Syekh Hisyam Kabbani: Umat Islam Dunia Berhutang Budi pada Ulama NU

 
Syekh Hisyam Kabbani: Umat Islam Dunia Berhutang Budi pada Ulama NU

LADUNI.ID, Jakarta - Syekh Hisyam Kabbani pernah memberikan pernyatakan bahwa, "umat Islam seluruh dunia berutang budi kepada para ulama NU". Hal ini mengingatkan kita pada pelajaran di madrasah dulu tentang latar belakang sejarah berdirinya jam'iyah tersebut:

Kerajaan Turki Utsmani yang dianggap ”pusat kekuasaan” politik Islam (khalifah / imamah ’udhma) pada Perang Dunia I berpihak kepada Jerman dan sekutunya yang ternyata kalah.

Sebagai pihak yang kalah perang, mengalami berbagai hal yang sangat merugikan, menyakitkan, dan merendahkan martabatnya, yaitu harus menuruti kehendak yang menang perang, pusat pemerintahannya diduduki, dan daerah jajahannya dibagi-bagi di antara pihak yang menang perang. Irak dan sekitarnya diambil Inggris, Lebanon diambil Perancis, dan sebagainya.

Ada yang luar biasa dari akibat kalah perangnya Turki ini. Pertama, pusat kekuasaan kerajaan (negara Turki) dapat direbut/dimerdekakan bangsa Turki di bawah kepemimpinan Mustafa Kamal Attaturk, tidak dapat dijajah oleh yang menang perang.

Sayangnya kemudian negara Turki baru ini berubah 180 derajat dari negara Islam (bahkan dianggap pusat kekuasaan politik Islam, penerus Khulafaur Rasyidin, Daulah Umawiyah, Daulah Abbasiyah, dan seterusnya) menjadi negara sekuler dan anti-Arab. Pendidikan agama di sekolah-sekolah dilarang sama sekali. Azan tidak boleh di kumandangkan dengan bahasa Arab, harus dengan bahasa Turki, dan sebagainya.

Kedua, wilayah Hijaz (yang wilayahnya mencakup Makkah–Madinah, dua tanah suci dalam Islam) yang tadinya termasuk wilayah kekuasaan/pengaruh Turki (di bawah pimpinan Syarif Husin), direbut oleh seorang pemimpin suku, bernama Saud, yang kemudian menobatkan diri menjadi Raja Hijaz (kemudian disebut Saudi Arabia atau Arab Saudi). Sang raja baru ini berpaham Wahabi yang fanatik sekali.

Anti-bid’ah, anti-khurafat, dan anti-syirik secara berlebihan, sehingga yang tidak bid’ah pun, yang tidak syirik pun, dianggap bid’ah dan syirik seperti pembacaan maulid barzanji, tahlil, dan ziarah kubur sudah dilarang keras. Bahkan semua tempat bersejarah yang banyak diziarahi pun akan digusur, supaya tidak diziarahi dan dihormati, seperti makam-makam para pahlawan Islam. Ibaratnya, terlalu khawatir ada orang jatuh dari pohon, maka semua pohon harus ditebang. Lebih daripada itu, mazhab-mazhab selain Wahabi mengalami tekanan-tekanan dan kesulitan-kesulitan untuk hidup.

Para ulama dan kaum muslimin Indonesia kemudian merespon perkembangan di Hijaz dgn ”menyampaikan langsung” apa yang menjadi aspirasi, pendirian, dan cita2nya kepada Raja Saud (penguasa baru Hijaz), supaya menghentikan tindakan2nya yang anti-kebebasan bermazhab, anti-ziarah kubur, anti-maulid barzanji, dan sebagainya.

Para ulama bertekad mengumpulkan kekuatan sendiri, mengirim delegasi sendiri. Delegasi ulama Indonesia dengan para pengikutnya yang jutaan jumlahnya.

Mereka membentuk ”komite Hijaz” artinya panitia aksi untuk menanggulangi masalah Hijaz (tindakan-tindakan penguasa baru Hijaz). Dicarilah dukungan dari kaum muslimin, terutama para ulama, mengumpulkan dana, daya, pikiran, dan sebagainya. Alhamdulillah, usaha ini berhasil.

Disusunlah ”delegasi ulama dan umat Islam Indonesia” terdiri atas: K.H.A.Wahab Hasbullah (delegasi resmi), Syekh Ghanaim al-Mishri (penasihat), warga negara Mesir, dimaksudkan agar penguasa Hijaz menghargai delegasi, dan K.H.M. Dachlan Kertosono (sekretaris), Nganjuk, seorang pemuda yang sedang belajar di Hijaz.

Dengan membawa surat yang ditandatangani oleh K.H.M. Hasyim Asy'ari, K.H.A. Wahab Hasbullah bersama Syekh Ghonaim berangkat menghadap Raja Saud, menyampaikan aspirasi, pendapat, harapan dan permohonan para Ulama dan Umat Islam Indonesia.

Ternyata mendapat tanggapan dan jawaban yang positif, meskipun tidak sepenuhnya diterima dan dilaksanakan. Sedikitnya, rencana penggusuran tempat-tempat dan makam-makam bersejarah dalam Islam --seperti makam Rasulullah dan dua sahabat pengganti kepemimpinannya-- dihentikan oleh Raja Saud.

Komite Hijaz yang bersifat adhoc ini kemudian dipermanenkan menjadi Nahdlatul Ulama pada hari Ahad Pon, tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M.