Menguji Konsep NKRI Bersyariah dalam Politik Global (Bagian 1)

 
Menguji Konsep NKRI Bersyariah dalam Politik Global (Bagian 1)

LADUNI.ID, Jakarta - Artikel ini adalah seri pertama yang ditulis oleh Dina Y. Sulaeman*), merespon esai Denny JA: "NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?". Dalam tulisan ini membahas mengenai definisi NKRI Bersyariah yang dikemukakan Habib Riziq Sihab, dalam video yang ditayangkan pada acara demo Reuni Alumni 212 tahun 2017. Secara khusus tulisan ini membahas membahas mengenai sebelas prinsip atau definisi daripada konsep NKRI bersyariah.

“Kalau pemerintah zolim, tentara jahat, polisi jahat, main tangkap, main tembak, rakyat hartanya dijarah, tanahnya dirampas, syariat Islam disingkirkan, kita besok perlu ISIS atau tidak?!” suara Sang Pengkhotbah menggelegar.

“Perluuu...!!” teriak jamaahnya.

“Takbiiir...!” pekik Sang Pengkhotbah.

Potongan dialog itu sontak terngiang di telinga, saat membaca tulisan Denny JA berjudul “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?” Pasalnya, Sang Pengkhotbah adalah Habib Rizieq Shihab (HRS), pengusung ide NKRI Bersyariah.

Denny dalam tulisannya mengkritisi ide ini dengan menantang HRS untuk menetapkan dulu apa indeks ‘bersyariah’ itu, dan kemudian indeks tersebut diuji dalam skala global, untuk mencari negara mana yang masuk kategori ‘bersyariah’ yang bisa dijadikan rujukan.

Denny mengutip hasil penelitian Yayasan Islamicity Index yang menemukan bahwa 10 negara yang paling tinggi “indeks Islami”-nya (antara lain: pemerintahan yang bersih, pemerataan kemakmuran, dan penghormatan pada HAM) justru bukan negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim.

Sebelum melangkah jauh ke indeksasi, yang membutuhkan kemampuan berpikir metodologis yang tinggi, dalam tulisan ini saya akan menunjukkan adanya tiga watak dasar para pengusung NKRI Bersyariah, yaitu takfirisme, ekstremisme, dan kegagalan dalam berpikir metodologis. Ketiganya menjadi penghalang terbesar dalam mewujudkan sebuah pemerintahan, yang mampu menyediakan ruang publik yang manusiawi berlandaskan nilai-nilai Islam.

Mengglorifikasi ISIS, Tetapi Mengusulkan NKRI Bersyariah?

HRS dalam dua ceramahnya (diupload di Youtube.com tahun 2014 dan 2015) menjustifikasi kehadiran ISIS dengan kalimat ini, “Mengapa ISIS muncul? Karena ketidakadilan yang sudah kelewat batas di Irak!” atau “Di Irak banyak kezaliman, muncul ISIS, wajar tidak?!” (dan dijawab beramai-ramai oleh hadirin: ‘wajaar..!’).

Dia menjustifikasi aksi-aksi brutal yang dilakukan ISIS (pemenggalan, pembunuhan) dengan mengatakan bahwa yang dipenggal ISIS adalah orang-orang jahat (polisi, tentara), yang dulu membunuhi ayah-ayah para milisi ISIS. Dengan justifikasi ini pula dia memperingatkan pemerintah Indonesia agar tidak melakukan kezaliman seperti di Irak.

“Makanya saya kasih tahu, pemerintah dan polisi, hati-hati! Di Irak, karena polisi melakukan kezaliman kepada rakyat, begitu rakyat melakukan pembalasan, tentara dan polisi mereka sembelih di tengah jalan. ... Saya ingatkan, kalau pemerintah Indonesia coba-coba zolim, tentara dan polisi coba-coba jahat kepada umat Islam, bisa jadi besok tentara dan polisi yang disembelih di tengah jalan!”

HRS mengglorifikasi ISIS dengan mengatakan, “Cita-cita mulianya (ISIS) menegakkan syariah Islam, hal yang baik; cita-cita mulianya untuk menegakkan khilafah, hal yang baik; cita-cita mulianya melawan kezholiman Amerika dan sekutunya hal yang baik...”

Dari kalimat ini, terlihat jelas bahwa HRS mendapatkan informasi atau data yang sangat salah  tentang ISIS. Yang dibantai ISIS bukan sebatas tentara AS, para polisi atau tentara Irak (yang menurut HRS ‘pemerkosa’, ‘pembunuh’) melainkan juga warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak Yazidi, Druze, Kurdi, dan Syiah (baik di Irak, maupun Suriah). Mereka semua adalah orang-orang yang dianggap kafir oleh ISIS.

