Beberapa Penjelasan Ulama tentang Islam Nusantara

 
Beberapa Penjelasan Ulama tentang Islam Nusantara

Terdapat banyak pengertian yang diutarakan oleh beberapa tokoh agama dan ulama mengenai arti dari Islam Nusantara. Namun dari berbagai pengertian tersebut memiliki orientasi dan tujuan yang sama, yakni mendefinisikan bahwa Islam Nusantara merupakan Islam dengan corak ke-Indonesiaan. Islam Nusantara adalah ikhtiar untuk menterjemahkan bahwa agama Islam merupakan agama yang rahmatan lil ‘alamin, agama yang santun, dan lain sebagainya. Berikut beberap penjelasan singkat dari Islam Nusantara.

Penjelasan Islam Nusantara Menurut KH Afifuddin Muhajir

Dalam pengertian hukum yang terakhir ini kita sah dan wajar menambahkan pada ‘Islam’ kata deiksis, seperti Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam Mesir, dan seterusnya. Makna Islam Nusantara tak lain adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil dialektika antara nash, syari’at, dan ‘urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara. Dalam istilah “Islam Nusantara”, tidak ada sentimen benci terhadap bangsa dan budaya negara manapun, apalagi negara Arab, khususnya Saudi sebagai tempat kelahiran Islam dan bahasanya menjadi bahasa Al-Qur’an. Ini persis sama dengan nama FPI misalnya, saya benar-benar yakin kalau anggota FPI tidak bermaksud bahwa selain mereka bukan pembela Islam.

Penjelasan Islam Nusantara Menurut KH Said Aqil Siradj

Konsep Islam Nusantara sebenarnya ialah mensinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah Indonesia. Menurut Said Aqil, Islam di Indonesia tidak harus seperti Islam di Arab atau Timur  Tengah, yang menerapkan penggunaan gamis ataupun cadar. Islam Nusantara, tegasnya, adalah Islam yang khas ala Indonesia. Singkatnya, Islam Nusantara adalah tipilogi, muyyazizat, jati diri dan karakteristik atau corak keislaman masyarakat Indonesia, bukan madzhab atau aliran.

Penjelasan Islam Nusantara Menurut KH Ma’ruf Amin

Pada dasarnya ada tiga pilar atau rukun penting di dalam Islam Nusantara. Pertama, pemikiran (fikrah); kedua, gerakan (harakah); dan ketiga, tindakan nyata (amaliyyah/amaliah).

Pilar pertama, pemikiran, meliputi cara berpikir yang moderat (tawassuth). Artinya, Islam Nusantara berada dalam posisi yang tidak tekstualis, tetapi juga tidak liberal. Tekstualis dimaksud adalah berpikir secara kaku pada nash (al-jumûd al-manqûlãt) sebagaimana yang terjadi pada kaum Wahabi di dalam memahami teks-teks Al Quran. Salah satu pernyataan Imam al-Qarafi, ulama ahli usul fikih, menyatakan jika "al-jumûd 'alã al-manqûlãt abadan dalãl fi al-din wa jahl bi maqasidihi", pembacaan yang statis (tanpa tafsir) penafsiran pada hal-hal yang dalil-dalil yang selamanya adalah kesesatan di dalam agama dan kebodohan tentang maksud-maksud agama. Liberal dimaksud adalah cara berpikir yang bebas tanpa mengindahkan metodologi yang disepakati di kalangan ulama yang dijadikan pegangan berpikir di kalangan NU.

Pilar kedua adalah gerakan. Artinya, semangat yang mengendalikan Islam Nusantara itu ditujukan pada perbaikan-perbaikan. Tugas Islam Nusantara adalah melakukan perbaikan-perbaikan (reformasi) untuk jamiah (perkumpulan) dan jemaah (warga) yang tak hanya didasarkan pada tradisi, tetapi juga inovasi. Reformasi Islam Nusantara adalah reformasi menuju tahapan yang lebih baik dan secara terus-menerus. Jadi, posisi Islam Nusantara bukan hanya mengambil hal yang baik saja (al-akhdh bi al-jadid al-aslah), karena istilah mengambil itu pasif, tetapi juga melakukan inovasi, mencipta yang terbaik dan terbaik. Prosesnya terus-menerus. Inovasi pun tak cukup, juga harus dibarengi dengan sikap aktif dan kritis.

Pilar ketiga adalah amaliah. Islam Nusantara sebagai identitas Aswaja NU menekankan bahwa segala hal yang dilakukan nahdliyin harus lahir dari dasar pemikiran yang berlandaskan pada fikih dan usul fikih; disiplin yang menjadi dasar kita untuk menyambungkan amaliah yang diperintah Al Quran dan Sunah Nabi. Dengan cara demikian, amaliah Islam Nusantara itu sangat menghormati pada tradisi-tradisi serta budaya yang telah berlangsung sejak lama di tengah masyarakat. Tradisi atau budaya yang di dalam usul fikih disebut dengan 'urf atau 'ãdat tidak begitu saja diberangus, tetapi dirawat sepanjang tidak menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam. Praktik keagamaan demikian inilah pada dasarnya yang dilakukan Wali Songo dan kemudian diwariskan para pendiri NU kepada kita semua.

Penjelasan Islam Nusantara Menurut Ustadz Sholeh Mahmoed Nasution

Ustadz Sholeh Mahmoed Nasution atau yang dikenal dengan Ustadz Solmed menjelaskan bahwa Islam Nusantara adalah ciri Islam yang khas Indonesia. Jadi bukan istilah dari agama baru. "Islam Nusantara bukan sebuah agama baru atau agama sempalan. Islam Nusantara adalah sebuah identitas keberislaman yang ada di Indonesia. Jadi kita tidak boleh gagal paham dalam memaknai istilah, seperti ada istilah Islam Berkemajuan, Islam Berkeadilan," kata Ustadz Solmed.

Penjelasan Islam Nusantara Menurut Lies Marcoes

Islam Nusantara adalah Islam yang memberi ruang kepada keragaman budaya  yang kemudian diserap oleh nilai-nilai Islam. Islam Nusantaran  adalah islam yang beradaptasi dengan  budaya agraris, budaya sungai, budaya  urban, budaya pesisir dan budaya pedalaman.  Budaya Islam adalah budaya yang menghargai alam yang subur karenanya kita menabur kembang di kuburan, membuat ketupat saat idul fitri, membuat opor dan redang dari kelapa, bukan dari kurma, dan menyelenggarakan shalat di tanah lapang. Pelaku-pelaku budaya itu, adalah orang seperti Mamah Dedeh juga,  umumnya  perempuan.

Begitulah berbagai definisi singkat tentang Islam Nusantara. Sebenarnya masih terdapat banyak penjelasan lain yang dapat dicari dan dibaca untuk lebih memahami Islam Nusantara. Namun demikian, dari berbagai penjelasan tersebut, sudah jelas bahwa istilah Islam Nusantara bukan untuk menyempitkan makna dari Islam itu sendiri melainkan adalah untuk menjelaskan tentang corak dan karakteristik Islam dan keber-Islaman yang ada di Indonesia, Islam yang damai, Islam yang toleran, Islam yang santun, Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam.