Mengukur Kadar Cinta Dunia

 
Mengukur Kadar Cinta Dunia
Sumber Gambar: mymodernmet.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Cinta dunia tidak terkait langsung dengan mencari, memiliki, dan menggunakannya, tapi terkait dengan cara menyimpannya. Mencari, memiliki, dan menggunakan dunia tidak dilarang, bahkan dianjurkan. Asalkan dunia yang dicari dan dimiliki tidak dipakai untuk merusak, tapi memperbaiki yakni untuk kemaslahatan. Sekali lagi cinta dunia itu lebih terkait dengan cara menyimpannya.

Allah SWT berfirman:

وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَآ أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ ٱلْفَسَادَ فِى ٱلْأَرْضِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ

Artinya, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al-Qashash: 77).

Dalam Kitab Al-Hatssu 'alat Tijarah was Shinah, Imam Abu Bakar Al-Khallal Rahimahullah (848 M - 923 M) meriwayatkan :

عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: لَا خَيْرَ فِي مَنْ لَا يَطْلُبُ الْمَالَ يَقْضِي بِهِ دَيْنَهُ، وَيَصُونُ بِهِ عِرْضَهُ، وَيَقْضِي بِهِ ذِمَامَهُ، وَإِنْ مَاتَ تَرَكَهُ مِيرَاثًا لِمَنْ بَعْدَهُ

"Dari Said bin Musayyab, beliau mengatakan, "Tidak baik orang yang tidak mencari harta, (agar bisa) melunasi hutang, menjaga harga diri, menunaikan hak, dan menjadi harta warisan sepeninggalnya."

Keterangan lainnya dari Sufyan As-Tsauri, beliau mengatakan:

وَأَخْبَرَنِي عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ الْمَيْمُونِيُّ، ثنا هَارُونُ بْنُ مَعْرُوفٍ، ثنا سُفْيَانُ، قَالَ: لَيْسَ مِنْ حُبِّكَ الدُّنْيَا أَنْ تَطْلُبَ مِنْهَا مَا يُصْلِحُكَ

"Bukan termasuk cinta dunia jika pekerjaanmu mencari (harta) itu untuk memperbaiki (keadaanmu)."

Mengenai hal ini, secara simbolik, ada tiga cara menyimpan dunia, yaitu di tangan, di bawah kaki, dan di dalam hati. Menyimpan dunia di tangan dan di bawah kaki tidak berbahaya, karena tidak akan melahirkan cinta dunia. Namun, jika menyimpannya di dalam hati tentu akan sangat berbahaya, karena cara yang demikian itu bisa termasuk dalam cinta dunia.

Simbol menyimpan dunia di tangan menyiratkan makna kesadaran spiritual. Orang yang menyimpan dunia di tangan menganggap bahwa dunia yang berada digenggamannya itu bukanlah miliknya, tapi hanya titipan dari Allah SWT. Oleh karena itu, ia tidak akan menahannya jika harus dilepas dan tidak akan melepasnya jika harus ditahan. Ada dan tidak adanya dunia di tangannya, tidak akan pernah memengaruhi kehidupannya.

Simbol orang yang menyimpan dunia di bawah kaki mengisyaratkan bahwa dunia tidaklah lebih mulia dari dirinya, sehingga harus ditaruh di bahwahnya. Nafsu duniawi tidak akan dibiarkan mengatur kehidupan dirinya, tapi ia yang mengaturnya. Baginya, dunia hanya sarana (wasilah) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, bukan sebagai tujuan hakiki. Oleh karena itu, keberadaan dunia tidak akan banyak memengaruhi jalan hidup dan kehidupannya.

Sedangkan, simbol orang yang menyimpan dunia di dalam hati menunjukkan tentang keyakinannya bahwa dunia yang diperolehnya, semua itu sebagai miliknya semata, bukan bentuk titipan dari Allah SWT. Nafsu dunia sangat memengaruhi cara hidup dan kehidupannya. Kebahagiaan dan kesedihannya sangat ditentukan oleh ada dan tidak adanya dunia yang dimiliki. Dunia yang hilang, tapi hatinya yang sakit. Dan inilah yang dimaksud hakikat mencinta dunia.

