Penetapan Nasab Berdasarkan Tes DNA

 
Penetapan Nasab Berdasarkan Tes DNA

Penetapan Nasab Berdasarkan Tes DNA

Tuntunan ibadah terkait hukum tes DNA bisa dimanfaatkan untuk dasar hukum dalam ilhaq al-Nasab sebagaimana al-Qiyafah.

A. Pertanyaan

Apakah tes DNA bisa dimanfaatkan untuk dasar hukum dalam ilhaq al-Nasab sebagaimana al-Qiyafah ?

B. Jawaban

Bisa untuk menafikan ilhaq al-Nasab, namun belum tentu bisa untuk menentukan ilhaq al-Nasab.  

C. Dasar Pengambilan Hukum Al-Sunnah

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتِ اخْتَصَمَ سَعْدُ بْنُ أَبِيْ وَقَّاصٍ وَعَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ فِيْ غُلاَمٍ فَقَالَ سَعْدٌ هَذَا يَا رَسُولَ اللهِ ابْنُ أَخِيْ عُتْبَةَ بْنِ أَبِيْ وَقَّاصٍ عَهِدَ إِلَيَّ أَنَّهُ ابْنُهُ انْظُرْ إِلَى شَبَهِهِ وَقَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ هَذَا أَخِيْ يَا رَسُولَ اللهِ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَبِيْ مِنْ وَلِيدَتِهِ فَنَظَرَ رَسُولُ اللهِ  :  إِلَى شَبَهِهِ فَرَأَى شَبَهًا بَيِّنًا بِعُتْبَةَ فَقَالَ هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ بْنَ زَمْعَةَ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ وَاحْتَجِبِيْ مِنْهُ يَا سَوْدَةُ بِنْتَ زَمْعَةَ فَلَمْ تَرَهُ سَوْدَةُ قَطُّ

(رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)

Dari Aisyah Ra. ia berkata: “Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abd bin Zam’ah berselisih tentang seorang anak lelaki. Kata Sa’ad: “Ya Rasulallah, ini anak saudara laki-laki saya ‘Utbah bin Abi Waqqash. Ia telah berpesan kepadaku bahwa bocah tersebut adalah anaknya. Lihatlah kemiripan bocah ini. Akan tetapi Abd bin Zam’ah berkata: “Bocah ini saudara laki-laki saya wahai Rasulallah, ia dilahirkan dari hubungan badan ayahku dengan budak wanitanya.” Lalu Rasulullah Saw. meneliti kemiripannya, maka beliau melihat anak itu sangat mirip dengan ‘Utbah, lalu beliau bersabda: “Anak ini saudaramu wahai Abd bin Zam’ah, seorang anak adalah milik orang yang berhubungan badan di tempat tidur, sedangkan bagi orang yang berzina mendapat kerugian, dan pakailah tirai darinya wahai Saudah binti Zam’ah. Sejak saat itu Saudah tidak pernah melihat anak itu lagi.” (HR. Bukhari)  

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ : دَخَلَ عَلَيْهَا مَسْرُورًا تَبْرُقُ أَسَارِيرُ وَجْهِهِ فَقَالَ أَلَمْ تَرَىْ أَنَّ مُجَزِّزًا نَظَرَ آنِفًا إِلَى زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ وَأُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ فَقَالَ هَذِهِ اْلأَقْدَامُ بَعْضُهَا مِنْ بَعْضٍ قَالَ أَبُوْ عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رَوَى ابْنُ عُيَيْنَةَ هَذَا الْحَدِيثَ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ وَزَادَ فِيهِ أَلَمْ تَرَ أَنَّ مُجَزِّزًا مَرَّ عَلَى زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ وَأُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَدْ غَطَّيَا رُءُوسَهُمَا وَبَدَتْ أَقْدَامُهُمَا فَقَالَ إِنَّ هَذِهِ اْلأَقْدَامَ بَعْضُهَا مِنْ بَعْضٍ وَهَكَذَا حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَغَيْرُ وَاحِدٍ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ هَذَا الْحَدِيثَ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدِ احْتَجَّ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ بِهَذَا الْحَدِيثِ فِي إِقَامَةِ أَمْرِ الْقَافَةِ

(رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ)

“Dari A’isyah Ra., ia berkata: “Sungguh Nabi Saw. mengunjunginya dengan keadaan suka cita, guratan kegembiraan nampak di wajah beliau. Lalu beliau bersabda: “Tidakkah kamu tadi melihat Mujazzir (seorang ahli nasab) memandang  Zaid bin Haritsah dan Usamah bin Zaid, lalu berkata: “Kaki-kaki ini memiliki kesamaan antara satu dengan yang lain.” Abu Isa (Tirmidzi) berkata: “Ini merupakan hadits hasan shahih.” Dan sungguh Ibn ‘Uyainah meriwayatkan hadits ini dari al-Zuhri dari Urwah dari Aisyah, dengan tambahan: “Tidakkah kamu melihat Mujazzir melintas di depan Zaid bin Haritsah dan Usamah bin Zaid saat kepala mereka tertutup dan terlihat kakinya. Lalu ia berkata: “Sesungguhnya kaki-kaki ini memiliki kesamaan antara satu dengan yang lain.” Demikianlah Sa’id bin Abdirrahman dan lebih dari seorang perawi menceritakan hadits ini kepada kami, dari Sufyan bin Uyaynah, dari al-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah. Dan ini merupakan hadis shahih, sebagian ulama telah menjadikan hadits ini sebagai hujjah dalam masalah qiyafah. (HR. Tirmidzi)  

Aqwal al-Ulama

1. Tharaiq al-Hukm fi al-Syar’iyah al-Islamiyah [1]

وَقَدْ تَكُوْنُ نَتَائِجُ التَّحْلِيْلاَتِ مُفِيْدَةٌ إِلاَّ أَنَّ الْقَطْعَ بِدِقَّتِهَا وَصِحَّتِهَا مَوْضُوْعُ نَظَرٍ لِأَنَّ تَشَابُهَ فَصَائِلَ الدَّمِ بَيْنَ شَخْصٍ وَآخَرَ أَمْرٌ وَارِدٌ مَعَ إِمْكَانِيَّةِ خَطَأِ التَّحَالِيْلِ وَتَزْوِيْرِهَا، وَلِذَلِكَ فَإِنَّ اْلإِسْتِعَانَةَ بِهَذِهِ الْقَرِيْنَةِ فِي النَّفْيِ وَلَيْسَتْ فِي اْلإِثْبَاتِ

Terkadang hasil penelitian laborat bisa memberi manfaat, hanya saja detail dan kebenaran secara pasti masih menjadi bahan diskusi, dikarenakan kemiripan golongan darah antara seseorang dengan orang lain merupakan hal yang bisa saja terjadi, di samping masih terbukanya kemungkinan kesalahan hasil analisa laborat dan terjadinya pemalsuan. Oleh karena itu penggunaan sarana ini hanya untuk meniadakan hubungan garis keturunan saja, dan tidak untuk digunakan dalam menetapkan hubungan garis keturunan (nasab).  

2. Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh [2]

فَأَقْصَى اْلإِمْكَانِ فِيْ ذَلِكَ أَنَّ الرَّسُوْلَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ لَوْ لَمْ يَكُنْ مُعْتَقِدًا قَبُوْلَ قَوْلِ الْقَائِفِ لَعَدَّهُ مِنَ الزَّجْرِ وَالْفَأْلِ وَالْحَدْسِ وَالتَّخْمِيْنِ، وَلَمَا أَبْعَدَ أَنْ يُخْطِئَ فِيْ مَوَاضِعَ وَإِنْ أَصَابَ فِيْ مَوَاضِعَ، فَإِذَا تَرَكَهُ وَلَمْ يَرُدَّهُ كَانَ الْكَلاَمُ عَلَى اْلأَنْسَابِ بِطَرِيْقِ الْقِيَافَةِ، فَهَذَا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ قَدْ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ مُسْتَنَدُ اْلأَنْسَابِ، فَهَذَا هُوَ الْمُمْكِنُ فِيْ ذَلِكَ

Kemungkinan paling maksimal dalam hal tersebut adalah bahwa andaikan Rasulullah Saw. tidak meyakini informasi ahli nasab, tentu beliau menganggapnya sebagai larangan, asumsi, perkiraan, dan taksiran, dan tentu akan sering dalam tidak tepat dalam beberapa kesempatan, meski bisa tepat dalam kesempatan lain. Maka ketika beliau Saw. membiarkan dan tidak menolaknya, maka pembahasan tentang nasab itu berdasarkan teori qiyafah. Maka penerimaan ahli nasab dari kajian tersebut bisa menunjukkan, bahwa qiyafah adalah dasar penentuan nasab, dan demikian yang mungkin dalam masalah tersebut.  

3. Al-Thuruq al-Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syari’ah [3]

وَالْمَقْصُوْدُ أَنَّ أَهْلَ الْقِيَافَةِ كَأَهْلِ الْخِبْرَةِ وَأَهْلِ الْخَرْصِ وَالْقَاسِمِيْنَ وَغَيْرِهِمْ مِمَّنْ اعْتِمَادُهُمْ عَلَى اْلأُمُوْرِ الْمُشَاهَدَةِ الْمَرْئِيَّةِ لَهُمْ وَلَهُمْ فِيْهَا عَلاَمَاتٌ يَخْتَصُّوْنَ بِمَعْرِفَتِهَا مِنَ التَّمَاثُلِ وَاْلاخْتِلاَفِ وَالْقَدْرِ وَالْمَسَاحَةِ وَأَبْلَغُ مِنْ ذَلِكَ النَّاسُ يَجْتَمِعُوْنَ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ فَيَرَاهُ مِنْ بَيْنِهِمْ الْوَاحِدُ وَاْلإِثْنَانِ فَيُحْكَمُ بِقَوْلِهِ أَوْ قَوْلِهِمَا دُوْنَ بَقِيَّةِ الْجَمْعِ

Yang dimaksud adalah sungguh ahli qiyafah itu seperti pakar bidang tertentu, juru taksir, juru pembagi, dan semisalnya dari orang-orang yang berpedoman pada perkara yang bersifat kasat mata dan bisa dilihat mereka. Dalam hal tersebut mereka memiliki tanda-tanda yang secara khusus diketahui mereka, yaitu kemiripan, perbedaan, taksiran, dan ukuran luas. Yang lebih mendalam dari hal itu adalah orang-orang yang berkumpul untuk melihat hilal, ketika satu atau dua orang di antara mereka melihatnya, maka diputuskan dengan informasi satu atau dua orang tadi, tanpa informasi dari selainnya.  

