Nikmatnya Bertaqwa Kepada Allah SWT

 
Nikmatnya Bertaqwa Kepada Allah SWT
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Bertaqwa kepada Allah adalah sebuah keharusan yang mutlak untuk dilakukan.  Taqwa bisa dilakukan dengan berbagai cara, Allah berfirman dalam Al-Quran:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali 'Imran: 134).

Nabi Muhammad SAW bersabda:

"Wahai para sahabat, sesaat lagi akan masuk di ruang ini, seorang laki-laki ahli surga."

Tentu peringatan ini sangat menarik perhatian para sahabat, sehingga dinantilah kedatangan ahli surga tersebut. Setelah cukup lama, datanglah seorang yang sederhana, dengan membawa sandal yang dijinjingnya dan wajah yang basah setelah berwudhu.

Lalu ada sahabat yang bergumam, "Ia bukan sebagaimana ahli surga."

Nabi Muhammad SAW berkata lagi dengan perkataan yang sama sampai tiga kali pengulangan. Akhirnya setelah majlis tersebut telah selesai. Ada salah seorang sahabat bernama Abdullah bin Amr bin Ash mengejar orang tersebut. Karena saking ingin tau bagaimana amaliyahnya, sampai dikatakan oleh nabi sebagai ahli surga.

Kemudian datanglah sahabat Abdullah bin Amr bin Ash ke rumah orang tersebut, dan berkata:

"Wahai saudara, mohon maaf aku memohon izin untuk menginap dirumahmu karna aku sedang berseteru dengan ayahku di rumah, bolehkah saudara?" (Sebenarnya sahabat Abdullah bin Amr bin Ash tidak sedang berseteru dengan sang ayah, namun hanya sebagai alasan supaya orang tersebut tidak curiga)

Jawab orang tersebut, "Oh iya, silahkan."

Pada malam pertama menginap di rumah orang tersebut, Abdullah bin Amr bin Ash tidak melihat orang tersebut melakukan amaliyah apapun sampai malam ke tiga, tapi yang didapat oleh Abdullah bin Amr bin Ash bahwa orang tersebut tidak pernah menggunjing orang lain,

Saat sudah menemukan cukup jawaban Abdullah bin Amr bin Ash pamit pulang, sebelum nya Abdullah telah menceritakan alasan utama beliau menginap di rumah orang tersebut. Lalu setelah itu ia menjawab:

"Alhamdulillah selama ini saya tidak pernah punya dendam dengan orang lain."

Kata Abdullah bin Amr bin Ash, "Oh, ya berarti benar."

Maka dari kisah tersebut dapat diambil hikmah, salah satunya adalah berhuznudzon dan tidak dendam dengan orang lain, terlihat sederhana tetapi sulit dilakukan.

Sebagaimana yang marak terjadi akhir-akhir ini bahwa adanya perebutan jabatan, rebutan kekuasaan, rebutan kursi yang menyebabkan kekacauan.

Untuk menghentikan kekacauan yang ada diperlukannya sikap saling memaklumi dan memaafkan. Apalagi saat bulan ramadhan, kita diberi kesempatan yang emas untuk memohon ampun atas dosa حق الله dan حق الأدم.  Sebagaimana dalam maqolah:

من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

“Barangsiapa yang berpuasa (di Bulan) Ramadhan (dalam kondisi) keimanan dan mengharapkan (pahala), maka dia akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu”.

Maka pada setiap orang, dibutuhkannya management qolbu, agar jika berhadapan dengan seseorang yang melakukan perbuatan tercela kepada kita, terciptalah hati dalam keadaan yang tidak dendam, tetapi malah menimbulkan kesadaran, barangkali kita pernah berbuat yang demikian maka Allah SWT memberikan balasan melalui orang lain.

Cucu nabi bernama Sayyid Ali Zainal Abidin, putra dari Sayyidina Husein memiliki akhlak yang baik, sampai beliau diberi julukan Zainal Abidin yang berarti hiasan hamba-hamba Allah.

Setiap hari beliau tidak pernah lepas dari sholat shubuh berjamaah dan sebagai imam yang selalu hadir di awal waktu, suatu ketika ada budak yang akan berjualan tetapi sholat terlebih dahulu, setelah itu ia merogoh-rogoh sakunya mengecek uang yang akan dijadikannya modal jualan, tetapi tidak ada dalam saku, kemudian tanpa fikir panjang ia mengira ada orang yang mengambil uang, akhirnya ditunggu lah orang-orang yang keluar masjid, ia berkeyakinan bahwa orang yang keluar masjid terakhir kali adalah orang yang mengambil uangnya karena jika ia keluar di awal, maka akan segera tertangkap.

Kemudian keluarlah orang yang terakhir didalam masjid, ia adalah Sayyid Ali Zainal Abidin, kemudian ditangkaplah beliau oleh orang tersebut, Sayyid Ali pun bertanya dengan tenang, "Uang sampean yang hilang berapa?" Dijawablah olehnya dengan nominal yang sesuai, setelah itu Sayyid Ali pun menuju ke rumahnya untuk mengambil uang yang akan diberikan kepada budak tersebut. Kemudian ada salah satu sahabat yang menemui beliau dan menanyakan tentang kesalahpahaman itu, bertanyalah ia pada Sayyid Ali, "Mengapa engkau memberikannya uang, sedang engkau tidak bersalah?"

Lalu dijawablah oleh Sayyid Ali, "Iya tidak apa-apa, mungkin aku pernah berbuat tercela hingga Allah SWT memberikan balasan yang demikian.”

وَلَا تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۗاِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ فَاِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَبَيْنَهٗ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهٗ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ – ٣٤

Artinya: “Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan an-tara kamu dan dia akan seperti teman yang setia.” (QS. Fussilat: 34)

Keponakan sekaligus menantu Kanjeng Nabi Muhammad SAW bernama Ali bin Abi Thalib yang memiliki istri Sholihah nan cantik, beliau adalah putri kesayangan Rasulullah Saw, sayyidah Fatimah Ra. Saat itu Fatimah sedang sakit demam, kemudian meminta dengan merintih kepada Ali bin Abi Thalib untuk dibelikan buah delima, namun di saat yang bersamaan Ali tidak memiliki uang sama sekali dan akhirnya mencari hutangan dengan mendapatkan beberapa dirham, yang hanya bisa dibelikan 1 butir buah delima. Saat akan kembali ke rumah, di tengah perjalanan Ali bertemu dengan dengan seorang tua yang terkapar lemah.

Ali pun dilema, karena pada waktu yang sama ada Sayyidah Fatimah, istrinya yang sedang sakit dan menginginkan buah delima, namun di sisi lain ada fakir yang kesusahan mencari makan. Tetapi Ali memilih untuk memberikan buah delima tersebut kepada si tua,

Tidak hanya memberikan 1 butir buah delima, Ali juga menyuapkan nya kepada seorang tua tadi. Setelah itu Ali melanjutkan perjalanannya dengan dilema karena memikirkan Fatimah yang tidak bisa merasakan buah delima, sesampainya di rumah, dibukalah pintu oleh Sayyidah Fatimah dan dipeluklah Ali olehnya sambil berkata:

"Wahai suamiku apa yang telah kau lakukan, itulah amal daripada kebaikan yang lalu, begitu kau memberikan buah delima pada seorang tua tadi, aku oleh Allah SWT diberikan kesembuhan." sebagaimana firman Alloh SWT:

وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

Artinya: “Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka.” (QS. Al-Hasyr: 9)

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُون

 Artinya: “Siapakah yang mau memberikan pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah akan melipatgandakan pembayaran baginya dengan penggandaan yang banyak. Allah menyempitkan dan melapangkan rezeki. Dan hanya kepada-Nya kalian akan dikembalikan.” (QS al-Baqarah: 245)

Maka dengan kita beramal untuk orang lain, manfaatnya lebih besar dan akan diganti oleh Allah SWT. Keluarga Ali bin Abi Thalib memang hidup dalam kesederhanaan, tetapi hal tersebut menjadi jimat.

Kalau dawuh abah, jimat itu singkatan dari barang sitik sing kerumat (sesuatu yang sedikit tetapi terjaga) yang kemudian diberi karomah oleh Allah SWT, seperti dalam masa pandemi ini tawassul yang sangat populer dilakukan dikalangan masyarakat yang bisa disyairkan atau dibaca biasa sebagaimana berikut:

لِيْ خَمْسَةٌ أُطْفِيْ بِهَا # حَرَّ الْوَبَاءِ الْحَاطِمَةْ

اَلْمُصْطَفَى وَالْمُرْتَضَى # وَابْنَاهُمَا وَالْفَاطِمَة

Setelah kita mengetahui bagaimana cara me-management syahwat, maka sekarang akan kita bahas bagaimana cara nya me- management ghodob (marah).

Abah mengutip dari Tafsir Al-Misbah karangan Prof. Dr. Quraisy Shihab,

الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ

Artinya: “(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (Ali Imron: 134)

Orang yang cerdas emosinya adalah orang yang bisa menahan amarahnya. Orang bertaqwa jika ia marah ibarat kendil yang isinya air mendidih tetapi tertutup sehingga tidak sampai menyakiti sekitar, namun jika ia dibiarkan maka akan berakibat sebaliknya.

Ada tingkatan orang yang ghodob:

1. Ia tidak marah, tidak memukul, tetapi hatinya masih dendam

2. Maaf والعافين (berasal dari menghapus) yaitu menghapus luka hati, dengan membangun relasi yang baik bersama sesama

3. Berbuat baik kepada orang yang membenci dan Alloh SWT menyukai orang² yang berbuat baik

 (والله يحب المحسنين)

وفقنا الله بما يحب ويرضى

Mashlahatul Hidayah

Kamis, 03 Juni 2021

 

Abah Drs. KH. Ahmad Hasan M.Pd.I

Sumber: https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=2589383481366458&id=100008844936169