Agungnya Sang Guru dalam Perspektif Islam

 
Agungnya Sang Guru dalam Perspektif Islam
Sumber Gambar: Dokumentasi istimewa, Iluatrasi: Laduni.id

Laduni.ID, Jakarta - Dalam persolan mengagungkan seorang guru, baginda Rasulullah SAW bersabda;”Bukanlah termasuk golongan kami orang yang   tidak menghormati orang yang tua, tidak menyayangi yang muda dan tidak mengerti hak ulama kami.”  (HR. Ahmad 5/323, Hakim 1/122.).

Pernyatan senada juga di paparkan oleh Imam Nawawi rahimahullah, beliau berka­ta: “Hendaklah seorang murid memperhatikan gurunya dengan pandangan penghormatan. Hen­daklah ia meyakini keahlian gu­runya dibandingkan yang lain. Karena hal itu akan menghantarkan seorang murid untuk banyak mengambil manfaat darinya, dan lebih bisa membekas dalam hati terhadap apa yang ia dengar dari gurunya tersebut.” (Kitab al-Majmu’ 1/84).

Salah seorang ulama tasawuf terkemuka Khathib al-Baghdadi berkata: “Wajib bagi seorang murid untuk mengakui keutamaan gurunya yang faqih dan hendaklah pula menyadari bahwa dirinya banyak mengambil ilmu dari gurunya.” (al-Faqih wal Mutafaqqih 1/196). Sedangkan dalam perspektif Ibnu Jamaah al-Kinani dalam hal ini juga ber­kata: “Hendaklah seorang mu­rid mengenal hak gurunya, jangan dilupakan semua jasanya.” (Tadzkiratus Sami’ hal. 90).

Rasulullah SAW dalam kesempatan lainnya juga bersabda; Apabila ada yang berbuat baik kepadamu maka balaslah dengan balasan yang setimpal. Apabila kamu tidak bisa membalasnya, maka doakanlah dia hingga engkau memandang telah mencukupi untuk membalas dengan balasan yang setimpal.” (HR. Abu Dawud 1672. Sementara itu Imam Abu Hanifah berkata: “Tidaklah aku sholat sejak kematian Hammad kecuali aku memintakan ampun untuknya dan orang tuaku. Aku selalu me­mintakan ampun untuk orang yang aku belajar darinya atau yang mengajariku ilmu.” (Mana-qib Imam Abu Hanifah. Lihat Adab at-Tatalmudz hal. 28

Dalam hal ini Ibnu Jama’ah menyebutkan hendaknya seorang penuntut ilmu mendoakan gurunya sepanjang masa. Memperhatikan anak-anaknya, kerabatnya dan menunaikan haknya apabila telah wafat. Begitu juga sepatutnya penun­tut ilmu mencontoh akhlak dan kepribadian guru. Mencontoh kebiasaan dan ibadahnya. (Tadz­kiroh Sami’ hal. 86).

Imam as-Sam’ani menceritakan bahwa majelis Imam Ahmad bin Hanbal dihadiri lima ribu orang. Lima ratus orang menulis sedangkan selainnya hanya ingin melihat dan meniru adab dan akhlak Imam Ahmad.” (Siyar Alam Nubala11/316).

Imam asy-Syathibi berkata: “Walhasil, hendaklah seseorang tidak mengikuti ulama kecuali yang terpercaya menurut kaca mata syar’i. Yang selalu menegakkan hujjah, paling paham dengan hukum syar’i secara umum maupun terperinci. Maka acapkali yang diikuti tidak sesuai dengan syar’i dalam sebagian masalah, maka janganlah dijadikan hakim dan jangan ditiru kesalahannya yang menyelisihi syariat.” (al-I’thisham 1/535, Adab at-Tatalmudz hal. 42)


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 16 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

_____

Penulis: Helmi Abu Bakar El-Langkawi (Aceh)
Editor: Athallah Hareldi