4. Takmilah al-Majmu’ [4]

عَلَى أَنَّ أَسْبَابَ الْمَعْرِفَةِ فِيْ زَمَنِنَا هَذَا قَدِ اتَّسَعَتْ آفَاقُهَا وَاسْتَقَرَّتْ قَوَاعِدُهَا عَلَى أَسْبَابِ أَدَقَّ وَمَبَادِئَ أَضْبَطَ وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ قَطْعِيَّةِ فِيْ أَكْثَرِ أَحْوَالِهَا، وَقَدْ يَأْخُذُ الْعِلْمُ الْحَدِيْثُ بِالْقِيَافَةِ حَيْثُ يَعْجِزُ التَّحْلِيْلُ الطِّبِّيُّ، وَالْقِيَافَةُ أَحَدُ فُرُوْعِ الطِّبِّ الشَّرْعِيِّ أَوْ هِيَ  اْلأَسَاسُ الْفَعْلِيُّ لِلطِّبِّ الشَّرْعِيِّ وَمَنْ قَرَأَ كُتُبَ الطِّبِّ الشَّرْعِيِّ الْعَرَبِيَّةِ أَوِ اْلأَجْنَبِيَّةِ يَتَّضِحُ لَهُ صِحَّةُ هَذَا الْحُكْمِ  ...  وَيُلاَحَظُ أَنَّ قِيَافَةَ الدَّمِ هُنَا وَإِنْ كَانَتْ قَائِمَةً عَلَى أَسَاسٍ عِلْمِيٍّ إِلاَّ أَنَّهَا سَلَبِيَّةٌ وَلَيْسَتْ إِيْجَابِيَّةً، فَهِيَ تَقُوْلُ بِأَنَّ هَذَا لَيْسَ أَبًا وَلاَ نَسْتَطِيْعُ أَنْ تَقُوْلَ هَذَا أَبٌ لِأَنَّهُ قَدْ يَكُوْنُ اْلأَبُ شَخْصًا لَهُ فَصِيْلَةُ الْمُدَّعَى وَلَكِنْ يُمْكِنُ أَنْ يُنْفِيَ فَيَقُوْلُ إِذَا كَانَتْ فَصِيْلَةُ دَمِ اْلاِبْنِ  "أَوْ"  وَكَانَتْ فَصِيْلَةُ اْلأَبِ الْمُدَّعِى  "أَب"  وَاْلأُمِّ  "ب"  حَكَمُوْا بِالْقَطْعِ بِأَنَّ هَذَا لَيْسَ أَبَاهُ وَلَكِنْ لَوْ كَانَتْ فَصِيْلَتُهُ مِنْ فَصِيْلَةِ الطِّفْلِ قَالُوْا يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُوْنَ أَبَاهُ وَيَحْتَمِلُ أَنْ يَكُوْنَ أَبُوْهُ غَيْرَهُ عَلَى أَنَّ أَحْسَنَ الْقِيَافَةِ التَّعَرُّفُ عَنْ طَرِيْقِ اْلأَطْرَافِ كَاْلأَيْدِي وَاْلأَرْجُلِ وَمَلاَمِحِ الْوَجْهِ

Berdasarkan pada sebab-sebab mengetahui (nasab seseorang) pada zaman kita ini telah begitu luas dan kaidah-kaidahnya berpijak pada sebab-sebab yang lebih detail dan dasar-dasar yang lebih kokoh, sekalipun pada sebagian kasus tidak bisa memberikan hasil pasti. Terkadang ilmu modern menggunakan teori qiyafah ketika penelitian medis tidak memberikan hasil. Qiyafah merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran syar’i, atau merupakan landasan nyata kedokteran syar’i. Bagi orang yang membaca buku-buku kedokteran syar’i yang berbahasa Arab atau selain Arab, maka ia akan mendapat kejelasan tentang keabsahan hukum penentuan nasab berdasar pendapat pakar qiyafah ini … Dan perlu perhatikan, bahwa penelitian sempel darah di sini, meski berpijak pada dasar-dasar ilmiah, akan tetapi sifatnya hanya untuk menafikan hubungan darah, bukan untuk menetapkannya. Ia hanya dapat menyatakan: “Ini bukan bapaknya.”, dan tidak dapat menyatakan: “Ini bapaknya.” Sebab, terkadang seorang bapak punya golongan darah (yang bersambung dengan golongan darah) anak yang diklaim sebagai anak orang lain, namun hal ini bisa dimentahkan. Maka si pendakwa berkata: “Jika golongan darah si anak adalah O, sedangkan golongan darah ayah yang didakwa (bukan sebagai bapaknya) adalah AB dan si ibu adalah B, maka para ahli medis menghukumi secara pasti bahwa orang ini bukan ayah bagi anak tersebut. Namun jika golongan darahnya sama dengan golongan darah si anak, maka para ahli  medis menyatakan: “Kemungkinan dia adalah bapaknya, dan kemungkinan bapaknya adalah orang lain.” berdasarkan pada qiyafah yang paling bagus, yaitu mengenali bagian-bagian anggota tubuh semisal kedua tangan, kaki, dan ciri-ciri wajah.  

5. Takmilah al-Majmu’ [5]

وَلَنَا أَنَّهُ يُمْكِنُ الاسْتِعَانَةُ بِالطِّبِّ الشَّرْعِيِّ فِيْ تَحْلِيْلِ فَصَائِلِ دَمِ كُلٍّ مِنَ الرَّجُلَيْنِ وَاْلأُمِّ، فَإِنْ تَشَابَهَتْ فَصَائِلُ الدَّمِ عِنْدَهُمَا أَخَذَ بِالْقَافَةِ

Bagi kita madzhab Syafi’iyah (dalam kasus dua orang lelaki menikahi dua perempuan bersaudara, lalu tertukar dalam berhubungan badan pada masa sucinya dari haid, dan si perempuan melahirkan anak yang mungkin berasal dari dua lelaki itu, dalam penentuan nasab anak itu), sungguh bisa memakai kedokteran syar’i untuk menganalisa golongan darah dua lelaki (si suami dan si lelaki lain) tersebut dan si ibu. Jika terjadi kekaburan golongan darah bagi kedua lelaki itu, maka digunakan teori qiyafah.  

6. Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’ [6]

 فَإِنَّ الشَّرْعَ وَرَدَ بِقَبُوْلِ قَوْلِ الْقَائِفِ فِي النَّسَبِ فَإِنَّهُ رُوِيَ أَنَّ قَائِفًا مَرَّ بِأُسَامَةَ وَزَيْدٍ وَهُمَا تَحْتَ قَطِيْفَةٍ وَاحِدَةٍ قَدْ غَطَّى وُجُوْهَهُمَا وَأَرْجُلَهُمَا بَادِيَةٌ فَقَالَ إِنَّ هَذِهِ اْلأَقْدَامَ يُشْبِهُ بَعْضُهَا بَعْضًا فَسَمِعَ رَسُوْلُ اللهِ   فَفَرِحَ بِذَلِكَ حَتَّى كَادَتْ تَبْرُقُ أَسَارِيْرُ وَجْهِهِ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ، فَقَدْ اعْتَبَرَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ قَوْلَ الْقَائِفِ حَيْثُ لَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ بَلْ قَرَّرَهُ بِإِظْهَارِ الْفَرَحِ. وَلَنَا إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ فَإِنَّهُ رُوِيَ أَنَّهُ وَقَعَتْ هَذِهِ الْحَادِثَةُ فِيْ زَمَنِ سَيِّدِنَا عُمَرَ   فَكَتَبَ إِلَى شُرَيْحٍ لَبَّسًا فَلُبِّسَ عَلَيْهِمَا وَلَوْ بَيَنَّا لَبُيِّنَ لَهُمَا هُوَ ابْنُهُمَا يَرِثُهُمَا وَيَرِثَانِهِ وَكَانَ ذَلِكَ بِمَحْضَرٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَلَمْ يُنْقَلْ أَنَّهُ أَنْكَرَ عَلَيْهِ مُنْكِرٌ فَيَكُوْنُ إِجْمَاعًا لِأَنَّ سَبَبَ اسْتِحْقَاقِ النَّسَبِ بِأَصْلِ الْمِلْكِ وَقَدْ وُجِدَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَيَثْبُتُ بِقَدْرِ الْمِلْكِ حِصَّةٌ لِلنَّسَبِ ثُمَّ يَتَعَدَّى لِضَرُوْرَةِ عَدَمِ التَّجَزِّي فَيَثْبُتُ نَسَبُهُ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى الْكَمَالِ. وَأَمَّا فَرَحُ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ وَتَرْكُ الرَّدِّ وَالنَّكْرِ فَاحْتُمِلَ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِاعْتِبَارِهِ قَوْلَ الْقَائِفِ حُجَّةً بَلْ لِوَجْهٍ آخَرَ وَهُوَ أَنَّ الْكُفَّارَ كَانُوْا يَطْعَنُوْنَ فِيْ نَسَبِ أُسَامَةَ   وَكَانُوْا يَعْتَقِدُوْنَ الْقِيَافَةَ فَلَمَّا قَالَ الْقَائِفُ ذَلِكَ فَرِحَ رَسُوْلُ اللهِ   لِظُهُوْرِ بُطْلاَنِ قَوْلِهِمْ بِمَا هُوَ حُجَّةٌ عِنْدَهُمْ فَكَانَ فَرَحُهُ فِي الْحَقِيْقَةِ بِزَوَالِ الطَّعْنِ بِمَا هُوَ دَلِيْلُ الزَّوَالِ عِنْدَهُمْ وَالْمُحْتَمَلُ لاَ يَصْلُحُ حُجَّةً

