Kontradiksi Pandangan Pangeran Diponegoro dan Pesarean Gunung Kawi

 
Kontradiksi Pandangan Pangeran Diponegoro dan Pesarean Gunung Kawi
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Sebelum membaca artikel ini,  penting kiranya terlebih dahulu membaca artikel sebelumnya, “Kisah Pangeran Diponogoro dalam Tradisi Folklor” agar dapat memahami secara utuh kejadian mula kontradiksi ini.

Dalam jurnal “Indonesian Language Education and Literature” menyampaikan bahwa, Babad Diponegoro memiliki pandangan tersendiri tentang hubungan antara Mataram dan kompeni atau VOC. Dalam Babad Diponegoro jilid 2 halaman 6 disebutkan bahwa serangan Mataram ke Jakarta atau Betawi dimenangkan oleh pasukan Mataram. Pasukan Mataram hanya meminta agar pasukan VOC atau Gubernur Jenderal memberikan upeti kepada pasukan Mataram. Hal ini merupakan perjanjian antara Tumenggung Wiraguna yang didampingi oleh juru tulis bernama Jiwaraga sebagai wakil dari Mataram dalam menghadapi gubernur jenderal dari Batavia.

Kehidupan Pangeran Diponegoro memang unik. Pangeran Diponegoro menolak untuk aktif berpolitik di dalam Kesultanan Jogjakarta. Pangeran Diponegoro tidak ingin jabatan dan sengaja menolak saat diangkat menjadi pangeran Adipati atau putra mahkota. Pangeran Diponegoro memilih tinggal di Tegalrejo yang merupakan tanah warisan dari nenek moyangnya. Dari Tegalrejo inilah, perang Diponegoro kemudian membangun jaringan keagamaan dengan tokoh-tokoh yang ada di Jawa. Masa muda Pangeran Diponegoro diisi dengan berguru ke berbagai pesantren di Jawa. Kebiasaan tersebut membuatnya memiliki hubungan yang luas dengan tokoh-tokoh Islam dan pesantren-pesantren di Jawa. Hal ini yang membuat Pangeran Diponegoro tidak tertarik dengan kehidupan dalam Kesultanan Yogyakarta. Diponegoro lebih suka membangun cita-cita untuk mendirikan negara Islam. 

Meskipun sudah memeluk Islam, dari segi ideologi Diponegoro masih mengikuti ideologi Jawa tentang penokohan Arjuna. Pada umumnya orang Jawa mengagumi tokoh Arjuna yang memiliki akar pada cerita Kakawin Arjunawiwaha dari tradisi Jawa Kuna dan tergambar dalam wayang Jawa. Diponegoro tampaknya mengidentifikasi diri juga sebagai Arjuna yang menguasai tanah Jawa. Sesuatu yang tidak tampak lagi ialah kepercayaan pada Dewa Siwa yang memberi anugerah berupa panah pasopati atau anugerah lain. Peran Dewa Siwa sudah digantikan dengan peran Allah sesuai tuntunan ajaran agama Islam.

Pangeran Diponegoro hidup dengan mencontoh kehidupan Nabi Muhammad yang sederhana. Hal ini pulalah yang menjadikan Pangeran Diponegoro tidak memakai pakaian kebesaran Jawa, tetapi lebih senang memakai jubah putih. Diponegoro juga mengubah namanya menjadi Abdul Hamid atau Ngabdulkamid yang artinya hamba dari yang patut dipuji. Diponegoro juga berpandangan bahwa Jawa pada masa lalu, khususnya di masa pemerintahan ayahnya, dipandang sebagai zaman Jahiliyah yang mirip dengan konsep Islam sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW.

Namun hal terebut bila dibandingkan dengan kisah Eyang Joego atau Kyai Zakaria ternyata bertolak belakang. Dalam narasi cerita lisan memang disebutkan bahwa Kyai Zakaria dan pengikutnya adalah guru spiritual Pangeran Diponegoro. Di dalam Kompleks makam tersebut, juga ditemukan masjid kuno. Namun, yang terjadi pada saat ini, banyak orang keliru dalam memandang Kyai Zakaria tersebut. Kyai Zakaria yang sudah meninggal makamnya dikunjungi dalam rangka untuk mendapatkan kemajuan duniawi.

Gambaran Kontradiksi Kisah Pangeran Diponogoro dan Pasarean Gunung Kawi:

No

Pangeran Diponogoro

Pasarean Gunung Kawi

1

Tokoh Muslim

 

Menjadi ritual kejawen dari berbagai kepercayaan

2

Berjuang mendirikan negara Islam

 

Tempat mencari penglarisan, bebas dari politik

3

Berjuang bukan untuk urusan duniawi

Berjuang untuk urusan duniawi dan untuk pribadi

4

Islam dijadikan simbol utama perjuangan

Islam dijadikan sebagai pelengkap, ritual yang utama justru bertentangan dengan Islam

 

Seiring dengan perkembangan pergaulan dengan masyarakat China, maka di lokasi Pasarean Gunung Kawi juga muncul klenteng tempat ibadah orang China. Kemunculan tempat ibadah Khonghucu atau Tridarma ini bermula dari adanya orang China yang mengabdikan diri di makam Eyang Joego. Orang ini merasa hidupnya berhasil berkat pengabdiannya di makam tersebut. Sebagai bentuk penghargaan dan ucapan terima kasih, orang tersebut membangun klenteng khas masyarakat Tionghoa.

Gunung Kawi memiliki teritori dan dalam ritual ada beberapa wilayah seperti untuk agama Islam, kejawen, dan tridarma (China) sehingga dapat menampung berbagai kelompok masyarakat. Cerita itu bermula pada tahun 1931, seorang Tionghoa bernama Tan Kie Yam merupakan orang Tionghoa pertama yang datang berziarah ke Gunung Kawi. Pak Yam merasa tenang hidup di sana dan memutuskan untuk menetap di Wonosari untuk mengabdi kepada Eyang Djoego dan R.M. Iman Soedjono. Selain itu, Tjia Tjian Tjin juga ingin menjadi cantrik dengan membersihkan dan memperbaiki makam. Tjia Tjian Tjin ingin unjuk bakti karena anaknya yang celaka dan tidak bisa jalan telah disembuhkan oleh Eyang Djoego. Demikian pula dengan Kwee Yan Hoo juga membaktikan dirinya bekerja apa saja di Gunung Kawi karena sebagai rasa terima kasih karena sakit sesak nafasnya telah disembuhkan oleh Eyang Djoego. 

Tan Kie Yam memperhatikan akses jalan ke Gunung Kawi. Ia membaktikan dirinya untuk kepentingan orang banyak dengan cara membangun jalan dari pasarean hingga ke dekat terminal atau stamplat. Tan Kie Yam meninggal pada tahun 1964. Keberadaan Pak Yam di Wonosari ini mendorong etnis Tionghoa lain untuk berkunjung ke Gunung Kawi. Ada juga Ong Hok Liong atau Pak Samsi yang masih saudara dengan Tan Kie Yam. Ong Hok Liong dikenal sebagai pengusaha rokok Bentoel. Ketika ia dan istrinya menjenguk Tan Kie Yam, bertemu dengan Mbah Djuwul. Mbah Djuwul merupakan istri R.M. Iman Soedjono. Setelah suaminya meninggal, Mbah Djuwul menjadi juru kunci di Pasarean. Oleh Mbah Djuwul, Tan Kie Yam diberi dua biji bentul, yaitu tanaman gunung sejenis talas. Terinspirasi dari hal tersebut, Ong Hok Liong mencoba membuat rokok dengan cap Bentoel. Akhirnya, usahanya berhasil sampai dengan sekarang. Berita keberhasilan usaha Ong Hok Liong ini tersebar sampai ke manamana. Hal inilah yang kemudian banyak etnis Tionghoa ingin berkunjung ke Gunung Kawi. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 22 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar