DONASI untuk pengembangan profil pesantren 1.820, kitab 700, makam 634, biografi Ulama 2.577 dan silsilah, tuntunan ibadah, Al-Qur'an dan Hadis serta asbabulnya, weton, assessment kepribadian, fitur komunitas media sosial.
Bagaimana memahami sebuah kekalahan politik dalam perspektif sejarah Islam? Jika dikaji lebih mendalam, maka kita akan mendapati serpihan yang menarik: kebenaran tak selamanya berupa kemenangan, sebagaimana kekalahan tak otomatis mengonfirmasi sebuah kesalahan.
“Dan sungguh-sungguh ‘amil-nya haal (kalimat yang melahirkan haal) hadir dalam bentuk di-taukid, seperti dalam contoh: ‘Janganlah engkau berbuat kerusakan di bumi seraya (dalam keadaan, haal) benar-benar membuat kerusakan nyata’.”
Benar kiranya jika era ini dinobatkan sebagai ruang yang selalu diliputi dengan segala hal yang serba berlebihan, perkataan melampaui kenyataan, pemberitaan melampaui tragedi dan pemahaman melampaui kebenaran.
Sejenak merunut memori ke belakang, sekitar tahun 2020-an, di akhir masa khidmat duet KH. Miftachul Akhyar dan KH. Said Aqil Siradj, saya bersama beberapa rekan pernah membahas agenda transformasi digital.
Para ulama Sunni klasik pun telah memberikan teladan yang sama. Ketika membahas perselisihan sejarah antara Sayyidina Ali dan Muawiyah, para ulama besar memilih sikap tawaqquf, yakni tidak mencela salah satu pihak. Karena keduanya adalah sahabat mulia yang berijtihad demi kebaikan umat.
Pada Muktamar ke-29 di Cipasung, pada tahun 1994, diputuskan bahwa pencemaran lingkungan, baik udara, air maupun tanah, apabila menimbulkan dlarar (kerusakan), maka hukumnya haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat).
Diskusi kolaboratif ini difokuskan pada pembahasan seputar naskah warisan skriptorium Pecenongan dan aktualisasi nilai-nilai substansial yang ada di dalamnya.
Di sini, di akar rumput—maaf, bagi kami NU bukan sekadar akronim, bukan pula panggung perebutan pengaruh, melainkan nafas kehidupan, tempat berteduh, dan mungkin sedikit suluh di tengah rimbun dan denyut umat.
Dalam konteks dinamika PBNU saat ini yang sarat dengan riuh wacana, silang pendapat, dan kekhawatiran warga Nahdliyin, rasanya ada kebutuhan mendesak untuk membaca ulang sejarah, sebagai upaya menjaga kejernihan sikap.
Perubahan itu terjadi setiap detik, dan tak seorang pun bisa menghentikannya. Diam bukan hanya akan ditinggalkan, tetapi akan terlindas dan mati.