Menjadi Pribadi yang Memaafkan

 
Menjadi Pribadi yang Memaafkan
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Dalam pergaulan keseharian, manusia kerapkali berbuat kesalahan. Bagi pelaku, tentunya dianjurkan untuk taubatan nasuha dan bagi korbannya dianjurkan untuk memaafkan. Memaafkan adalah sifat mulia, yang akan mendatangkan kemuliaan dihadapan manusia maupun dihadapan Allah SWT.

Memaafkan berarti berusaha menghapus segala kesalahan antar sesama. Meskipun hati terluka, namun orang yang memaafkan tetap berupaya menghilangkan amarah, rasa benci, iri hati dan bahkan dendam yang bersarang dalam diri.

Ada pribahasa yang mengatakan “tak ada gading yang tak retak” yang berarti semua manusia memiliki cacat dan kekurangan. Tak ada manusia yang sempurna, setiap kesalahan butuh untuk dimaafkan. Dengan memaafkan, akan membuat hati kita menjadi tenang dan penuh kedamaian serta terhindar dari perpecahan persaudaraan dan bahkan permusuhan.

Kendatipun memaafkan tidak bisa merubah masa lalu, tetapi dengan memaafkan kita bisa menentukan masa depan. Perintah untuk memaafkan telah dititahkan Allah dalam Al-Qur’an, yang berbunyi:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ

Artinya: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)

Menurut al-S’adi dalam kitabnya, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, surah al-A’raf ayat 199 ini merangkum tentang sikap terpuji dalam kehidupan bermasyarakat, yakni berinteraksi dengan baik, memaafkan orang lain, tidak saling bertikai, hingga memerintahkan segala kebaikan dan mencegah keburukan, bahkan saling tolong-menolong dalam ketakwaan.

Memperkuat pentingnya memaafkan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda:

الْعَفُوْ أَحَقُّ مَا عُمِلَ بِهِ

“Memaafkan adalah yang paling benar dikerjakan.” (HR Baihaqi)

Maaf dalam bahasa Arab disebut al-afw, yang dalam kamus Al Munawwir berarti penghapusan, ampun, bertambah, atau anugerah. Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab, pemaaf berarti seseorang rela memberi maaf kepada orang lain, menghapus bekas-bekas luka di hatinya.

Dalam Bahasa Inggris nama lain dari pemaafan disebut dengan forgiveness. Secara psikologis, forgiveness berarti suatu sikap seseorang yang telah disakiti untuk tidak melakukan suatu perbuatan balas dendam terhadap seseorang yang telah menyakitinya. Selain itu juga tidak adanya keinginan untuk menjauhi pelaku dan ada keinginan untuk berdamai serta berbuat baik terhadap orang yang menyakitinya (pelaku).

Forgiveness dapat berarti dua hal, yaitu meminta maaf dan memaafkan. Dalam psikologi, forgiveness selalu berkaitan dengan tiga aspek. Yakni memaafkan orang lain, menerima permintaan maaf dari orang lain, dan memaafkan diri sendiri.

Hakikat maaf ataupun pemaafan tersebut, telah tercermin dalam sebuah riwayat seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia berkata:

يَا رَسُول اللَّه، إِنَّ لِي قَرابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُوني، وَأُحْسِنُ إِلَيْهِم وَيُسِيئُونَ إِليَّ، وأَحْلُمُ عنهُمْ وَيَجْهَلُونَ علَيَّ، فَقَالَ: لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ المَلَّ، وَلا يَزَالُ معكَ مِنَ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلكَ

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya memiliki kerabat, saya sambung tapi mereka malah memutuskan, saya berbuat baik mereka malah berbuat buruk kepada saya. Mereka berbuat jahil kepada saya tapi saya sabar tidak ingin membalas dengan yang sama. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘jika yang kamu katakan itu benar, maka seakan-akan kamu menaburkan debu panas ke wajahnya dan senantiasa Allah akan menolong kamu selama kamu terus berbuat seperti itu.’” (HR. Muslim)

Forgiveness memiliki berbagai manfaat, baik secara psikologis maupun kesehatan. Di antaranya adalah memperbaiki hubungan yang renggang, menyembuhkan luka batin yang mendalam, pemulihan bagi korban maupun pelaku, serta sebagai sarana untuk pengembangan diri ke arah yang lebih baik. Selain itu, mereka juga sulit untuk bisa mempertahankan tingkat kesehatan mental di hari tuanya.

Lebih jauh, ternyata tingkat stres orang-orang yang memaafkan menjadi lebih rendah dan sikap hostility (bermusuhan) nya ikut berkurang. Sedangkan manfaat kesehatan lebih terasa untuk orang lanjut usia, di mana mereka yang mau memaafkan menjadi jarang mengalami nervousness, kegelisahan, dan kesedihan.

Orang yang sulit untuk memaafkan atau meminta maaf ternyata lebih rentan terhadap berbagai gangguan psikologis. Ketidakmauan kita untuk memaafkan seseorang ternyata menghambat respon tubuh untuk mengatasi berbagai bakteri, infeksi, berbagai penyakit lainnya. Orang-orang yang tidak mau memaafkan lebih sering mengalami konflik bathin, tekanan emosi negatif, dan tidak mau kompromi.

Memaafkan memang tak semudah membalikkan telapak tangan, ia butuh proses. Secara psikologis, proses memaafkan membutuhkan lima tahapan yang populer disebut REACH (Recall, Emphatize, Altruistic, Commit, dan Hold) yakni:

1. Recall, yaitu mengingat kembali rasa luka itu seobyektif mungkin, tidak berpikir bahwa pelakunya adalah orang jahat ataupun tidak merasa kasihan pada diri sendiri.

2. Empathize atau berempati, yaitu berusaha untuk memahami sudut pandang si pelaku. Memikirkan apa yang menyebabkan pelaku berbuat jahat.

3. Altruistic, yaitu mengenang kembali kesalahan yang telah dilakukan, lalu merasa bersalah, dan akhirnya memaafkan

4. Commit, yaitu tekad kuat untuk memaafkan orang lain secara terbuka.

5. Hold, yaitu berpegang teguh pada prinsip memaafkan, karena memaafkan bukan sekedar penghapusan melainkan merupakan perubahan pada kesan yang ditimbulkan kenangan. Intinya, pemaafan yang diberikan oleh seseorang membutuhkan suatu proses, dari sakit hati hingga membebaskan diri dari belenggu yang menyakitkan dan berakhir pada tindakan kebaikan hati kepada si pelaku.

Jadi, memaafkan bukanlah kejadian sesaat, melainkan sebuah proses. Memaafkan adalah suatu proses yang harus ditumbuh kembangkan karena berlawanan dengan kecenderungan alamiah manusia untuk membalas dendam dan menentang ketidak adilan. Memaafkan secara tulus memang sulit, namun kita semua pasti bisa melakukannya. Hal ini sebagaimana dicontohkan Nabi Yusuf AS yang memaafkan semua saudara-saudaranya yang telah berusaha membunuh Beliau dengan memasukkannya ke dalam sumur. Hal ini diabadikan dalam Al-Qur’an yang berbunyi:

 قَالَ لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ ۖ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

Artinya: “Dia (Yusuf) berkata: ‘Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.’” (QS. Yusuf: 92)

Indahnya menjadi pribadi yang pemaaf, karena sifat pemaaf itu mendatangkan maaf Allah kepada kita yang gemar memaafkan kesalahan orang lain. Sebagaimana ketika Allah SWT menegur Abu Bakar RA yang tidak mau memaafkan orang yang menuduh ‘Aisyah telah berzina.

Di mana ‘Aisyah RA dituduh berzina dengan seorang Sahabat, sehingga kemudian tuduhan itu tersebar menjadi isu yang hangat di kota Madinah. Lalu Allah turunkan ayat yang menyebutkan tentang bersihnya ‘Aisyah dari tuduhan tersebut. Dan ternyata di antara yang menuduh dan menyebarkan tuduhannya itu adalah seorang kerabat Abu Bakar yang miskin, yang Abu Bakar selalu memberi makan kepada dia dan mencukupi kebutuhan dia sehari-hari.

Melihat ternyata saudaranya yang ikut menyebarkan tersebut, maka Abu Bakar bersumpah tidak akan pernah lagi memberikan kebaikan kepadanya. Maka Allah turunkan ayat yang berbunyi:

وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS An-Nur: 22)

Mendengar ayat itu Abu Bakar berkata, “Iya, aku ridha Allah mengampuni dosaku.” Maka kemudian Abu Bakar memaafkan saudaranya kemudian kembali berbuat baik kepadanya.

Menjadi seorang yang pemaaf akan selalu mendapatkan hikmah tersendiri. Selain karena Allah menyukai orang yang bersifat pemaaf, dalam kehidupan sehari-hari pun orang yang pemaaf akan mendapatkan perlakuan baik dari orang lain yang dimaafkan kesalahannya.

Selain itu, menjadi pemaaf dapat memperpanjang silaturahim dengan orang lain karena hatinya tidak menyimpan dendam. Ia mampu berhubungan baik dengan semua orang termasuk juga dengan orang yang pernah berbuat salah terhadapnya. Pemaaf adalah salah satu sifat orang yang mulia, yang pasti akan diganjar dengan kebaikan oleh Allah SWT. Sebagaimana hadis yang berbunyi:

 وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا

“Dan tidaklah Allah menambah kepada seorang hamba yang pemaaf kecuali kemuliaan.” (HR. Muslim)

Mari raih kemuliaan dengan menjadi pribadi yang suka memaafkan. Dengan menghayati makna maaf yang sesungguhnya dan berbagai cara memaafkan kesalahan orang lain, kiranya kita akan mampu memaafkan setiap kesalahan sesama dan meraih keutamaannya, baik secara duniawi maupun ukhrowi. Semoga bermanfaat

Oleh: Rakimin Al-Jawiy, S.Pd.I,M.Si, Dosen Psikologi Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Editor: Daniel Simatupang