Acara Mitoni dan Tingkeban, Bagaimana Hukumnya?

 
Acara Mitoni dan Tingkeban, Bagaimana Hukumnya?

LADUNI.ID, Jakarta - Sejarah tradisi mitoni berawal pada masa Prabu Jayabaya, waktu itu ada sepasang suami istri bernama Niken Satingkeb dan Sadiya, mereka melahirkan anak sembilan kali namun tidak satupun yang hidup. Kemudian keduanya menghadap raja Kediri, yaitu Prabu Widayaka (Jayabaya), mereka disarankan agar menjalankan tiga hal yaitu:
1. Setiap hari rabu dan sabtu, pukul 17.00, diminta mandi menggunakan tempurung kelapa (bathok).
2. Setelah mandi berganti pakaian yang bersih dengan menggembol kelapa gading yang dihiasi Kamajaya dan Kamaratih/Wisnu dan Dewi Sri yang diikat dengan daun tebu tulak, lalu dibrojolkan ke bawah, setelah kelapa gading tadi dibrojolkan, lalu diputuskan menggunakan sebilah keris oleh suaminya.

Setelah itu Niken Satingkeb dapat hamil dan anaknya hidup. Akhirnya sejak saat itu apabila ada orang hamil apalagi hamil pertama dilakukan tingkeban atau mitoni. Tradisi ini merupakan langkah permohonan dalam bentuk selamatan. Sebagian orang Jawa, (dan juga selainnya termasuk Sunda, Minang, Dayak dan lainnya) mempercayai bahwa mitoni atau selamatan tujuh bulanan, dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan atau lebih.

Mitoni dan tingkeban dilaksanakan saat kehamilan berusia tidak boleh kurang dari 7 bulan. Karena tidak ada neptu atau weton (hari masehi + hari Jawa) yang dijadikan patokan, maka hari selasa atau sabtu yang digunakan. Tujuan mitoni atau tingkeban agar supaya ibu dan janin selalu dijaga dalam kesejahteraan dan keselamatan.

Atas budaya tersebut ada sebagian orang yang mempertanyakan keabsahan pelaksanaan acara selamatan tersebut. Adakah dalil dan anjuran di dalam agama Islam tentang itu? Adakah Rasulullah pernah memerintahkan atau mencontohkan hal itu?

Jelas, bila yang dikehendaki adalah dalil, anjuran, atau perintah yang secara langsung menyebutkan nama kegiatan itu tak akan pernah ditemukan di sumber hukum Islam mana pun. Namun bila kita mau mempelajari dengan baik kita bisa menemukan dalil-dalil yang secara substansi bisa menjadi dasar keabsahan melakukan acara selamatan semacam itu.

Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim yang juga disebutkan bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallama bersabda:

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ

Artinya: “Sesungguhnya setiap orang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari (berupa sperma), kemudian menjadi segumpal darah dalam waktu empat puluh hari pula, kemudian menjadi segumpal daging dalam waktu empat puluh hari juga. Kemudian diutuslah seorang malaikat meniupkan ruh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menuliskan empat hal; rejekinya, ajalnya, amalnya, dan apakah dia menjadi orang yang celaka atau bahagia.” (Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Shahîh Muslim, Kairo: Darul Ghad Al-Jadid, 2008, jil. VIII, juz 16, hal. 165).

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa di antara proses penciptaan manusia ketika masih di dalam kandungan ibunya adalah bahwa pada mulanya ia berupa sperma (nuthfah) yang berproses selama empat puluh hari lamanya, kemudian menjadi segumpal darah (‘alaqah) yang juga berproses selama empat puluh hari lamanya, kemudian menjadi segumpal daging (mudlghah) yang juga berproses selama empat puluh hari lamanya menjadi satu janin dengan bagian-bagian tubuh yang lengkap sebagaimana layaknya rupa seorang manusia.

Dari sini dapat dilihat bahwa proses terbentuknya satu janin di dalam rahim seorang ibu hingga sempurna membutuhkan waktu selama tiga kali empat puluh hari yang itu berarti sama dengan seratus dua puluh hari dan dalam hitungan bulan sama dengan empat bulan lamanya.

Menurut hadits di atas setelah kurun waktu empat bulan itu barulah Allah memerintahkan satu malaikat untuk melakukan dua hal, pertama meniupkan ruh ke dalam janin tersebut. Dengan ditiupnya ruh maka janin yang pada mulanya hanya seonggok daging kini menjadi hidup, bernyawa. Ia tak lagi hanya sekedar makhluk mati tak ubahnya sebuah tembikar yang terbuat dari tanah liat, tapi kini ia telah menjadi makhluk hidup. Kedua, malaikat tersebut diperintah untuk mencatat empat perkara yang berkaitan dengan rejeki, ajal, amal, dan bahagia atau celakanya si janin ketika ia hidup dan mengakhiri hidupnya di dunia kelak.

