Biografi KH. Ahmad Sholeh (Pengasuh Pondok Pesantren Langitan Ke-2)
- by Achmad Susanto
- 1.371 Views
- Kamis, 1 Desember 2022

Daftar Isi
1. Riwayat Hidup dan Keluarga KH. Ahmad Sholeh
1.1 Lahir
1.2 Riwayat Keluarga KH. Ahmad Sholeh
1.3 Wafat
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan KH. Ahmad Sholeh
2.1 Guru-guru KH. Ahmad Sholeh
3. Penerus KH. Ahmad Sholeh
3.1 Anak-anak KH. Ahmad Sholeh
3.2 Murid KH. Ahmad Sholeh
4. Perjalanan Hidup dan Dakwah KH. Ahmad Sholeh
4.1 Perjalanan Menuntut Ilmu KH. Ahmad Sholeh
4.2 Mengembangkan Sistem Pendidikan di Pondok Pesantren Langitan
5. Keteladanan KH. Ahmad Sholeh
6. Referensi
1. Riwayat Hidup dan Keluarga KH. Ahmad Sholeh
1.1 Lahir
KH. Ahmad Sholeh adalah putra kedua dari KH. Muhammad Nur pendiri Pondok Pesantren Langitan. Beliau lahir di Tuban sekitar tahun 1820 an.
1.2 Riwayat Keluarga KH. Ahmad Sholeh
Mbah Sholeh menikah 1287 Hijriyah dengan Raden Nyai Asriyah, puteri KH. Mukhtar (pengasuh Pondok Pesantren Cepoko, Kabupaten Nganjuk). Dari pernikahan tersebut lahir putera dan puteri diantaranya:
- Nyai Shofiyah (dinikahkan dengan KH. Khozin, penerus estafet K.H. Ahmad Sholeh di Pondok Pesantren Langitan)
- KH. Dahlan Hasbullah
- KH. Adnan
- Nyai Sholihah (dinikahkan dengan KH. Zainuddin Mojosari, Kabupaten Nganjuk)
- Nyai Khodiyah (dinikahkan dengan KH. Rofi’i Gondanglegi, Kabupaten Nganjuk)
- Satu puteri lagi yang dinikahkan dengan KH. Nur Iman (berdomisili di Tuban).
1.3 Wafat
KH. Ahmad Sholeh mengasuh Pondok Pesantren Langitan, selama kurang lebih 32 tahun. Beliau wafat pada tahun 1320 H./1902 M. dan dimakamkan di kompleks pesarean keluarga di Desa Widang, kurang lebih 400 meter sebelah utara kompleks Pondok Pesantren Langitan.
2. Sanad dan Pendidikan KH. Ahmad Sholeh
KH. Ahmad Sholeh adalah putra kedua dari sembilan bersaudara. Tahun kelahirannya tidak dapat diketahui, tetapi dari segi pendidikannya, beliau sejak kecil, bersama-sama dengan saudaranya, menerima pendidikan Islam dari ayahnya sendiri di Langitan, mengenai cara belajar membaca al-Qur’an, Tajwid, Tauhid, Fiqh dan lain sebagainya. Dan di bimbing langsung oleh Ayahnya KH. Muhammad Nur.
2.1 Guru-guru KH. Ahmad Sholeh
- KH. Muhammad Nur (Ayahanda KH. Ahmad Sholeh)
- K.H. Abdul Qodir atau Abdul Qohhar (Pesantren Al-Najiyah Sidoresmo, Surabaya)
- K.H. Hasbullah (Pesantren Sambilangan, Madura)
- Syekh Nawawi Banten
- Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan (Imam dan Mufti Mahzab Syafi’i di Mekkah al-Mukaromah)
- Syekh Muhammad Al-Muqri
- Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al-Makki
- Syekh Ahmad Nahrowi
- Sayyid Muhammad Saleh bin Sayyid Abdur Rahman Az-Zawawi
- Syekh Zahid, Syekh Umar Asy-Syami
- Syekh Yusuf Al-Mishri
- Syekh Jamal (Mufti Mazhab Hanafi)
3. Penerus KH. Ahmad Sholeh
3.1 Anak-anak KH. Ahmad Sholeh
- Nyai Shofiyah (Istri KH. Khozin, penerus estafet K.H. Ahmad Sholeh di Pondok Pesantren Langitan)
- KH. Dahlan Hasbullah
- KH. Adnan
- Nyai Sholihah (Istri KH. Zainuddin Mojosari, Kabupaten Nganjuk)
- Nyai Khodiyah (Istri KH. Rofi’i Gondanglegi, Kabupaten Nganjuk)
- Satu puteri lagi (Istri KH. Nur Iman berdomisili di Tuban)
3.2 Murid-murid KH. Ahmad Sholeh
- K.H. Zainuddin (Pengasuh Pesantren Mojosari, Nganjuk)
- KH. Khozin (putera menantu, penerus tali estafet setelah KH. Ahmad Sholeh)
- Syaikhona KH.M. Kholil Bangkalan
- Hadratussyekh KH.M. Hasyim Asy’ari
- KH. Syamsul Arifin Situbondo (ayah K.H. As’ad Syamsul Arifin)
- KH. Djazuli Utsman (pendiri Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri)
- K.H. Ahmad Sholeh (putera kedua K.H. Muhammad Nur)
- KH. Hasyim Padangan, Kabupaten Bojonegoro
- KH. Umar Dahlan, Sarang, Kabupaten Rembang
- K.H. Abdul Wahab Chasbullah Tambakberas, Kabupaten Jombang
- KH. Siddiq Jember (ayah K.H. Ahmad Siddiq dan K.H. Mahfudz Siddiq, kolega K.H. Abdul Wahid Hasyim)
- K.H. Abdullah Umar Bejaten
- K.H. Ahmad Dahlan, (Pendiri Muhammadiyah)
- KH. Nur Iman berdomisili di Tuban
- KH. Rofi’i ( Pengasuh Pesantre Gondanglegi, Kabupaten Nganjuk)
4. Perjalanan Hidup dan Dakwah KH. Ahmad Sholeh
4.1 Perjalanan Menuntut Ilmu KH. Ahmad Sholeh
KH. Ahmad Sholeh adalah putra kedua dari sembilan bersaudara. Tahun kelahirannya tidak dapat diketahui, tetapi dari segi pendidikannya, beliau sejak kecil, bersama-sama dengan saudaranya, menerima pendidikan Islam dari ayahnya sendiri di Langitan, mengenai cara belajar membaca al-Qur’an, Tajwid, Tauhid, Fiqh dan lain sebagainya. Dan di bimbing langsung oleh Ayahnya KH. Muhammad Nur.
Setelah menginjak remaja K.H. Ahmad Sholeh melanjutkan menimba ilmu kepada K.H. Abdul Qodir (disebut pula Abdul Qohhar) di Pesantren Al-Najiyah Sidoresmo, Surabaya, Selama empat tahun belajar di pesantren tersebut, beliau memperdalam pengetahuan tentang Tauhid, Fiqh, Ilmu Alat dan lain sebagainya. Kemudian dilanjutkan belajar kepada K.H. Hasbullah di Pesantren Sambilangan (Madura) selama Tiga tahun di sana, sebagaimana di Sidoresmo, beliau juga mendalami pengetahuan tentang Tauhid, Fiqh, Ilmu Alat dan Ilmu keagamaan lainnya. Setelah itu KH. Ahmad Sholeh di panggil oleh ayahandanya untuk membantu mengajar para santri di Pondok Pesantren Langitan
Pada hari Senin, 12 Rajab 1287 H. Syekh KH. Ahmad Shaleh menikah dengan Raden Nyai Asriyah, putri KH. Mukhtar (pengasuh Pondok Pesantren Cepoko, Kabupaten Nganjuk). Dari pernikahan tersebut lahir putera dan puteri diantaranya Nyai Shofiyah (dinikahkan dengan K.H. Khozin, penerus estafet K.H. Ahmad Sholeh di Pondok Pesantren Langitan), H. Dahlan Hasbullah, K. Adnan, Nyai Sholihah (dinikahkan dengan K.H. Zainuddin Mojosari, Kabupaten Nganjuk), Nyai Khodiyah (dinikahkan dengan K.H. Rofi’i Gondanglegi, Kabupaten Nganjuk), dan satu puteri lagi yang dinikahkan dengan K.H. Nur Iman (berdomisili di Tuban).
Kemudian ketika ayahnya menduduki jabatan sebagai Naibul Qadli di Kecamatan Widang, Syekh KH. Ahmad Shaleh menerima tugas sebagai pengganti, pewaris dan sekaligus pemimpin Pondok Pesantren Langitan.
Setelah berjalan dua tahun mengasuh pesantren dan bersamaan dengan telah dibukanya terusan Suez, Syekh. KH. Ahmad Shaleh pada hari Selasa, 19 Sya’ban 1289 H.,pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Ini berarti bahwa beliau sebagaimana ayahnya juga berkenan mengikuti pengajian halaqah di Masjidil Haram dan sempat berguru kepada para ulama terkenal seperti Syekh Nawawi Banten adalah seorang ulama putra Indonesia yang kealimannya diakui di dunia Islam. Beliau sangat produktif, ada sekitar 38 buah di antara karya beliau menjadi kitab yang penting pada sebagian besar pesantren. Sedangkan Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, sebagaimana Syekh Nawawi, selain produktif, juga diakui kealimannya. Beliau adalah seorang imam dan Mufti Mahzab Syafi’i di Mekkah al-Mukaromah.
Selain itu juga beliau juga belajar kepada Ulama Mekkah lainnya seperti Syekh Muhammad Al-Muqri, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al-Makki, Syekh Ahmad Nahrowi, Sayyid Muhammad Saleh bin Sayyid Abdur Rahman Az-Zawawi, Syekh Zahid, Syekh Umar Asy-Syami, Syekh Yusuf Al-Mishri, dan Syekh Jamal, Mufti Mazhab Hanafi. Di Mekkah, K.H. Ahmad Sholeh juga hidup sezaman dengan Syekh Muhammad Zain bin Mustafa Al-Fattani (Thailand) dan Syekh Amrullah atau Haji Rasul (ayah Prof. Hamka) Minangkabau.
4.2 Mengembangkan Sistem Pendidikan di Pondok Pesantren Langitan
Sekembalinya dari Mekkah, dengan bekal pengetahuan dan pengalaman yang beliau peroleh tersebut, KH. Ahmad Sholeh membina Pondok Pesantren Langitan dengan lebih tekun lagi. Sekurang-kurangnya dengan ilmu beliau yang dalam, budi pekertinya yang luhur, kewibawaan dan kesederhanaannya, beliau telah dapat membawa Pondok Pesantren Langitan pada tingkat kemajuan dan perkembangan yang sangat tinggi. Santrinya setiap tahun meningkat jumlahnya. Selain dari lingkungan dekat, santrinya juga berdatangan dari daerah yang jauh seperti Tuban, Bojonegoro, Babat, Lamongan, Gresik, Banyuwangi, Sarang, Lasem, Demak, Cirebon dan lain sebagainya, yang kurang lebih seluruhnya 300 orang santri.
Menyadari semakin besarnya minat para santri yang mengaji di Pondok Pesantren Langitan ini, maka perlu diadakan penambahan sarana pondok dan bangunan lainnya. Untuk itu, dibangunlah oleh KH. Ahmad Sholeh beberapa bangunan seperti sumur dan kolam tempat mandi, perluasan bangunan langgar dan empat bangunan asrama.
Dalam bidang pengembangan ilmu, KH. Ahmad Sholeh mengadakan penyempurnaan dan perluasan materi pelajaran secara lebih kualitatif. Jika sebelumnya materi pelajaran masih terbatas pada cara belajar membaca al-Qur’an dan pengetahuan agama Islam tingkat dasar, maka pada masa ini, diajarkan kitab-kitab besar karangan ulama terkenal dan kenamaan, misalnya Fiqh, Tauhid, Tasawwuf, Ilmu Alat dengan segala cabangnya, Mantiq, Ilmu Tafsir dan lain sebagainya.
Selain itu, juga diadakan penambahan buku-buku pustaka baik dengan cara menulis sendiri maupun dengan membelinya dari padagang Arab atau bahkan dengan membawanya sendiri ketika kembali dari menunaikan ibadah haji di Mekkah.
Dalam bidang pengembangan organisasi, walaupun masih sederhana, beliau menunjuk beberapa orang santri yang cakap untuk menjadi pimpinan pondok dan dikenal dengan sebutan Lurah Pondok. Muhammad Anwar, H. Hasyim, H. Harun dan Kyai Hasyim adalah nama sebagian santri yang pernah dipilih untuk menjadi Lurah Pondok tersebut. Tugasnya, di samping mengatur kehidupan para santri di lingkungan pesantren, mereka kadangkala juga diberi tugas sebagai badal atau pengganti Kyai dalam hal-hal tertentu.
Dalam bidang pelestarian dan pemeliharaan terhadap kelangsungan hidup Pesantren Langitan, Syekh KH. Ahmad Shaleh, selain mengirimkan putra- putranya untuk mengikuti pengajian ke berbagai pesantren, juga telah menikahkan putri-putrinya dengan beberapa orang santrinya yang pintar dan berbakat. Nyai Sofiyah dinikahkan dengan KH. Khozin dan kemudian menggantikannya mengasuh Pondok Pesantren Langitan. Nyai Sholihah dinikahkan dengan KH. Zainuddin dan selanjutnya mendirikan pesantren Mojosari, sebuah pondok yang sangat terkenal di Nganjuk akhir abad ke-19. Nyai Khadijah dinikahkan dengan KH. Rafi’i dan selanjutnya mendirikan pesantren Gondanglegi di Kediri.
Pondok Pesantren Langitan, Tuban, memiliki nilai sejarah yang kuat bagi tokoh-tokoh besar di awal Indonesia merdeka. Nama-nama seperti KH. Zainuddin (pengasuh Pesantren Mojosari, Nganjuk), KH.M. Kholil Bangkalan, Hadratussyekh KH.M. Hasyim Asy’ari, KH. Syamsul Arifin Situbondo (ayah KH. As’ad Syamsul Arifin), KH. Djazuli Utsman (pendiri Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri), KH. Hasyim Padangan Kabupaten Bojonegoro, KH. Umar Dahlan, Sarang, Kabupaten Rembang, KH. Abdul Wahab Chasbullah Tambakberas, Kabupaten Jomban, KH. Siddiq Jember (ayah K.H. Ahmad Siddiq dan K.H. Mahfudz Siddiq, kolega K.H. Abdul Wahid Hasyim), KH. Abdullah Umar Bejaten, dan KH. Khozin (putera menantu, penerus tali estafet setelah K.H. Ahmad Sholeh) adalah di antara yang pernah mengenyam pendidikan dan mendapat gemblengan di Pondok Pesantren Langitan tersebut. Bahkan, berdasarkan tuturan K.H. Abdullah Faqih, pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, juga menjadi santri di Langitan.
Memang, untuk melacak jejak genealogi keilmuan secara epistemik tersebut memerlukan penelitian yang memakan waktu panjang dan biaya yang tidak sedikit. Namun, apabila dirintis akan sangat bermanfaat bagi pemahaman yang utuh terhadap peta dunia kepesantrenan sebagai lembaga pendidikan, kawah Candradimuka, bahkan wilayah yang memiliki kekuasaan otonom. Sebagai kekuasaan otonom, pesantren yang didirikan oleh Sunan Giri, Sunan Ampel, atau bahkan Gebang Tinatar yang didirikan oleh Syekh Hasan Besari pada zaman dahulu dapat dijadikan contoh.
Dengan kata lain, ada pergeseran makna perdefinitif ketika pesantren sudah menjadi bidikan Undang-undang Kolonial (Ordonansi) sebagai sebuah lembaga pendidikan an sich dan pesantren yang masih menjaga wilayah kekuasaan otonomnya sebagai sebuah perdikan (perdikan diambil dari kata merdikan yang berarti merdeka di luar kontrol kekuasan negara atau kerajaan). Dan, pembelaan terhadap independensi pendidikan ini yang menjadi kekuatan moral (moral force) Hadratussyekh di dalam menggalang kebangkitan kaum santri untuk menangkal bentuk-bentuk intervensi kolonialisme.
Sebab, wilayah yang tak pernah mempan oleh pengaruh kolonialisme-imperialisme hanyalah pesantren, sementara kekuasaan pemerintahan kerajaan sudah banyak mengalami dekadensi dan pengaruh akibat politik pecah belah (devide et impera) yang dilakukan oleh pihak asing, terutama Belanda.
Pada masa asuhan Mbah Sholeh, nama panggilannya, Pondok Pesantren Langitan mengalami kemajuan cukup pesat. Santri-santri berdatangan dari berbagai penjuru pulau Jawa dan luar Jawa. Nama Mbah Sholeh ada tiga di antara nama Sholeh yang masyhur kala itu, yaitu KH. Sholeh Darat Semarang, KH. Ahmad Sholeh Langitan, dan KH. Sholeh Gresik. Demikian, menurut tuturan KH. Dimyati Rois Kaliwungu. Hanya nama KH. Sholeh Gresik yang belum mendapat porsi besar untuk dielaborasi sejarahnya, sementara dua nama Sholeh yang lain dikenal karena karya-karya tulis dan pondok pesantrennya.
Karena kemasyhuran nama Mbah Sholeh, Pondok Pesantren Langitan pun menjadi tempat “jujugan” santri-santri yang ingin “ngangsu kaweruh”. Selama 32 tahun (1870-1902), Mbah Sholeh mengabdikan ilmu, mengasuh para santri, dan istiqamah beribadah.
K.H. Djazuli Utsman belajar pertama di Gondanglegi kepada K.H. Rofi’i, kemudian melanjutkan studinya kepada K.H. Ahmad Sholeh di Langitan.
Sungai Brantas memiliki peranan penting dalam perjalanan sejarah, terutama proses Islamisasi penduduk di Jawa Timur. Relasi Tuban dan Nganjuk tak dapat mengabaikan peranan dan relasi ini. Karena, melalui jalur sungai (maritim) sejarah bergeliat tidak hanya di tepian laut saja, melainkan juga di wilayah pedalaman. Tambakberas pada masa lalu adalah sebuah pelabuhan sungai yang besar, karena lalu lintas pelayaran di sungai Brantas yang ramai.
Pada masa itu, tiga pesantren yang cukup terpandang di Jawa Timur adalah hubungan kekeluargaan antara Pondok Pesantren Langitan (Widang, Kabupaten Tuban), Pondok Pesantren Mojosari (Kabupaten Nganjuk), dan Pondok Pesantren Gondanglegi (Kabupaten Nganjuk). Khusus di pondok pesantren di Gondanglegi ini, KH. Ahmad Sholeh menugaskan putera menantunya, KH. Rofi’i, namun perkembangannya tidak bagus dan hanya tinggal berupa bangunan masjid saja. Sementara Pondok Pesantren di Mojosari, Kabupaten Nganjuk, diasuh oleh KH. Zainuddin dan masih ramai hingga sekarang yang masih menganut sistem penggemblengan mental spiritual bagi para santri pasca belajar di Pesantren. Tidak sedikit, santri-santri yang sudah tunai belajar di pesantren-pesantren Ploso (Kediri), Lirboyo (Kediri), Langitan (Tuban), dan lain-lain yang melakukan “uji nyali” di pesantren ini.
Berangkat dari uraian di atas, terutama pada besarnya usaha KH. Ahmad Sholeh dalam mengembangkan Pondok Pesantren Langitan dilakukan dengan kesungguhan hati, dengan penuh kesabaran, ulet, dan Istiqomah. Maka Pondok Pesantren Langitan menjadi sangat populer, pengaruhnya sangat luas, yang ditandai oleh adanya sejumlah ulama besar pengasuh pesantren terkenal di Pulau Jawa yang pernah menjadi santrinya, telah menjadi bukti dan petunjuk akan kebenaran ucapan masyarakat, bahwa keharuman nama KH. Ahmad Sholeh setingkat atau melebihi tingkat popularitas KH. Muhammad Shaleh Darat, Semarang. Yang terakhir ini lebih dikenal oleh masyarakat karena kitab-kitab yang dikarang dan ditinggalkannya.
Sedangkan KH. Ahmad Sholeh agak tertutup sehingga karya-karya beliau kurang diketahui umum, terpendam tak terungkapkan. Semua dari data kitab-kitab yang menjadi buku pelajaran seperti tertulis dalam catatannya, sebagaimana terlampir, maka dapat diperkirakan bahwa KH. Ahmad Sholeh telah mengarahkan Pondok Pesantren Langitan pada spesialisasi pendalaman masalah Fiqh. Ini berarti lebih tepatnya apabila pesantren-pesantren di pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pesantren Fiqh. KH. Ahmad Sholeh mengasuh Pondok Pesantren Langitan, selama kurang lebih 32 tahun. Beliau wafat pada tahun 1320 H./1902 M. dan dimakamkan di kompleks pesarean keluarga di Desa Widang, kurang lebih 400 meter sebelah utara kompleks Pondok Pesantren Langitan. Beliau digantikan oleh menantunya bernama KH. Khozin.
5. Keteladanan KH. Ahmad Sholeh
KH. Ahmad Sholeh membina Pondok Pesantren Langitan dengan lebih tekun lagi. Sekurang-kurangnya dengan ilmu beliau yang dalam, budi pekertinya yang luhur, kewibawaan dan kesederhanaannya, beliau telah dapat membawa Pondok Pesantren Langitan pada tingkat kemajuan dan perkembangan yang sangat tinggi. Santrinya setiap tahun meningkat jumlahnya. Selain dari lingkungan dekat, santrinya juga berdatangan dari daerah yang jauh seperti Tuban, Bojonegoro, Babat, Lamongan, Gresik, Banyuwangi, Sarang, Lasem, Demak, Cirebon dan lain sebagainya, yang kurang lebih seluruhnya 300 orang santri.
Karena kemasyhuran nama Mbah Sholeh, Pondok Pesantren Langitan pun menjadi tempat “jujugan” santri-santri yang ingin “ngangsu kaweruh”. Selama 32 tahun (1870-1902), Mbah Sholeh mengabdikan ilmu, mengasuh para santri, dan istiqamah beribadah.
Pondok Pesantren Langitan menjadi sangat populer, pengaruhnya sangat luas, yang ditandai oleh adanya sejumlah ulama besar pengasuh pesantren terkenal di Pulau Jawa yang pernah menjadi santrinya, telah menjadi bukti dan petunjuk akan kebenaran ucapan masyarakat, bahwa keharuman nama KH. Ahmad Sholeh setingkat atau melebihi tingkat popularitas KH. Muhammad Shaleh Darat, Semarang. Yang terakhir ini lebih dikenal oleh masyarakat karena kitab-kitab yang dikarang dan ditinggalkannya. Sedangkan KH. Ahmad Sholeh agak tertutup sehingga karya-karya beliau kurang diketahui umum, terpendam tak terungkapkan. Semua dari data kitab-kitab yang menjadi buku pelajaran seperti tertulis dalam catatannya, sebagaimana terlampir, maka dapat diperkirakan bahwa KH. Ahmad Sholeh telah mengarahkan Pondok Pesantren Langitan pada spesialisasi pendalaman masalah Fiqh.
6. Referensi
- langitan.net
- Siddiq, KH. Ahmad, Khittah Nahdliyah, Surabaya: Balai Buku, 1979.
- Abbas, KH. Siradjudin, Ulama Syafi’i Dan Kitab-Kitabnya Dari Abad Ke Abad, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1975.
- Buku Daftar Pondok Pesantren Di Jawa Timur 1980, Dinas Pendidikan Pondok Pesantren Departemen Agama Wilayah Jawa Timur
- Kabupaten Daerah Tingkat II Tuban, Tuban Hari Ini Dan Hari Esok, Tuban: Pemda Kabupaten Tuban, 1980.
Semoga Beliau mendapatkan Tempat yang Mulia Disisi NYA. Aamiin.
Lahul Al Fatihah
Lokasi Terkait Beliau
Belum ada lokasi untuk sekarang
Memuat Komentar ...