(Dalam kasus budak perempuan yang dimiliki dua orang lelaki, lalu melahirkan anak dan kedua pemilik mengklaimnya sebagai anak darinya, maka menurut madzhab Hanafi anak itu adalah anak kedua mereka berdua dan si ibu menjadi umm al-mustauladahnya. Sedangkan menurut Menurut Imam Syafi’i, anak itu adalah hanya anak salah satu dari mereka). Karena sungguh syariat menerima pendapat seorang pakar qiyafah dalam menentukan nasab. Sebab diriwayatkan, seorang ahli qiyafah lewat di depan Usamah dan Zaid ketika keduanya berada di bawah selendang bersabut yang menutupi wajah mereka, sementara kaki mereka terlihat. Lalu ahli qiyafah itu berkata: “Kaki-kaki ini memiliki kemiripan antara satu dengan yang lain.” Ketika mendengar hal itu Rasulullah Saw. bergembira sehingga terlihat keceriaan tersimpul di wajahnya. Maka Rasulullah Saw. mengakui pendapat ahli qiyafah, karena beliau tidak membantahnya, bahkan beliau tetapkan dengan memperlihatkan kegembiraannya. Dan kita (madzhab Hanafiyah) memiliki dalil ijma’ sahabat. Sebab diriwayatkan, bahwa peristiwa tersebut pernah terjadi di masa Khalifah Umar bin al-Khatththab Ra. Lalu beliau menulis surat pada Syuraikh yang berisi: “Mereka berdua telah membuat samar (kasus ini), maka samarkan (kasus ini) bagi mereka. Anak itu adalah anak mereka, dia mewarisi (harta) mereka dan mereka mewarisinya.” Peristiwa itu dihadiri para sahabat dan tidak dikutip ada seseorang yang mengingkarinya, maka menjadi ijma’. Mengingat sebab hak nasab anak tersebut adalah berdasarkan hukum asal kepemilikan (atas ibunya), dan kepemilikan itu ada pada mereka berdua. Maka dengan kadar kepemilikan tersebut, bagian nasabnya menjadi tetap, lalu menjalar (ke keseluruhan anak tersebut) karena darurat nasab tidak bisa dibagi-bagi. Maka tetaplah nasab anak itu dari masing-masing mereka berdua secara sempurna. Adapun kegembiran Nabi Saw. dan tidak adanya bantahan dan pengingkaran dari beliau, maka kemungkinan bukan karena beliau menerima informasi ahli qiyafah sebagai hujjah, namun karena hal lain, yaitu orang-orang kafir mencela nasab Usamah Ra. dan mereka meyakini metode qiyafah. Ketika seorang ahli qiyafah menyatakan hal tersebut, maka gembiralah Rasulullah Saw. karena nampak sudah kesalahan pendapat mereka berdasar metode yang menjadi hujjah menurut mereka. Maka kegembiraan beliau pada hakekatnya disebabkan hilangnya celaan mereka pada Usamah karena metode yang menjadi dalil hilangnya celaan menurut mereka sendiri. Dan riwayat yang bersifat kemungkinan tidak layak dijadikan hujjah.  

7. Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah [7]

الْحَنَابِلَةُ قَالُوا  يُشْتَرَطُ فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ بِوَضْعِ الْحَمْلِ ثَلَاثَةُ شُرُوطٍ .... وَالْمُرَادُ بِالْقَافَةِ مَنْ لَهُمْ خِبْرَةٌ بِشِبْهِ الْوَلَدِ بِأَبِيْهِ، هَذَا مَا قَالَهُ الْفُقَهَاءُ وَلَعَلَّهُ يَقُوْمُ مَقَامَهُ فِيْ زَمَانِنَا تَحْلِيْلُ الدَّمِ فَإِذَا أَمْكَنَ مَعْرِفَةُ كَوْنِ دَمِ الطِّفْلِ مِنْ دُوْنِ دَمِ وَالِدِهِ يَكُوْنُ حَسَنًا وَإِذَا لَمْ يَكُنْ مَعْرِفَةُ شِبْهِهِ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا أَوِ اخْتَلَفَ الْقَافَةُ فِيْ أَمْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهَا أَنْ تَعْتَدَّ بِثَلاَثِ حَيْضٍ بَعْدَ وَضْعِهِ عَلَى أَيِّ حَالٍ

Ulama madzhab Hanabilah berpendapat, dalam habisnya masa ‘iddah dengan melahirkan bayi disyaratkan tiga hal: … Dan maksud ahli qiyafah yaitu orang yang mempunyai keahlian mengidentifikasi kemiripan anak dengan bapaknya. Ini adalah yang dikatakan para Fuqaha. Barangkali di masa kita sekarang ini tes darah bisa menggantikannya. Maka jika dimungkinkan mengetahui golongan darah anak dari golongan darah sang bapak, maka bagus. Dan jika tidak bisa diketahui kemiripannya dengan salah satu dari kedua lelaki yang bersetubuh dengan ibunya (dalam kasus seorang wanita yang menikah di masa ‘iddah dan melahirkan seorang anak yang mungkin dinisbatkan pada kedua lelaki itu), atau pendapat para ahli qiyafah berbeda dalam kasus ini, maka bagaimanapun si ibu harus menjalani masa ‘iddah selama masa tiga kali haid, terhitung setelah melahirkan.  

[1] Shalih Ali Nashir, dkk, Tharaiq al-Hukm fi al-Syar’iyah al-Islamiyah, h. 350.

[2] Abdul Malik al-Juwaini/Imam Haramain, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1997) h. 188.

[3] Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Thuruq al-Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syari’ah, (Kairo: Dar al-Hadits, 2000), h. 139.

[4] Bahkit al-Muti’i, Takmilah al-Majmu’, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), Jilid XV, h. 311-312.

[5] Bahith al-Muti’i, Takmilah al-Majmu’, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), Jilid XVII, h. 410.

[6] Mahmud bin Ahmad al-Kasani, Bada’i al-Shana’i fi Tartib al-Syarai’, (Beirut: Dar al- Kutub al-‘Ilmiyah, 1978), Jilid IV, h. 58-59.

[7] Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), Jilid IV, h. 461.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 437 HASIL KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-XXXI Di Asrama Haji Donohudan Boyolali Solo – Jawa Tengah 29 Nopember – 01 Desember 2004 M 16 – 18 Syawal 1425 H Tentang: MASAIL Al-DINIYYAH AL-WAQI’IYYAH