Menelusi Dayah dalam Perspektif Historis

 
Menelusi Dayah  dalam Perspektif Historis

 

LADUNI.ID, SEJARAH- Pada masa kesultanan, dayah menawarkan tiga tingkatan pengajaran, rangkang (junior), balee (senior) dan dayah manyang (universitas). Di beberapa dayah hanya terdapat junior (rangkang) dan senior (balee), sedangkan di tempat lain hanya ditemui tingkat universitas saja.

Meskipun demikian, di tempat tertentu juga terdapat tiga tingkatan sekaligus, mulai dari junior sampai universitas.   Sebelum   murid   belajar   di   Dayah,   mereka   sudah mampu membaca al-Quran. Kemampuan membaca Al-Quran tersebut, mereka dapatkan dari rumah atau dari seorang teungku di meunasah.  Informasi  tentang  kurikulum sangat  langka  yang  bisa didapatkan dari latar belakang sejarah dayah; tidak seorang sarjana pun yang menjelaskan tentang hal ini

 

Dalam  bahasa Aceh, istilah  untuk „lembaga‟ yang  dikenal dengan nama pesantren di Jawa dan seluruh Indonesia adalah dayah.  Kata dayah juga sering diucapkan deyah oleh masyarakat Aceh Besar, diambil dari bahasa Arab zawiyah.4 Istilah zawiyah, yang secara literal bermakna sebuah sudut, diyakini oleh masyarakat Aceh pertama kali digunakan sudut Masjid Madinah ketika  Nabi  Muhammad  berdakwah pada masa  awal Islam.

Orang-orang ini, sahabat Nabi, kemudian menyebarkan Islam ketempat-tempat lain. Pada abad pertengahan, kata zawiyah dipahami sebagai pusat agama dan kehidupan mistik dari penganut tasawuf, karena itu, didominasi hanya oleh ulama perantau, yang telah dibawa ketengah- tengah masyarakat. 

Kadang-kadang lembaga ini dibangun menjadi sekolah agama dan pada saat tertentu juga zawiyah dijadikan sebagai pondok bagi pencari kehidupan spiritual.  Sangat mungkin bahwa Islam disebarkan ke Aceh oleh para pendakwah tradisional Arab dan sufi; ini mengindikasikan bagaimana zawiyah diperkenalkan di Aceh.

 Syekh  Ishaq  al-Makarani  al-Pasi  menyebutkan  dalam  kitabnya Idar al-Haq, bahwa kelompok Muslim, yang dipimpin oleh Nakhoda Khalifah dan terdiri dari orang-orang Persia dan Arab, tiba di Bandar Peureulak    Pantai    Utara    Sumatera    pada   tahun    800M,    kemudian mendirikan  sebuah  perkampungan  di  sana. 

 Dalam  sumber  lain,  yang ditulis oleh orang yang bukan pribumi, menyatakan bahwa Muslim pertama yang mengunjungi Indonesia diperkirakan pada abad ketujuh, ketika pedagang Arab berhenti di Sumatera untuk menuju ke China.

Hal ini  sangat  mungkin  terjadi,  karena  pedagang  inilah  yang memperkenalkan Islam di sana, sebagaimana di tempat-tempat lain ketika Islam disebarkan oleh pedagang Muslim.

Pada gilirannya, kejadian ini menunjukkan bahwa kata zawiyah, yang sangat banyak dipakai di Jazirah Arab, kemudian diperkenalkan ke Aceh melalui hubungan tersebut. Kendatipun, dayah dianggap sama dengan pesantren di Jawa dan surau di Sumatera Barat, namun ketiga lembaga pendidikan tersebut tidaklah persis sama, setidak-tidaknya latar belakang historisnya.

 

***Helmi Abu Bakar El-Langkawi, Penggiat Literasi Asal Dayah MUDI Masjid Raya Samalanga

 

Sumber: Nuraini, Potret Islam Tradisional “Dayah Dan Ulama Di Aceh Abad Ke-20” Dalam Perspektif Sejarah, 2014