Pada fase yang demikian ini, berdasarkan hadits di atas, para ulama Nusantara mengajari kita sebagai umatnya untuk memanjatkan doa kepada Allah subhânahû wa ta’âlâ agar janin yang ada di kandungan diberi ruh yang baik dan juga rupa tubuh yang sempurna tak kurang suatu apa sebagaimana layaknya tubuh seorang manusia normal pada umumnya. Juga memohon kepada Allah agar sang janin diberi takdir-takdir yang baik pula. Diberi umur yang panjang penuh berkah dan manfaat, rezeki yang melimpah penuh keberkahan, ahli melakukan amalan-amalan saleh, dan digariskan sebagai hamba yang berbahagia ketika hidup di dunia dan kelak meninggalkan dunia sebagai orang yang selamat dengan membawa keimanan kepada Allah Ta’ala.

Untuk memanjatkan permohonan-permohonan baik bagi sang janin itu para ulama negeri ini juga menganjurkan untuk meminta bantuan para tetangga dan sanak saudara untuk ikut serta mendoakannya. Maka diundanglah mereka ke rumah pada waktu yang ditentukan guna bersama-sama berdoa kepada Allah.

Acara selamatan atau kenduri ini—di Jawa khususnya—kemudian dikenal dengan nama mapati atau empat bulanan karena diadakan ketika kandungan telah mencapai usia empat bulan.

Bagaimana dengan acara selamatan tujuh bulan atau mitoni?

Sebagaimana mapati acara selamatan mitoni juga diajarkan para ulama dahulu kepada umat tidak secara asal. Acara selamatan yang telah membudaya ini diajarkan oleh mereka setidaknya dengan berdasar pada firman Allah yang terdapat di dalam Surat Al-A’raf ayat 189:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ

Artinya: “Dia lah dzat yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu dan darinya Dia ciptakan istrinya agar ia merasa senang kepadanya. Maka ketika ia telah mencampurinya, sang istri mengandung dengan kandungan yang ringan dan teruslah ia dengan kandungan ringan itu. Lalu ketika ia merasa berat kandungannya keduanya berdoa kepada Allah Tuhannya, “Apabila Engkau beri kami anak yang saleh maka pastilah kami termasuk orang-orang yang bersyukur.”

Ayat di atas bercerita tentang Nabi Adam dan ibu Hawa sebagai pasangan suami istri. Imam Al-Baghawi dalam kitab tafsirnya menuturkan bahwa ketika masa-masa awal kandungan ibu Hawa merasakan kandungannya sebagai sesuatu yang ringan, tidak merasa berat. Ia berdiri dan duduk sebagaimana biasanya. Namun ketika anak di dalam rahimnya kian membesar ibu Hawa merasakan kandungannya makin berat dan makin dekat masa melahirkan. Maka kemudian Nabi Adam dan istrinya berdoa memohon kepada Allah agar diberi seorang anak yang saleh sempurna sebagaimana dirinya (Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi, Ma’âlimut Tanzîl, Kairo: Darul Alamiyah, 2016, jil. II, hal. 191).

Atas dasar inilah para ulama di negeri ini kala itu menganjurkan kepada umat muslim untuk mendoakan jabang bayi yang ada di kandungan ibunya yang telah memasuki masa hamil tua. Dan untuk keperluan itu dianjurkan untuk mengumpulkan para tetangga agar ikut serta mendoakan jabang bayi agar diberi kesempurnaan rupa, keselamatan, kesehatan dan kemudahan ketika nanti dilahirkan pada waktunya.

Mengapa harus mengumpulkan para tetangga, bukankah orang tua si bayi bisa berdoa sendiri? Ya, dikumpulkannya para tetangga untuk ikut mendoakan adalah karena merasa dirinya bukan orang yang memiliki kedekatan yang baik dengan Allah subhânahû wa ta’âlâ sehingga merasa perlu meminta tolong banyak orang dan seorang pemuka agama untuk ikut mendoakan bersama-sama dengan harapan doanya akan lebih didengar dan dikabulkan oleh Allah. Apakah yang demikian itu tidak diperbolehkan?

Mengapa harus memberi berkat kepada para hadir?

Berkat yang diberikan oleh tuan rumah kepada para hadir setelah selesainya acara empat atau tujuh bulanan adalah sebagai tanda rasa terima kasih atas keikhlasan berkenan hadir dan mendoakan sang bayi. Masyarakat sendiri tak pernah meminta atau mensyaratkan diberi berkat bila diundang di acara tersebut. Itu murni dari kerelaan tuan rumah yang mengundang.

Bahkan di beberapa daerah berkat yang dibawa pulang sering kali disebut “sebagai saksi”. Saksi atas apa? Saksi bahwa orang tersebut pergi dari rumah di malam hari benar-benar memenuhi undangan selamatan, bukan untuk keperluan lain yang tak semestinya dilakukan. Dengan demikian maka tak ada prasangka buruk pada keluarga yang menunggu di rumah.

Inilah kearifan yang dibangun oleh para ulama negeri ini. Bukan tanpa dasar mereka menciptakannya. Bukan asal mereka membudayakannya. Semuanya didasarkan pada ajaran-ajaran agama yang luhur. Hanya saja para ulama kala itu tidak banyak menyampaikan dalilnya karena bisa jadi masih terbatasnya kemampuan pemahaman agama masyarakat pada saat itu.