Biografi Dr. KH. Ahmad Fathoni Lc. MA

 
Biografi Dr. KH. Ahmad Fathoni Lc. MA

Sekilas Profil

Ustadz Fathoni lahir di sebuah desa kecil di wilayah Kebupaten Nganjuk, Jawa Timur. Ketika duduk di kelas 4 SD, ayahnya berpulang ke rahmatullah, sehingga sejak saat itu ia dibesarkan oleh ibunya seorang diri, seorang janda petani miskin yang harus menghidupkan ketiga anaknya. Meskipun demikian, di dalam mendidik anak-anaknya, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum, ibunya tidak kalah dengan keluarga yang berkecukupan.

Pada sore hingga malam harinya Ahmad Fathoni mengaji Al-Qur’an dan ilmu agama di sebuah surau kepada seorang guru mengaji di kampungnya. Setiap Ahad ia disuruh ibunya khusus mengaji Al-Qur’an kepada seorang kiai yang hafal Al-Qur’an tamatan Pondok Pesantren Al-Qur’an Krapyak, Yogyakarta, di desa tetangga, K.H. Hasyim Yusuf, yang dikenal sangat memperhatinkan kefasihan pelafalan huruf dan ketepatan bertajwid di dalam membaca Al-Qur’an.

Menimba Ilmu

Setelah tamat SD, juga tamat sekolah di ibtidaiyyah, Fathoni melanjutkan pendidikannya ke SMPN. Namun ia tetap mengaji Al-Qur’an dan menimba ilmu agama kepada kiai tersebut, bahkan setiap hari, tanpa absen.

Setamat SMPN ia melanjutkan studinya ke SMAN di Kertosono, Nganjuk. Ia juga belajar di Pesantren Salaf Miftahul ‘Ula Nglawak dekat SMA tersebut. Ketika masih duduk kelas dua SMA, ia ikut ujian Extranei di Madrasah Tsanawiyah Negeri. Dan ketika duduk di kelas tiga SMA, ia juga ikut ujian Extranei di Madrasah Aliyah Negeri di Pesantren Tambak Beras, Jombang. Dengan demikian, ketika lulus SMA tahun 1969, ia juga lulus dari Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN).

Setamat SMA, ia bukannya melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, akan tetapi ke Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, untuk menghafal Al-Qur’an kepada K.H. Ahmad Munawwir, yang mempunyai sanad Riwayat Hafsh ke-30 dari Rasulullah SAW, beliau menghafal Al-Qur’an dan bertalaqqi kepada kakak kandungnya, Kiai Abdul Qadir. Keduanya adalah putra K.H. Muhammad Munawwir, yang menghafal Al-Qur’an dan belajar Qira’at Sab’ah di Makkah Al-Mukarramah. Dengan demikian, Ustadz Fathoni memiliki sanad Riwayat Hafsh ke-31 dari Rasulullah melalui K.H. Ahmad Munawwir.

Setelah selesai menghafal Al-Qur’an, pada tahun 1973 ia mengetahui kabar bahwa Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta membuka kesempatan memberikan beasiswa kepada satu orang untuk masing-masing utusan provinsi di Indonesia. Berkat kecerdasannya, Ahmad Fathoni beruntung mendapatkan kesempatan tersebut sebagai utusan dari Provinsi Jawa Timur.

Ketika baru tingkat III tahun 1976, ada kesempatan memperoleh beasiswa untuk kuliah di Fakultas Al-Qur’an wa Ad-Dirasat Al-Islamiyyah, Madinah. Ia pun berhasil mendapatkan beasiswa tersebut. Pada fakultas tersebut ia belajar Syarh Syathibiyyah kepada Syaikh Abdul Fattah Al-Qadi, penyusun kitab Al-Wafiy fi Syarh Syathibiyyah fi Al-Qira’at al-Sab’. Sedang Tathbiq al-Qira’at al-Asyr yang mutawatirah untuk Qira’ah Sab’ah, menurut  Thariq (Jalur) Asy-Syathibiyyah, ia belajar kepada Syaikh Abdul Rafi Ridwan, dan Metode Qira’ah Tsalatsah, menurut Thariq ad-Durrah, kepada Syaikh Ahmad Sibaweh Al-Badawiy.

Program S2-nya dijalaninya di IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah sejak tahun 1997 hingga lulus tahun 1999. Pada tahun 2000 ia melanjutkan program S3 di universitas yang sama.

Aktivitasnya

Tahun 1981 ia pulang ke tanah air dan langsung mengajar Qira’at Sab’ah, Ilmu Rasm Utsmani, Ilmu Tajwid, dan Tahfizh Al-Qur’an di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) dan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, menggantikan Syaikh Abdul Qadir Azhim, yang telah pulang ke Mesir, hingga sekarang.

Aktivitasnya dari waktu ke waktu semakin padat. Selain di IIQ dan PTIQ, Ustadz Fathoni juga menjadi dosen UIN Jakarta, Sekolah Tinggi Kuliyyatul Qur’an Al-Hikam, Depok, yang seluruh mahasiswanya ketika masuk perguruan tinggi ini harus sudah hafal Al-Qur’an 30 juz, te¬naga pengajar di Lembaga Bahasa dan Ilmu Al-Qur’an (LBIQ), Jakarta, dan juga sebagai anggota Lajnah Pentashih Al-Qur’an, Kementerian Agama.