Dalam penjelasan mengenai cinta dunia ini, Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah (1292 M - 1350 M) mengatakan:

وَالْأَصْلُ هُوَ قَطْعُ عَلَائِقِ الْبَاطِنِ، فَمَتَى قَطَعَهَا لَمْ تَضُرَّهُ عَلَائِقُ الظَّاهِرِ، فَمَتَى كَانَ الْمَالُ فِي يَدِكَ وَلَيْسَ فِي قَلْبِكَ لَمْ يَضُرَّكَ وَلَوْ كَثُرَ، وَمَتَى كَانَ فِي قَلْبِكَ ضَرَّكَ وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي يَدِكَ مِنْهُ شَيْءٌ

"Prinsipnya adalah memutus hubungan dengan batin. Ketika orang telah berhasil memutusnya, kondisi lahiriyah tidak akan memengaruhinya. Sehingga selama harta itu hanya ada di tanganmu, dan tidak sampai ke hatimu, maka harta itu tidak akan memberikan pengaruh kepadamu, meskipun banyak. Dan jika harta itu bersemayam di hatimu, maka dia akan membahayakan dirimu, meskipun di tanganmu tidak ada harta sedikitpun." (Kitab Madarijus Salikin baina Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in, hlm. 465).

Tamak dan Fitnah Dunia

Pada dasarnya, Islam telah mengajarkan bagaimana mengatur kadar harta seseorang, agar tidak memunculkan sifat rakus serta tamak terhadap harta duniawi. Dan syariat juga telah menyingkirkan sejauh mungkin sifat tamak dan berlebihan dari relung hati setiap orang yang beriman.

Pepatah bijak mengatakan, "Dua hal yang tak akan ada habisnya: Ilmu serta Harta. Barangsiapa mabuk akan ilmu pengetahuan, maka sungguh sangatlah terpuji. Dan barangsiapa mabuk akan harta, maka ia tidak akan merasakan ketenangan hidup."

Orang yang silau terhadap dunia, akan menimbulkan efek hidup yang negatif. Hidupanya tidak akan merasakan ketenangan, sebab sifat tamak yang muncul dari dirinya, akibat kecintaan serta keterkaitan hatinya terhadap harta duniawi. Oleh karena itu, Islam menggambarkan dengan isyarat tentang ajaran untuk menjadikan harta dunia di tangan saja. Artinya adalah bahwa dunia itu menjadikan seseorang ringan tangan untuk membaginya.

Adapun tamak serta rakus akan dunia dan menjadikannya ukuran segala hal serta keterkaitan hati yang selalu cenderung padanya, akan membuat seseorang tak pernah puas sama sekali dan terus mengejar dunia yang tiada habinys itu. Sifat tamak atau serakah akan menjadi cikal bakal atau sumber segala perbuatan yang buruk dan tercela, seperti korupsi, merampas hak orang lain, riba dan sebagainya.

Allah SWT mengancam hamba-Nya, yang bersifat tamak dan tak mau membagi hartanya kepada orang lain dalam Surat At-Taubah ayat 34:

وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۙفَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍۙ

"Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih."

Diriwayatkan suatu Hadis dari Zaid bin Tsabit An-Najjari Al-Anshari, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ أَصْبَحَ وَهَمُّهُ الدُّنْيَا شَتَّتَ اللهُ عَلََيْهِ أَمْرَهُ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ

"Barangsiapa yang hidup serta dihatinya ada gairah atas dunia (tamak), maka sungguh Allah SWT akan mengacaukan segala urusannya, mempersempit rizkinya, serta menjadikan kefakiran di hadapannya, serta tak akan ia mendapatkan harta dunia kecuali kadar yang ditetapkan untuknya." (HR. Imam Al-Iraqi dalam Kitab Ikhbar Al-Ahya' bi Akhbar Al-Ihya).

Orang yang mencinta dunia akan rawan terkena fitnah dunia yang menjerumuskan pada perbuatan dosa. Rasulullah SAW mengajarkan satu hal penting agar terhindar dari fitnah dunia. Beliau bersabda:

هَلْ مِنْ أَحَدٍ يَمْشِيْ عَلَى الْمَاءِ إِلَّا ابْتَلَّتْ قَدَمَاهُ؟ قَالُوْا: لَا يَا رَسُوْلَ اللهِ . قَالَ: كَذَالِكَ صَاحِبُ الدُّنْيَا لَا يَسْلَمُ مِنَ الذُّنُوْبِ

"Tidakkah ada seorang pun yang berjalan di air kecuali tumitnya pasti basah ? Demikian pula orang yang memiliki duniawi, ia tidak bisa selamat dari dosa-dosa.'' (HR. Imam Al-Baihaqi)

Hadis di atas mengandung peringatan bagi kita, bahwa yang dinamakan dunia, seperti kekayaan berupa harta, keluarga atau jabatan yang kita miliki dan kuasai bisa menjerumuskan kepada kehancuran dan dosa jika kita tidak pandai dalam menyikapinya.

