Pengakuan Ekonom Penghancur #9: Repelita Zaman Soeharto adalah Hasil Manipulasi John Perkins?

 
Pengakuan Ekonom Penghancur #9: Repelita Zaman Soeharto adalah Hasil Manipulasi John Perkins?

John Perkins dalam bukunya Confession Economic Hitman (Pengakuan Ekonom Penghancur) pada bagian ini menceritakan pengakuannya sebagai berikut:

Pendekatan ekonomi yang dilakukan oleh MAIN yang egoistis telah dibantah oleh kaum muda Indonesia, karena tidak mampu memberikan perlindungan atau membantu generasi masa depan di manapun, sehingga memaksa untuk mempelajari pendekatan lain.

Sesuai jargon Bank Dunia, sifat alami bantuan luar negeri dan peran sah yang dapat dimainkan oleh negara- negara maju (DC- Developed Countries) untuk rnembantu mengurangi kemiskinan dan kesengsaraan di negara-negara (LDC - Less-Developed Countries). Namun, dalam kenyataannya, bantuan itu hanya tamak dan mengutamakan keuntungan dan kepentingan para negara maju sebagai pendonor daripada benar-benar membantu dunia yang sedang sakit dan kelaparan, yang mana menjadi motivasi utama lntervensi negara pendonor.

Pada akhirnya, tujuan bantuan luar negeri adalah imperialisme dengan memaksakan bantuan pada bagian dunia yang lain dengan pola, cara, dan gaya hidup seperti pola kehidupan warga Amerika, bebas, liberal.  Walaupun secara statistik tentang kekerasan, depresi, penyalahgunaan obat, perceraian dan kriminal menunjukkan bahwa Amerika mungkin menjadi masyarakat paling tidak bahagia, walaupun paling kaya dalam sejarah.

Walaupun orang kaya Amerika yang berada di puncak piramida ekonomi memperoleh hasil eksploitasi ekonomi yang paling banyak, di mana menjadi tempat bergantung berjuta-juta warga lainnya dalam mencari nafkah. Sumber daya dan tenaga kerja murah yang memberi makan hampir semua bisnis Amerika berasal dari negera penerima pinjaman seperti Indonesia, dan sangat sedikit yang dikembalikan ke negara penerima pinjaman.

Pinjaman bantuan luar negeri dari negara pendonor seperti Amerika akan memastikan bahwa anak-cucu dari negara penerima pinjaman akan dijadikan sandera. Anak cucu negara penerima pinjaman akan harus membiarkan korporasi kami menjarah sumber daya alam mereka dan akan harus mengorbankan pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial yang lain hanya untuk membayar hutang kepada kami.

Fakta bahwa perusahaan Amerika telah menerima sebagian besar uang ini untuk membangun pembangkit tenaga listrik, bandar udara, dan kawasan industri di negara penerima pinjaman, tidak diperhitungkan ke dalam rumusan pengembalian pinjaman.

Dalam konteks perang ekonomi antara negeri pemberi dan penerima hutang, konsep perang suci di seluruh dunia telah menjadi gangguan, namun meskipun nampak adanya umat Islam di garis terdepan dalam perang, namun hanya menjadi penutup dari perang akibat ketidakpuasaan antara negara maju dan negara miskin sebagai penerima pinjaman.

Amerika sebagai negara maju di DC adalah para pemakai sumber daya, sementara negara terbelakang di LDC adalah pemasok sumber daya. Itulah sistem perdagangan kolonial yang berulang lagi, yang disiapkan untuk memudahkan mereka yang mempunyai kekuasaan dan sumber daya alam yang terbatas untuk mengeksploitasi negara yang mempunyai sumber daya tetapi tidak mempunyai kekuasaan.

Salah satu contoh peran pemerasan ekonomi oleh MAIN melalui skenario negara maju DC dan negara terbelakang LDC, dilaksanakan di Indonesia paska turunnya presiden Soekarno. Ketua dan CEO MAIN, Mac Hall, melalui Presiden kantor MAIN Indonesia Bruno Zambotti telah memecat Ekonom Kepala untuk Indonesia, Howard Parker.

Pemecatan Howard Parker oleh Bruno dengan alasan yang jelas, bahwa Howard Parker tidak mampu memanipulasi statistik pertumbuhan ekonomi. Secara jujur, Horward Parker, hanya menampilkan angka statistik pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 8 persen.

 “Saya memecat Howard Parker. Kita tidak perlu menjelaskan rinciannya, selain mengatakan bahwa ia kehilangan pijakan pada realitas," seru Bruno sambil tersenyum senang secara membingungkan selagi dia mengetukkan jarinya pada seberkas dokumen di mejanya. "Delapan persen per tahun. Itulah prediksi bebannya. Dapatkah Anda mempercayainya? Di sebuah negara dengan potensi seperti Indonesia!" tutupnya.

Bruno secara tegas menerima laporan John Perkins dengan angka prediksi ekonomi dengan pertumbuhan beban sebesar 17 dan 20 persen, sebuah angka yang diakui oleh Perkins telah dibuat dengan penuh manipulasi data.

Dengan kemampuan prediksi itulah, oleh Bruno, John Perkins diangkat sebagai Ekonom Kepala yang selanjutnya berkutat pada fokus penulisan laporan tentang ekonomi Indonesia dan peninjauan-ulang prediksi beban yang telah dibuat oleh Howard Parker.

Perkins mengusulkan jenis kajian proyek pembangunan berjangka 25 tahun, di mana dengan pertumbuhan kebutuhan listrik rata-rata 19 persen per tahun selama dua belas tahun setelah sistem kelistrikan diselesaikan, menurun menjadi 17 persen selama delapan tahun berikutnya, dan kemudian bertahan pada 15 persen untuk sisa dari proyeksi 25 tahun.

[Mari kita menelusuri hubungannya dengan Repelita yang dibuat selama 5 kali pemerintahan Soeharto]

Usulan proyek ini disampaikan kepada agen pemberi pinjaman intemasional dalam pertemuan resmi dengan melewati pertanyaan Tim Ahli yang kritis. Usulan proyek tersebut dapat dipertahankan dan dapat diterima oleh lembaga pemberi pinjaman, lebih disebabkan karena para pihak yang terlibat dalam pembahasan tersebut, diakui oleh Perkins, sama-sama tidak memahami proyeksi 25 tahun ke depan.

Usulan proyek yang dapat diterima oleh Robert McNamara  tersebut merupakan hasil dari rincian ekonometri, model perhitungan matematika, serta ego dalam manipulasi. Robert McNamara merupakan Presiden Bank Dunia yang merupakan mantan Presiden Ford Motor Company serta sekretaris John Kennedy untuk urusan pertahanan.

Secara hampir bersamaan pada tahun 1969-1970an, Perkins menyampaikan pengalaman pertemuan-pertemuan di Teheran, Caracas, Guatemala City, London, Wina, dan Washington untuk bertemu dengan pribadi-pribadi terkenal, termasuk Shah Iran, dan mantan pesiden beberapa negara, serta Robert McNamara untuk pembahasan dana pinjaman internasional bagi negara-negara tersebut.

Pembahasan dana pinjaman internasional dari negara pendonor kepada negara penerima pinjaman tersebut dilakukan dengan jargon menghindarkan negara jatuh pada komunisme dan terorisme, sehingga membawa negara para penerima pinjaman untuk secara bersama-sama membawa dunia ke kapitalisme.

Perkins menyampaikan bahwa sekumpulan orang perwakilan lembaga dan negara pendonor dengan negara-negara penerima bantuan tersebut adalah layaknya orang-orang dalam konspirasi persaudaraan yang terjalin erat dan bertekad untuk mendominasi dunia dengan pola kerja yang cepat ala corporatocracy.

Corporatocracy yang menciptakan perang dan produksi senjata secara massal, serta perusakan lingkungan dan budaya pribumi memberikan keuntungan jangka pendek kepada mereka yang berada di puncak piramida, yaitu para bos MAIN dan para pimpinan lembaga negara pemberi bantuan.

Perkins mengakui bahwa sistem corporatocracy telah menempatkan segelintir orang MAIN di puncak tertinggi piramida kapitalis ini dan untuk mengekspor sistem kami ke seluruh dunia dengan kata lain, imperialis sistem.

Dorongan imperialis ini telah dan terus berlanjut menjadi penyebab sebagian besar perang, polusi, kelaparan, kepunahan spesies, dan genosida. Dan imperialis telah selalu meminta korban yang serius pada suara hati dan kesejahteraan warga negara kerajaan-kerajaan itu, meningkatkan keresahan sosial dan mengakibatkan suatu situasi di mana budaya yang paling kaya dalam sejarah manusia diganggu oleh tingkat bunuh diri yang paling tinggi, penyalahgunaan obat, dan kekerasan.

Suatu siang Bruno memanggil Perkins ke kantomya. Bruno berjalan ke belakang kursi dan menepuk-nepuk bahu Perkins, "dengan laporan statistik dan pertumbuhan ekonomi yang telah Anda buat, Anda telah bekerja dengan sempurna."



Baca juga Serial Ekonom Penghancur:
8. Melalui Wayang, Rakyat Indonesia Melek Politik Dunia
7. Langkah Pertama Korporatokrasi, Peran Penyelidik
6. Manipulasi Pertumbuhan Ekonomi, Awal Korporatokrasi
5. Penyelamatan Indonesia dari Komunias vs Korporatokrasi
4. Indonesia Paska 1965, Pelajaran Seorang Ekonom Penghancur