Bahkan, warga sipil yang dibunuh ISIS jauh lebih banyak daripada yang dibunuh oleh tentara AS. Total tentara AS yang terbunuh di Irak periode 2011-2018 (karena berbagai sebab, bukan hanya oleh ISIS) adalah 110. Sementara, pembantaian ISIS yang dilakukan di satu kota saja, Sinjar, selama 10 hari pada Agustus 2014 mencapai 5.000 orang.

Selama sepuluh hari itu, lebih dari 40.000 warga sipil (yang beragama Yazidi) melarikan diri dari serbuan ISIS, lalu diblokade di pegunungan Sinjar, kelaparan, dan kehausan. Ratusan perempuan Yazidi diculik dan dijadikan budak seks. Kejadian ini sudah diverifikasi berbagai lembaga di bawah naungan PBB.

Selanjutnya, mari kita simak definisi NKRI Bersyariah yang dikemukakan HRS, dalam video yang ditayangkan pada acara demo Reuni Alumni 212 tahun 2017. Saya meringkasnya dalam 11 poin berikut ini:

  1. Beragama, bukan atheis atau komunis; berketuhanan yang Maha Esa, tunduk kepada hukum Allah SWT.
  2. Mengimplementasikan kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
  3. Menolak neolib sosialis maupun neolib kapitalis untuk mewujudkan keadilan sosial.
  4. Menjamin semua umat beragama untuk menjalankan ibadah dan syariat agamanya masing-masing
  5. Melindungi rakyat dari segala maksiat, menghadirkan pejabat yang amanah dan tidak khianat.
  6. Melindungi umat Islam agar segala yang dikonsumsinya adalah produk halal.
  7. Menghormati dan mencintai para ulama dan santri, bukan mengkriminalisasi atau menerorisasi mereka.
  8. Menjadikan pribumi sebagai tuan di negeri sendiri.
  9. Menghargai dan melindungi madrasah dan pesantren, bukan memarjinalkan dan mencurigainya
  10. Antikorupsi, antimiras, antinarkoba, antijudi, antipornografi, antiprostitusi, anti-LGBT, antiteroris, antiseparatis, antifitnah, antikebohongan, antikemungkaran, antikezaliman.
  11. Didasarkan pada Pancasila dan UUD 18 Agustus 1945 asli yang dijiwai Piagam Jakarta 1945.

Secara umum, dari 11 poin ini, bisa kita simpulkan bahwa NKRI Bersyariah berbeda dengan khilafah yang diperjuangkan ISIS (yang setelah melebarkan ‘jihad’-nya ke seluruh dunia berganti nama menjadi Islamic State - tanpa kata ‘Iraq’ dan ‘Syria’) atau Hizbut Tahrir.

NKRI Bersyariah usulan HRS berfokus pada perbaikan tatanan Indonesia dan mengusung nasionalisme. Faksi-faksi lain dalam kubu 212 pun sangat mungkin tidak setuju sepenuhnya pada ide NKRI Bersyariah. Namun, mereka semua diikat oleh satu keinginan yang sama untuk menjadikan syariah Islam sebagai rujukan utama bernegara.

Lalu, masalahnya di mana? Dari sisi ide, apa yang disampaikan oleh para pengusung NKRI Bersyariah itu sangat bisa didialogkan, sebagaimana usulan konsep-konsep bernegara yang diusulkan para pemikir lainnya. Apalagi, secara eksplisit, usulan konsep ini tetap mendasarkan diri pada Pancasila dan UUD 1945, dan hampir semua poin yang disampaikan HRS pun bersesuaian dengan dasar negara kita. Namun, masalahnya ada pada tiga watak dasar para pengusung ide pemerintahan syariah ini.


*) Dina Y. Sulaeman, Doktor Hubungan Internasional lulusan Universitas Padjadjaran. Selain beraktivitas sebagai dosen, ia juga  aktif menulis artikel analisis geopolitik Timur Tengah, serta mengelola Jurnal ICMES (the Journal of Middle East Studies). Ia pernah tinggal di Timur Tengah dan berkarir sebagai jurnalis di Islamic Republic of Iran Broadcasting (IRIB). Dua buku yang pernah ditulisnya mengenai konflik Suriah berjudul ‘Prahara Suriah’ dan ‘Salju di Aleppo.