Selain itu, Rasulullah SAW juga menjelaskan tetang hakikat kehidupan di dunia ini. Dalam riwayat Ibnu Umar, dikatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ

"Jadilah kalian di dunia yang sementara ini seperti orang yang asing atau sedang menyeberang jalan (berbekal sesuatu yang ia perlukan saja untuk akhiratnya)." (HR. Imam Bukhari)

Mengenai gambaran dunia tersebut, Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad bersenandung dalam salah satu syairnya:

وَمَا هَذِهِ الدُّنْيَا بِدَارِ إِقَامَةٍ * وَمَا هِيَ إِلَّا كَالطَّرِيْقِ اِلَى الْوَطَنِ

"Tidaklah dunia ini tempat menetap seorang hamba, melainkan hanyalah jalan yang ditempuh seorang hamba untuk sampai kepada tujuannya (akhirat)."

Karena itu, kebaikan hanya ada pada orientasi seseorang, jika dunia yang dicarinya untuk akhirat, maka akan ada kebaikan yang didapat. Tapi sebaliknya, jika dunia itu justru membuatnya lupa akan kehidupan kelak di akhirat, tentu akan menjadi beban untuknya. 

Dalam sebuah Hadis dari Anas bin Malik, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

لَيْسَ بِخَيْرِ كُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لِاخِرَتِهِ وَلاَ اخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ حَتّى يُصِيْبُ مِنْهُمَاجَمِيْعًا فَاِنَّ الدَّنْيَا بَلَاغٌ اِلَى اْلاخِرَةِ وَلَاتَكُوْنُوْا كَلًّا عَلَى النَّاسِ.

"Bukanlah yang terbaik di antara kamu orang yang meninggalkan urusan dunia karena mengejar urusan akhirat, dan bukan pula orang yang terbaik orang yang meninggalkan akhiratnya karena mengejar urusan dunianya, sehingga ia memperoleh kedua-duanya, karena dunia itu adalah perantara yang menyampaikan ke akhirat, dan janganlah kamu menjadi bebannya orang lain."

Hadis tersebut menjelaskan bahwa kehidupan manusia harus seimbang. Tetap memperhatikan kepentingan dunia dan akhirat, tetapi tidak berat pada salah satunya. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk melalaikan akhirat demi mengejar dunia, begitu juga tidak mengajarkan agar mengutamakan akhirat dengan melupakan kehidupan dunia sama sekali. Islam mengajarkan bahwa Akhirat dan dunia harus selaras, karena dunia ini pada hakikatnya adalah wasilah untuk kebahagiaan akhirat. Sebab hakikatnya kehidupan di dunia itu adalah sangat singkat.

Di dalam Kitab Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali Rahimahullah berpesan:

وَتَفَكَّرْ فِي قَصْرِ عُمْرِكَ، وَإِنْ عِشْتَ مَثَلًا مِائَةَ سَنَةٍ فَهِيَ قَلِيْلَةٌ بِالْاِضَافَةِ إِلَى مَقَامِكَ فِي الدَّارِ الْآخِرَةِ وَهِيَ أَبَدَ الآبَادِ، وَتَأَمَّلْ أَنَّكَ كَيْفَ تَتَحَمَّلْ اَلْمَشَقَّةَ وَالذُّلَ فِي طَلَبِ الدُّنْيَا شَهْرًا أَوْ سَنَةً رَجَاءً أَنْ تَسْتَرِيْحَ بِهَا عِشْرِيْنَ سَنَةً مَثَلًا، فَكَيْفَ لَا تَتَحَمَّلْ ذَلِكَ أَيَّامَ قَلَائِلَ رَجَاءَ الْاِسْتَرَاحَةِ أَبَدَ الآبَادِ! وَلَا تُطَوِّلْ أَمَلَكَ فَيُثْقِلْ عَلَيْكَ عَمَلُكَ، وَقَرِّ قُرْبَ الْمَوْتِ

“Pikirkanlah umur yang singkat ini, meskipun kalian akan hidup selama 100 tahun misalnya, dibandingkan kehidupan Akhirat kelak yang abadi. Renungkanlah, Anda bisa berusaha semampunya menahan kesusahan dan kehinaan dalam mencari dunia sebulan atau setahun demi menikmati kehidupan selama dua puluh tahun misalnya, tetapi kenapa Anda tidak bersedia untuk menahan diri barang sebentar saja demi untuk mendapatkan kenyamanan hidup di Akhirat yang abadi! Maka janganlah terlalu berlebihan terlalu panjang dalam berangan-angan, karena kelak akan memberatkan beban tanggungan yang akan Anda pikul, sementara kematian yang dekat itu telah ditetapkan."

