Tips Cerdas Bermedia Sosial

 
Tips Cerdas Bermedia Sosial

LADUNI.ID - Dalam salah satu episode serial “Upin Ipin”, si kembar asal negeri jiran ini memainkan opera bersama para sahabatnya. Lakon sandiwara berjudul "Pengembala dan Serigala". Jarjit, yang memerankan seorang pengembala biri-biri, iseng berteriak minta tolong karena ada serigala datang. Upin dan Ipin yang memerankan petani, tergopoh-gopoh mau menolongnya.

Ternyata Jarjit hanya iseng. Tak ada serigala. Dia kemudian mengulangi ulah isengnya, dan saat petani datang, dia hanya terbahak-bahak melihat ulah konyolnya. Para petani dongkol, merasa dikerjai. Hingga akhirnya ketika serigala benar benar datang dan Jarjit berteriak minta tolong, para petani sudah tidak lagi mempercayainya. Dia terlalu sering berbohong sehingga kebenaran yang disampaikan pun akhirnya dianggap bualan belaka.

Bagi saya, ini adalah salah satu episode terbaik dalam serial "Upin Upin". Ajaran agar berhati-hati menyebarkan kabar, sekaligus mengecek kredibilitas penyebarnya, juga ajaran agar menjadi orang yang bisa dipercaya. Sebuah intisari QS. Al-Hujurat ayat 6 yang disampaikan dengan bagus melalui film kartun.

Dalam QS. Al-Hujurat ayat 6, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Silahkan mengecek asbabun nuzul QS. Al-Hujurat ayat 6 ini. Betapa mengerikannya andaikata tidak ada klarifikasi atas sebuah berita. Cukuplah asbabun nuzul ayat ini menjadi pelajaran bagi kita agar lebih berhati-hati menerima informasi sekaligus melakukan klarifikasi atas kabar yang diterima.

Kini, di era tsunami informasi, segala berita beredar di medsos. Semua informasi berlalu-lalang meskipun tidak jelas validitasnya. Nah, yang ini disebut sebagai hoax. Makna mudahnya, “berita bohong yang dikemas seolah-olah benar”. Anda bisa saja cerdas di bidang akademis, alim di bidang agama, tapi itu tidak cukup untuk menyelamatkan anda dari tsunami informasi yang berbasis kepalsuan. Butuh daya kritis yang diimbangi dengan kemampuan menahan diri untuk tidak menyebarkan informasi yang belum tentu teruji validitasnya. Hoax bisa saja melambungkan popularitas kita dalam sekejap mata, namun di sisi lain juga bisa meruntuhkan reputasi kita.

Di sinilah pentingnya kita menahan diri untuk tetap woles, santai, tidak reaktif menerima informasi apapun yang belum terverifikasi kebenarannya. Sebab, begitu canggihnya kemasan hoax hari ini, dusta bisa dikemas sangat menarik hingga penyebarnya merasa berjuang, padahal hanya berjualan. Di fesbuk juga banyak informasi editan mengenai bencana alam hingga lafal Allah di awan, di pijaran lava, dan sebagainya. Tujuannya, untuk membuktikan kebesaran Allah. Padahal, kita tahu, Allah Mahabesar dan tidak tidak butuh editan photoshop untuk membuktikan keagunganNya.

Ciri hoax dan Cara Menangkalnya

Jika dicermati, ada banyak penyebab munculnya hoax: kecintaan, kebencian, keawaman, hingga bisnis. Semua punya modus operandi. Tema hoax bervariasi: agama, kesehatan, personal, sejarah, politik dan sebagainya. Semua memiliki konsumen masing-masing.

Sedangkan di antara ciri khas hoax: (1) too good to be true alias terlalu sempurna untuk jadi kenyataan; (2) too bad to be true alias terlalu mengerikan untuk jadi kenyataan. (3) Kalimat bombastis, sugestif, dan heboh, misalnya “Awas, 7 juta tuyul beranak pinak menjelang lebaran. Waspadalah. Sebarkan!” (4) Mencatut lembaga terkenal, namun jika ditelusuri tidak ada informasi valid mengenai hal yang disebarkan. (5) Penelitian palsu. Misalnya, “Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Profesor Zlatan Ibrahimovic menemukan fakta, bahwa setelah berjongkok selama 15 menit, manusia bisa mengalami kesemutan, anehnya semut tidak bisa mengalami kemanusiaan. Sungguh, penelitian yang mencengangkan dokter di Barat. Fakta ini sengaja ditutup-tutupi oleh pihak Barat agar umat Islam bla…bla…bla…! Sebarkan, raih amal soleh dengan berbagi informasi gendeng seperti ini!”

Untungnya, di harian Jawa Pos sudah ada wadah klarifikasi atas informasi yang simpang siur. Di halaman 2, kolom bawah. Ini lumayan efektif memberikan klarifikasi, uji validitas, dan menepis informasi sampah. Di beberapa website juga sudah menyediakan rubrik yang serupa. Hal ini merupakan salah satu indikasi apabila hoax sudah menyebabkan keresahan publik.

Namun, tentu, tidak semua hoax bisa diklarifikasi kebenarannya oleh media massa. Solusinya, kita sebagai pengguna media social harus mencerdaskan diri sendiri, melatih agar bersikap kritis, serta tidak reaktif memencet tombol share di medsos.

Agar tidak menjelma menjadi penyebar konten hoax, maka kita bisa melakukan ini.: (1) Apakah informasi itu benar? (2) Jika benar, itu merupakan fakta, atau hanya asumsi saja? (3) Jika konten itu disebarkan, lebih banyak menimbulkan manfaat atau justru menimbulkan dampak negatif? Dan seterusnya. Cara ini setidaknya bisa melatih sikap al-hilm; santun, santai dan tidak reaktif. Al-hilm adalah sifat istimewa yang melekat pada diri Rasulullah. Dalam istilah Steven Covey, al-hilm ini disebut dengan istilah response ability alias kemampuan merespon sesuatu dengan bijak.

Dari berbagai pemberitaan, kita paham kalau bagi sebagian orang, memproduksi kabar bohong adalah bisnis. Ya, hoax adalah bagian dari produk. Ada permintaan, pasar, mekanisme marketing, hingga konsumen setia. Coba dilihat, teman-teman kita yang sering share hoax ya itu-itu saja, kulakan dari web yang itu-itu saja, dan tema yang diangkat ya itu-itu saja. Saya curiga, mereka memplesetkan hadits: qulil haqq walaw kana murron, menjadi qulil hoax walaw kana murron! Katakanlah yang benar meskipun itu pahit, menjadi katakanlah yang hoax meskipun itu pahit!

Akhirnya, saya percaya, turunnya minat membaca akan menaikkan hasrat berkomentar. Sedangkan rendahnya budaya membaca akan memompa semangat menyebar berita apapun yang telah diterima. Adapun keinginan menjadi nomor satu telah membuat orang bergegas menyebar berita yang didengar maupun dibaca. Dan, sebagaimana kata Kanjeng Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, "....cukuplah seseorang (dianggap) berdusta jika ia menceritakan semua yang ia dengar."

Wal Iyadzu Billah.
Wallahu A'lam Bisshawab.

Oleh: Rijal Mumazziq Z
(Rektor Institut Agama Islam al-Falah Asssunniyyah [INAIFAS) Kencong Jember)