Di tengah-tengah kesibukannya, ia tetap memberikan perhatian kepada keluarga, terutama pendidikan anak-anaknya. Setelah menikahi Dewi Mariyam pada tahun 1986 ia dikaruniai tiga orang anak.

Anak pertamannya, Jeihan Sakhoya, baru lulus dari Fakultas Tarbiyah, Universitas Islam Negeri Jakarta. Anak kedua, Litakuna Karima, duduk di semester 6 Fakultas Tarbiyah, Institut Ilmu Al-Qur’an, Jakarta. Anak ketiga, Dedayev Syamardala, kelas 2 Madrasah Aliyah, di Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta.

Menemukan Metode Baca Qur'an "Maisura​"

Dewasa ini, berbagai macam metode belajar membaca Al-Qur’an tumbuh subur di Bumi Pertiwi dengan nama yang beraneka ragam. Bahkan ada yang menjanjikan berhasil dengan hitungan beberapa jam atau dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Garis besar  metode-metode yang ditawarkan tersebut adalah mengajak mencintai Al-Qur’an pada tahap pertama, yakni bisa membacanya. Pada tahap berikutnya tentu diharapkan bisa memahami dan mengamalkan isi kandungannya.

Akan tetapi, menurut Dr. H. Ahmad Fathoni, Lc., M.A., tamu kita kali ini, umumnya berbagai macam metode cepat tersebut baru dapat menyentuh kulitnya saja. Ibarat anak yang baru berumur tiga tahun yang belajar berbicara, mereka sudah bisa berbicara tetapi belum bisa berbicara dengan baik, apalagi benar.

Pada surah Muzammil ayat 4 dikatakan Warattilil-qur-aana tartiila, yang artinya, “Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” Dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW supaya membaca Al-Qur’an secara seksama (tartil). Yakni membaca Al-Qur’an dengan perlahan-perlahan dengan bacaan yang fasih serta merasakan arti dan maksud dari ayat-ayat yang dibaca itu sehingga berkesan di hati.

Menurut Ustadz Fathoni, menukil pendapat Sayyidina Ali bin Abi Thalib, tafsir dari tartil adalahtajwidul huruf wa ma’rifatul wuquf, yakni membaguskan bacaan huruf-huruf Al-Qur’an dan mengetahui ihwal waqaf. Maka dapat digarisbawahi bahwa perintah membaca Al-Qur’an itu bukan sekadar tartil, akan tetapi tartil yang setartil-tartil-nya, atau tartil secara maksimal dan optimal.

Karenanya, melihat kondisi ini, Ustadz Fathoni melahirkan Metode Maisura, Petunjuk Praktis Tahsin Tartil Al-Qur’an, pada tahun 2010. Ia mena¬warkan metode pertama dan satu-satu¬nya di Indonesia untuk lebih mudah dan cepat mencapai bacaan Al-Qur’an yang berkualitas tartil se-tartil-tartil-nya atau berkualitas dan optimal bagi mereka yang sudah bisa membaca Al-Qur’an.

Menurut ayah empat anak ini, Metode Maisura sudah lama ia gagas dan telah ia ajarkan kepada murid-muridnya sejak tahun 1994. Dahulu metode ini belum ada namanya. Baru terpikirkan memberikan nama ketika metode ini mulai tersebar luas dan banyak yang menanyakan metode apa yang selama itu dipelajari. Mulailah ia memikirkan nama yang tepat untuk penemuannya tersebut.

Suatu ketika, saat ia sedang membaca Al-Qur’an surah Al-Isra ayat 28, terdapat kalimat ‘qaulan maisura’. Ia berhenti sejenak dan berpikir bahwa kata maisura dirasa tepat sebagai nama metodenya. Arti maisura adalah mudah dipahami, simpel, praktis, bersahaja, dan lemah-lembut. Sejak itulah ia menamakan penemuannya “Metode Maisura, Petunjuk Praktis Tahsin Tartil Al-Qur’an”.

Mempelajari Al-Qur’an melalui Metode Maisura didukung dengan petunjuk praktis yang dituangkan dalam buku panduan sehingga semakin mempermudah bagi para pelajar yang ingin mempelajarinya. Waktunya juga sangat singkat, sekitar 12-14 jam. Dengan demikian, metode ini sangat istimewa.

Karyanya

  1. Kaidah Qira’at Tujuh Jilid I dan II
  2.  Cara Cepat Menghafal Al-Quran Metode Cetak
  3.  Studi Bacaan Al-Qur’an Riwayat Hafsh dan Qalun (Surat Al-Fatihah, Al-Baqarah, dan Ali Imrah)
  4. Seratus Maqra Qira’at Mujawwad Menurut Riwayat Qalun, Warsy, Khalaf dan Qira’at Sab’ah.

 

Sumber:  Dari Berbagai Sumber