Zuhud

Dalam mencegah sifat cinta dunia itu, kemudian diajarkanlah sifat zuhud. Tetapi inti hakikat ukuran zuhud bukanlah sedikit atau banyaknya harta, namun jauhnya hati dari dominasi syahwat cinta terhadap dunia itu.

Boleh jadi orang kaya raya, namun sukses mencapai kezuhudan, karena hartanya tidak sampai masuk ke dalam hatinya, dan dia menjadikan hartanya sebagai sarana penunjang untuk taat beribadah kepada Allah SWT.

Sebaliknya, tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang fakir miskin justru bisa gagal meraih kezuhudan, karena yang ada dalam hati dan pikirannya adalah dunia semata dan berburuk sangka kepada Allah SWT, dan bahkan menggugat keadilan Allah SWT. Na’udzu billah min dzalik.

Jadi jelas, dari sini bisa dipahami bahwa barometer kemuliaan seorang hamba di sisi Allah SWT adalah seberapa besar nilai ketakwaannya, bukan dari penampilan lahiriyahnya.

Doa-doa Kebaikan

Demi kebaikan kita semua, dalam menyelaraskan kebutuhan dunia dan akhirat, maka perlu diiringi dengan doa-doa kebaikan agar Allah SWT menjaga kita dari sifat-sifat tercela.

Berikut doa-doa yang terdapat dalam sejumlah riwayat Hadis.

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya kenikmatan yang telah Engkau berikan, dari berubahnya kesehatan yang telah Engkau anugerahkan, dari siksa-Mu yang datang secara tiba-tiba, dan dari segala kemurkaan-Mu.” (HR. Imam Muslim)

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sikap pengecut, aku berlindung kepada-Mu ketika sampai di serendah-rendahnya usia (pikun), aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia, dan aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur.” (HR. Imam Bukhari)

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ وَحُبَّ الْمَسَاكِينِ وَأَنْ تَغْفِرَ لِى وَتَرْحَمَنِى وَإِذَا أَرَدْتَ فِتْنَةَ قَوْمٍ فَتَوَفَّنِى غَيْرَ مَفْتُونٍ

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mudah melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran serta aku memohon pada-Mu supaya boleh mencintai orang miskin, ampunilah (dosa-dosa)ku, rahmatilah saya, jika Engkau menginginkan untuk menguji suatu kaum maka wafatkanlah diriku dalam keadaan tidak tenggelam dalam ujian.” (HR. Imam At-Tirmidzi)

اَللَّـهُـَّم أَصْلِحْ لِي دِينِي الّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي، وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الّتِي فِيهَا مَعَاشِي، وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الّتِي فِيهَا مَعَادِي، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ

“Ya Allah mohon kebaikan pada urusan agamaku karena itu adalah penjaga semua urusanku. Aku mohon kebaikan pada urusan duniaku karena itu tempat hidupku. Aku mohon kebaikan pada urusan akhiratku karena itu tempat kembaliku. Jadikanlah hidup ini tambahan kebaikan bagiku, dan jadikanlah kematianku waktu istirahat bagiku dari segala keburukan.” (HR. Imam Muslim)

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الكَسَلِ وَالهَرَمِ، وَالمَأْثَمِ وَالمَغْرَمِ، وَمِنْ فِتْنَةِ القَبْرِ، وَعَذَابِ القَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ النَّارِ وَعَذَابِ النَّارِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الغِنَى، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الفَقْرِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الَمسِيحِ الدَّجَّال

"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan dan usia jompo, perbuatan dosa dan hutang, fitnah kubur dan azab kubur, fitnah neraka dan azab neraka, keburukan fitnah kekayaan; aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kemiskinan dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah Al-Masih Dajjal.” (HR. Imam Bukhari)

Semoga bermanfaat. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 11 Mei 2022. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

Penulis: Ahmad Zaini Alawi (Khodim Jamaah Sarinyala Kabupaten Gresik)

Editor: Hakim