Menghindari Ghibah, Mempererat Ukhuwah

 
Menghindari Ghibah, Mempererat Ukhuwah
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Sering kita melihat di sekitar atau bahkan di medsos, antara sesama muslim terkadang masih saling menggunjing, memfitnah, menghina, mengejek, mencibir, mencemooh, menghujat, mengumpat, mencaci maki, membuka aib seseorang, mencari kesalahan orang lain dan lainnya. Semua hal itu dapat menjadikan seseorang tersakiti. Dalam Al-Qur'an terdapat ayat yang secara tegas melarang dan memerintahkan untuk menjauhi perbuatan tersebut, sebagaimana terdapat dalam Surat Al-Hujurat ayat 12:

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱجۡتَنِبُوا۟ كَثِیرࣰا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمࣱۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا یَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَیُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن یَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِیهِ مَیۡتࣰا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابࣱ رَّحِیمࣱ

Artinya, "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari keburukan orang dan janganlah menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." 

Lafadh "Ightaba" dalam Kamus Bahasa Arab ditafsiri dengan arti; "menyebut cacat atau aib seseorang". Pengertian lainnya, juga bisa dimaknai dengan berbicara tentang seseorang dengan niatan hasud, dengki, serta melemparkan tuduhan bohong dan kebencian yang menimbulkan provokasi di antara sesama. Oleh karenanya, kita harus menjauhi prasangka dan praduga jelek yang sifatnya masih asumtif, sebab hal itu tentu berdampak buruk. Tidak ada kebaikannya sama sekali. 

Dalam Kitab Al-Adzkar karya Imam An-Nawawi dalam Bab Kafaratul Ghibah (tebusan dosa menggunjing) disebutkan satu keterangan sebagaimana berikut:

وَالتَّوْبَةُ مِنْ حُقُوْقِ الْآدَمِيِّيْنَ يُشْتَرَطُ فِيْهَا هَذِهِ الثَّلَاثَةُ، وَرَابِعٌ وَهُوَ: رَدُّ الظَّلَامَةِ إِلَى صَاحِبِهَا أَوْ طَلَبُ عَفْوِهِ عَنْهَا وَالْإِبْرَاءُ مِنْهَا. فَيَجِبَ عَلَى الْمُغْتَابِ اَلتَّوْبَةُ بِهَذِهِ الْأُمُوْرِ الْأَرْبَعَةِ، لِأَنَّ الْغِيْبَةَ حَقٌّ آدَمِيٌّ، وَلَا بُدَّ مِنْ اِسْتِحْلَالِهِ مَنْ اغْتَابَهُ، وَهَلْ يَكْفِيْهِ أَنْ يَقُوْلَ: قَدْ اغْتَبْتُكَ فَاجْعَلْنِيْ فِي حِلٍّ أَمْ لَا بُدَّ أَنْ يُبَيِّنَ مَا اغْتَابَهُ بِهِ؟ فِيْهِ وَجْهَانِ لِأَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُمُ الله، أَحَدُهُمَا: يُشْتَرَطُ بَيَانُهُ، فَإِنْ أَبْرَأَهُ مِنْ غَيْرِ بَيَانٍ لَمْ يَصِحْ، كَمَا لَوْ أَبْرَأَهُ عَنْ مَالٍ مَجْهُوْلٍ. وَالثَّانِي: لَا يُشْتَرَطُ، لِأَنَّ هَذَا مِمَّا يَتَسَامَحُ فِيْهِ فَلَا يُشْتَرَطُ عِلْمُهُ، بِخِلَافِ الْمَالِ. وَالْأَوَّلُ الْأَظْهَرُ، لِأَنَّ الْإِنْسَانَ قَدْ يَسْمَحُ بِالْعَفْوِ عَنْ غِيْبَةٍ دُوْنَ غِيْبَةٍ. فَإِنْ كَانَ صَاحِبُ الْغِيْبَةِ مَيِّتًا أَوْ غَائِبًا فَقَدْ تَعَذَّرَ تَحْصِيْلُ الْبَرَاءَةِ مِنْهَا، لَكِنْ قَالَ الْعُلَمَاءُ: يَنْبَغِي أَنْ يُكْثِرَ الْإِسْتِغْفَارَ لَهُ وَالدُّعَاءَ وَيُكْثِرَ مِنَ الْحَسَنَاتِ.

Dalam redaksi di atas Imam An-Nawawi menjelaskan, bahwa salah satu dari syarat taubat dari hak anak adam adalah "raddud dzalamah" (mengembalikan hak yang dizalimi) kepada orangnya, atau meminta maaf serta pembebasan atas kesalahannya tersebut. Sebab ghibah termasuk dari "haq adami" dan wajib hukumnya minta "istihlal" (meminta maaf) kepada orang yang bersangkutan.

Kemudian Imam An-Nawawi juga melanjutkan bahwa apakah cukup hanya dengan perkataan, "Dulu aku pernah ghibah terhadapmu, maka jadikanlah halal bagiku," ataukah di sini juga diperlukan untuk menjelaskan secara detail perbuatan yang telah dilakukan.

Mengenai kasus ini terdapat dua pendapat di kalangan Ashab As-Syafi'i. Pendapat pertama, disyaratkan untuk menjelaskan secara detail tindakan yang telah diperbuat. Maka andaikan ia dibebaskan (dihalalkan) tanpa adanya klarifikasi terlebih dahulu, justru nanti menjadikan permintaan maafnya tidak sah, seperti dalam kasus membebaskan seseorang dari tanggungan harta yang majhul (tidak diketahui).

Pendapat kedua, tidak disyaratkan untuk dijelaskan secara terperinci, sebab hal ini termasuk dari perkara yang mendapatkan tasamuh (kemurahan) sehingga tidak disyaratkan harus diketahui, berbeda dengan kasus yang berkaitan dengan harta benda. Lalu ketika orang yang dizalimi itu tidak ada ataupun sudah meninggal, maka para ulama mengatakan bahwa seyogyanya untuk memperbanyak istighfar dan doa kepadanya serta memperbanyak melakukan kebaikan. 

Sebenarnya jika kita masih mampu untuk bersilaturrahim secara langsung bertemu dan bertatap muka, maka kita harus melakukan hal itu semampunya. Tapi jika memang tidak bisa dikarenakan adanya halangan, maka dalam konteks zaman sekarang, bisa juga melakukan silaturrahim via online melalui smartphone. Sebab kewajiban kita untuk bersilaturrahim ini memandang urf' (adat kebiasaan) dan kondisi pada waktu itu. Adapun jika dilakukan dengan mendoakan padahal masih bisa memungkinkan bertemu, maka itu tidaklah cukup. Perlu lebih berusaha serius bertemu secara langsung dan meminta maaf sepenuhnya. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 28 Mei 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa. 

Penulis: Safdinar M. Annur (FP. PP. MUS Sarang)

Editor: Hakim