapa kalangan kala itu. Sunan Tembayat juga bisa mengadakan “patembayatan” dan “pirukunan” kepada pihak Arya Penangsang yang didukung oleh Sunan Kudus dan pihak Jaka Tingkir yang didukung oleh Sunan Kalijaga. Bagi Sunan Tembayat, “patembayatan” merupakan sesuatu yang harus betul-betul dijaga secara lahir maupun batin.

Sebagai generasi keturunan Sunan Tembayat , mungkin saja memiliki semacam tradisi leluhur untuk bisa menebarkan “patembayatan” atau “pirukunan” kepada siapapun tanpa memandang suku, budaya, agama, ras, derajat, dan semacamnya. Tidak sepatutnya, seseorang merasa paling benar sendiri. Hanya ormas keagamaan yang diikutinya saja yang paling benar. Hanya aliran keyakinannya saja yang paling benar. Hanya kelompoknya saja yang paling benar. Sebab apabila seseorang memiliki perasaan demikian, tentu saja sangat sulit untuk menebarkan “patembayatan” atau “pirukunan” kepada sesama manusia lainnya.

Akhirnya, mudah-mudahan para generasi keturunan Sunan Tembayat bisa meneladani tradisi atau ajaran “patembayatan” atau “pirukunan” yang telah diajarkannya. Semoga semua manusia hidup dalam kerukunan (patembayatan atau pirukunan) tanpa memandang agama, kepercayaan, suku, budaya, bangsa, status sosial, dan lain sebagainya. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Kuasa memberi pertolongan kepada semua manusia untuk senantiasa berusaha mengadakan patembayatan atau pirukunan demi tercapainya kehidupan yang damai, nyaman dan tentram.

5   Keteladanan Sunan Tembayat

Sunan Tembayat adalah tokoh yang sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah satu penerus berdirinya Kota Semarang dan merupakan salah satu tokoh ulama yang berperan dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Sunan Tembayat merupakan salah satu tokoh kunci proses Islamisasi di tanah jawa yang hidup setelah Walisongo yang mampu menaruh simpati dihati masyarakat. Awal beliau juga berdakwah disektaran daerah jabalkat atau Bayat  yang  mempunyai modal tersendiri untuk menyebarkan agama Islam di Nusantara. Beliau masih keturunan dari raja-raja Majapahit dan merupakan cicit dari Raden Patah pendiri Kesultanan Demak.

Sunan Tembayat memiliki semangat tinggi dalam memperjuangkan agama Islam. Awal dimulai dakwah dengan cara menarik simpati rakyat kalangan bawah. Kegiatan dakwah pun berjalan lancar, selancar usaha beliau untuk menyebarkan agama Islam. Komunitas muslim pun kian tertata dan semakin berbondong-bondong bertambah banyak secara berkala.

Penampilan yang sejuk tutur bicara yang santun ketika beliau menyampaikan dakwah hingga beliau dianggap tokoh yang dianggap mampu menentramkan situasi dilingkungan tersebut yang banyak masih mengikut ajaran Hindu. Perlahan tapi pasti, masyarakat kelas bawah mulai berbondong-bondong memeluk agama Islam, mengikuti ajaran Sunan Pandanarangg yang dengan bijak dan santun menyampaikan misi dalam dakwahnya.

6   Referensi

  1. Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
  2. Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta: Transpustaka, 2011
  3. Babad Wali Songo, Yudhi AW,2013
  4. Sejarah Wali Sanga, Purwadi,
  5. Dakwah Wali Songo, Purwadi dan Enis Niken,
  6. Eko Tri Harjo dkk, 2016. Babad Sunan Pandanaran. Semarang: Cempaka Mandiri Offset.
  7. Soewignja. 1978. Kyai Ageng Pandanarang. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
  8. Mulyoto Sastronaryatmo. 1986. Babad Tembayat 2. Jakarta: DepartemenPendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
     
 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya