Biografi KH. Ahmad Sholeh (Pengasuh Pondok Pesantren Langitan Ke-2)

 
Biografi KH. Ahmad Sholeh (Pengasuh Pondok Pesantren Langitan Ke-2)

Daftar Isi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga KH. Ahmad Sholeh

1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga KH. Ahmad Sholeh
1.3  Wafat

2.  Sanad Ilmu dan Pendidikan KH. Ahmad Sholeh

2.1  Guru-guru KH. Ahmad Sholeh

3.  Penerus KH. Ahmad Sholeh

3.1  Anak-anak KH. Ahmad Sholeh
3.2  Murid KH. Ahmad Sholeh

4.  Perjalanan Hidup dan Dakwah KH. Ahmad Sholeh

4.1  Perjalanan Menuntut Ilmu KH. Ahmad Sholeh
4.2  Mengembangkan Sistem Pendidikan di Pondok Pesantren Langitan

5.  Keteladanan KH. Ahmad Sholeh

6.  Referensi

 

1. Riwayat Hidup dan Keluarga KH. Ahmad Sholeh

1.1 Lahir

KH. Ahmad Sholeh adalah putra kedua dari KH. Muhammad Nur pendiri Pondok Pesantren Langitan. Beliau lahir di Tuban sekitar tahun 1820 an.

1.2 Riwayat Keluarga KH. Ahmad Sholeh

Mbah Sholeh menikah 1287 Hijriyah dengan Raden Nyai Asriyah, puteri KH. Mukhtar (pengasuh Pondok Pesantren Cepoko, Kabupaten Nganjuk). Dari pernikahan tersebut lahir putera dan puteri diantaranya:

  1. Nyai Shofiyah (dinikahkan dengan KH. Khozin, penerus estafet K.H. Ahmad Sholeh di Pondok Pesantren Langitan)
  2. KH. Dahlan Hasbullah
  3. KH. Adnan
  4. Nyai Sholihah (dinikahkan dengan KH. Zainuddin Mojosari, Kabupaten Nganjuk)
  5. Nyai Khodiyah (dinikahkan dengan KH. Rofi’i Gondanglegi, Kabupaten Nganjuk)
  6. Satu puteri lagi yang dinikahkan dengan KH. Nur Iman (berdomisili di Tuban).

1.3 Wafat

KH.  Ahmad  Sholeh  mengasuh  Pondok Pesantren Langitan, selama kurang lebih 32 tahun. Beliau wafat pada tahun 1320 H./1902 M. dan dimakamkan di  kompleks  pesarean  keluarga  di  Desa  Widang, kurang  lebih  400  meter  sebelah  utara  kompleks Pondok   Pesantren   Langitan.

2. Sanad dan Pendidikan KH. Ahmad Sholeh

KH. Ahmad Sholeh adalah putra kedua dari sembilan bersaudara. Tahun kelahirannya tidak dapat  diketahui,  tetapi  dari  segi  pendidikannya,  beliau sejak  kecil,  bersama-sama  dengan  saudaranya, menerima pendidikan Islam dari ayahnya sendiri di Langitan, mengenai cara belajar membaca al-Qur’an, Tajwid, Tauhid, Fiqh dan lain sebagainya. Dan di bimbing langsung oleh Ayahnya KH. Muhammad Nur.

2.1 Guru-guru KH. Ahmad Sholeh

  1. KH. Muhammad Nur (Ayahanda KH. Ahmad Sholeh)
  2. K.H. Abdul Qodir atau Abdul Qohhar (Pesantren Al-Najiyah Sidoresmo, Surabaya)
  3. K.H. Hasbullah (Pesantren Sambilangan, Madura)
  4. Syekh Nawawi Banten
  5. Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan (Imam dan Mufti Mahzab Syafi’i di Mekkah al-Mukaromah)
  6. Syekh Muhammad Al-Muqri
  7. Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al-Makki
  8. Syekh Ahmad Nahrowi
  9. Sayyid Muhammad Saleh bin Sayyid Abdur Rahman Az-Zawawi
  10. Syekh Zahid, Syekh Umar Asy-Syami
  11. Syekh Yusuf Al-Mishri
  12. Syekh Jamal (Mufti Mazhab Hanafi)

3. Penerus KH. Ahmad Sholeh

3.1 Anak-anak KH. Ahmad Sholeh

  1. Nyai Shofiyah (Istri KH. Khozin, penerus estafet K.H. Ahmad Sholeh di Pondok Pesantren Langitan)
  2. KH. Dahlan Hasbullah
  3. KH. Adnan
  4. Nyai Sholihah (Istri KH. Zainuddin Mojosari, Kabupaten Nganjuk)
  5. Nyai Khodiyah (Istri KH. Rofi’i Gondanglegi, Kabupaten Nganjuk)
  6. Satu puteri lagi (Istri KH. Nur Iman berdomisili di Tuban)

3.2 Murid-murid KH. Ahmad Sholeh

  1. K.H. Zainuddin (Pengasuh Pesantren Mojosari, Nganjuk)
  2. KH. Khozin (putera menantu, penerus tali estafet setelah KH. Ahmad Sholeh)
  3. Syaikhona KH.M. Kholil Bangkalan
  4. Hadratussyekh KH.M. Hasyim Asy’ari
  5. KH. Syamsul Arifin Situbondo (ayah K.H. As’ad Syamsul Arifin)
  6. KH. Djazuli Utsman (pendiri Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri)
  7. K.H. Ahmad Sholeh (putera kedua K.H. Muhammad Nur)
  8. KH. Hasyim Padangan, Kabupaten Bojonegoro
  9. KH. Umar Dahlan, Sarang, Kabupaten Rembang
  10. K.H. Abdul Wahab Chasbullah Tambakberas, Kabupaten Jombang
  11. KH. Siddiq Jember (ayah K.H. Ahmad Siddiq dan K.H. Mahfudz Siddiq, kolega K.H. Abdul Wahid Hasyim)
  12. K.H. Abdullah Umar Bejaten
  13. K.H. Ahmad Dahlan, (Pendiri Muhammadiyah)
  14. KH. Nur Iman berdomisili di Tuban
  15. KH. Rofi’i ( Pengasuh Pesantre Gondanglegi, Kabupaten Nganjuk)

4. Perjalanan Hidup dan Dakwah KH. Ahmad Sholeh

4.1 Perjalanan Menuntut Ilmu KH. Ahmad Sholeh

KH. Ahmad Sholeh adalah putra kedua dari sembilan bersaudara. Tahun kelahirannya tidak dapat  diketahui,  tetapi  dari  segi  pendidikannya,  beliau sejak  kecil,  bersama-sama  dengan  saudaranya, menerima pendidikan Islam dari ayahnya sendiri di Langitan, mengenai cara belajar membaca al-Qur’an, Tajwid, Tauhid, Fiqh dan lain sebagainya. Dan di bimbing langsung oleh Ayahnya KH. Muhammad Nur.

Setelah menginjak remaja K.H. Ahmad Sholeh melanjutkan menimba ilmu kepada K.H. Abdul Qodir (disebut pula Abdul Qohhar) di Pesantren Al-Najiyah Sidoresmo, Surabaya, Selama empat tahun belajar di pesantren tersebut,  beliau  memperdalam  pengetahuan  tentang Tauhid, Fiqh, Ilmu Alat dan lain sebagainya. Kemudian dilanjutkan belajar kepada K.H. Hasbullah di Pesantren Sambilangan (Madura) selama Tiga tahun  di  sana,  sebagaimana  di  Sidoresmo,  beliau juga mendalami pengetahuan tentang  Tauhid, Fiqh, Ilmu Alat  dan  Ilmu keagamaan lainnya. Setelah itu KH. Ahmad Sholeh di panggil oleh ayahandanya untuk membantu mengajar para santri di Pondok Pesantren Langitan

Pada hari Senin, 12 Rajab 1287 H. Syekh KH. Ahmad Shaleh menikah dengan Raden Nyai Asriyah, putri KH. Mukhtar (pengasuh Pondok Pesantren Cepoko, Kabupaten Nganjuk). Dari pernikahan tersebut lahir putera dan puteri diantaranya Nyai Shofiyah (dinikahkan dengan K.H. Khozin, penerus estafet K.H. Ahmad Sholeh di Pondok Pesantren Langitan), H. Dahlan Hasbullah, K. Adnan, Nyai Sholihah (dinikahkan dengan K.H. Zainuddin Mojosari, Kabupaten Nganjuk), Nyai Khodiyah (dinikahkan dengan K.H. Rofi’i Gondanglegi, Kabupaten Nganjuk), dan satu puteri lagi yang dinikahkan dengan K.H. Nur Iman (berdomisili di Tuban).

Kemudian  ketika  ayahnya  menduduki jabatan sebagai Naibul Qadli di Kecamatan Widang, Syekh KH. Ahmad Shaleh menerima tugas sebagai pengganti, pewaris dan sekaligus pemimpin Pondok Pesantren Langitan.

Setelah  berjalan  dua  tahun  mengasuh pesantren  dan  bersamaan  dengan  telah  dibukanya terusan Suez, Syekh. KH. Ahmad Shaleh pada hari Selasa, 19 Sya’ban  1289 H.,pergi ke Mekkah untuk menunaikan  ibadah  haji.  Ini  berarti  bahwa  beliau sebagaimana  ayahnya  juga  berkenan  mengikuti pengajian  halaqah di  Masjidil  Haram  dan  sempat berguru kepada para ulama terkenal  seperti Syekh Nawawi Banten adalah seorang ulama putra Indonesia yang kealimannya diakui di dunia Islam. Beliau sangat produktif, ada sekitar 38 buah di antara  karya beliau  menjadi  kitab  yang  penting  pada sebagian  besar  pesantren.  Sedangkan  Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan,  sebagaimana  Syekh  Nawawi,  selain  produktif, juga diakui  kealimannya. Beliau adalah seorang imam dan Mufti Mahzab Syafi’i di Mekkah al-Mukaromah.

Selain itu juga beliau juga belajar kepada Ulama Mekkah lainnya seperti Syekh Muhammad Al-Muqri, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al-Makki, Syekh Ahmad Nahrowi, Sayyid Muhammad Saleh bin Sayyid Abdur Rahman Az-Zawawi, Syekh Zahid, Syekh Umar Asy-Syami, Syekh Yusuf Al-Mishri, dan Syekh Jamal, Mufti Mazhab Hanafi. Di Mekkah, K.H. Ahmad Sholeh juga hidup sezaman dengan Syekh Muhammad Zain bin Mustafa Al-Fattani (Thailand) dan Syekh Amrullah atau Haji Rasul (ayah Prof. Hamka) Minangkabau.

4.2 Mengembangkan Sistem Pendidikan di Pondok Pesantren Langitan

Sekembalinya  dari  Mekkah,  dengan  bekal pengetahuan  dan  pengalaman  yang  beliau peroleh tersebut, KH. Ahmad Sholeh membina Pondok Pesantren Langitan dengan lebih tekun lagi. Sekurang-kurangnya dengan ilmu beliau  yang  dalam,  budi  pekertinya  yang  luhur, kewibawaan  dan  kesederhanaannya,  beliau  telah  dapat membawa Pondok Pesantren Langitan pada tingkat kemajuan  dan  perkembangan  yang  sangat  tinggi. Santrinya setiap tahun meningkat jumlahnya. Selain dari  lingkungan  dekat,  santrinya  juga  berdatangan dari  daerah  yang  jauh  seperti  Tuban,  Bojonegoro, Babat,  Lamongan,  Gresik,  Banyuwangi,  Sarang, Lasem, Demak, Cirebon dan lain sebagainya, yang kurang lebih seluruhnya 300 orang santri.

Menyadari  semakin  besarnya  minat  para santri  yang  mengaji  di  Pondok  Pesantren  Langitan ini,  maka  perlu  diadakan  penambahan  sarana pondok dan bangunan lainnya. Untuk itu, dibangunlah  oleh  KH.  Ahmad  Sholeh  beberapa bangunan seperti sumur dan kolam tempat mandi, perluasan  bangunan  langgar  dan  empat  bangunan asrama.

Dalam bidang  pengembangan  ilmu,  KH.  Ahmad  Sholeh  mengadakan  penyempurnaan dan perluasan materi pelajaran secara lebih kualitatif. Jika sebelumnya materi pelajaran masih terbatas pada cara  belajar  membaca  al-Qur’an  dan  pengetahuan agama  Islam  tingkat  dasar,  maka  pada  masa  ini, diajarkan kitab-kitab besar karangan ulama terkenal dan kenamaan, misalnya Fiqh, Tauhid, Tasawwuf, Ilmu Alat  dengan  segala  cabangnya,  Mantiq,  Ilmu  Tafsir dan  lain  sebagainya.

Selain  itu,  juga  diadakan penambahan  buku-buku  pustaka  baik  dengan  cara menulis  sendiri  maupun  dengan  membelinya  dari padagang Arab  atau  bahkan  dengan  membawanya sendiri ketika kembali dari menunaikan ibadah haji di Mekkah.

Dalam  bidang  pengembangan  organisasi, walaupun  masih  sederhana,  beliau  menunjuk  beberapa orang  santri  yang  cakap  untuk  menjadi  pimpinan pondok dan dikenal dengan sebutan Lurah Pondok. Muhammad Anwar, H. Hasyim, H. Harun dan Kyai Hasyim  adalah  nama  sebagian  santri  yang  pernah dipilih  untuk  menjadi  Lurah  Pondok  tersebut. Tugasnya,  di  samping  mengatur  kehidupan  para santri di lingkungan pesantren, mereka kadangkala juga diberi tugas sebagai badal atau pengganti Kyai dalam hal-hal tertentu.

Dalam  bidang  pelestarian  dan  pemeliharaan terhadap  kelangsungan  hidup  Pesantren  Langitan, Syekh KH. Ahmad Shaleh, selain mengirimkan putra- putranya  untuk  mengikuti  pengajian  ke  berbagai pesantren,  juga  telah  menikahkan  putri-putrinya dengan  beberapa  orang  santrinya  yang  pintar  dan berbakat. Nyai Sofiyah  dinikahkan  dengan KH. Khozin dan kemudian menggantikannya mengasuh  Pondok  Pesantren  Langitan.  Nyai  Sholihah dinikahkan dengan KH. Zainuddin dan selanjutnya mendirikan pesantren Mojosari, sebuah pondok yang sangat terkenal di Nganjuk akhir abad ke-19. Nyai Khadijah dinikahkan dengan KH. Rafi’i dan selanjutnya mendirikan pesantren Gondanglegi di Kediri.

Pondok Pesantren Langitan, Tuban, memiliki nilai sejarah yang kuat bagi tokoh-tokoh besar di awal Indonesia merdeka. Nama-nama seperti KH. Zainuddin (pengasuh Pesantren Mojosari, Nganjuk), KH.M. Kholil Bangkalan, Hadratussyekh KH.M. Hasyim Asy’ari, KH. Syamsul Arifin Situbondo (ayah KH. As’ad Syamsul Arifin), KH. Djazuli Utsman (pendiri Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri), KH. Hasyim Padangan Kabupaten Bojonegoro, KH. Umar Dahlan, Sarang, Kabupaten Rembang, KH. Abdul Wahab Chasbullah Tambakberas, Kabupaten Jomban, KH. Siddiq Jember (ayah K.H. Ahmad Siddiq dan K.H. Mahfudz Siddiq, kolega K.H. Abdul Wahid Hasyim), KH. Abdullah Umar Bejaten, dan KH. Khozin (putera menantu, penerus tali estafet setelah K.H. Ahmad Sholeh) adalah di antara yang pernah mengenyam pendidikan dan mendapat gemblengan di Pondok Pesantren Langitan tersebut. Bahkan, berdasarkan tuturan K.H. Abdullah Faqih, pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, juga menjadi santri di Langitan.

Memang, untuk melacak jejak genealogi keilmuan secara epistemik tersebut memerlukan penelitian yang memakan waktu panjang dan biaya yang tidak sedikit. Namun, apabila dirintis akan sangat bermanfaat bagi pemahaman yang utuh terhadap peta dunia kepesantrenan sebagai lembaga pendidikan, kawah Candradimuka, bahkan wilayah yang memiliki kekuasaan otonom. Sebagai kekuasaan otonom, pesantren yang didirikan oleh Sunan Giri, Sunan Ampel, atau bahkan Gebang Tinatar yang didirikan oleh Syekh Hasan Besari pada zaman dahulu dapat dijadikan contoh.

Dengan kata lain, ada pergeseran makna perdefinitif ketika pesantren sudah menjadi bidikan Undang-undang Kolonial (Ordonansi) sebagai sebuah lembaga pendidikan an sich dan pesantren yang masih menjaga wilayah kekuasaan otonomnya sebagai sebuah perdikan (perdikan diambil dari kata merdikan yang berarti merdeka di luar kontrol kekuasan negara atau kerajaan). Dan, pembelaan terhadap independensi pendidikan ini yang menjadi kekuatan moral (moral force) Hadratussyekh di dalam menggalang kebangkitan kaum santri untuk menangkal bentuk-bentuk intervensi kolonialisme.

Sebab, wilayah yang tak pernah mempan oleh pengaruh kolonialisme-imperialisme hanyalah pesantren, sementara kekuasaan pemerintahan kerajaan sudah banyak mengalami dekadensi dan pengaruh akibat politik pecah belah (devide et impera) yang dilakukan oleh pihak asing, terutama Belanda.

Pada masa asuhan Mbah Sholeh, nama panggilannya, Pondok Pesantren Langitan mengalami kemajuan cukup pesat. Santri-santri berdatangan dari berbagai penjuru pulau Jawa dan luar Jawa. Nama Mbah Sholeh ada tiga di antara nama Sholeh yang masyhur kala itu, yaitu KH. Sholeh Darat Semarang, KH. Ahmad Sholeh Langitan, dan KH. Sholeh Gresik. Demikian, menurut tuturan KH. Dimyati Rois Kaliwungu. Hanya nama KH. Sholeh Gresik yang belum mendapat porsi besar untuk dielaborasi sejarahnya, sementara dua nama Sholeh yang lain dikenal karena karya-karya tulis dan pondok pesantrennya.

Karena kemasyhuran nama Mbah Sholeh, Pondok Pesantren Langitan pun menjadi tempat “jujugan” santri-santri yang ingin “ngangsu kaweruh”. Selama 32 tahun (1870-1902), Mbah Sholeh mengabdikan ilmu, mengasuh para santri, dan istiqamah beribadah.

K.H. Djazuli Utsman belajar pertama di Gondanglegi kepada K.H. Rofi’i, kemudian melanjutkan studinya kepada K.H. Ahmad Sholeh di Langitan.

Sungai Brantas memiliki peranan penting dalam perjalanan sejarah, terutama proses Islamisasi penduduk di Jawa Timur. Relasi Tuban dan Nganjuk tak dapat mengabaikan peranan dan relasi ini. Karena, melalui jalur sungai (maritim) sejarah bergeliat tidak hanya di tepian laut saja, melainkan juga di wilayah pedalaman. Tambakberas pada masa lalu adalah sebuah pelabuhan sungai yang besar, karena lalu lintas pelayaran di sungai Brantas yang ramai.

Pada masa itu, tiga pesantren yang cukup terpandang di Jawa Timur adalah hubungan kekeluargaan antara Pondok Pesantren Langitan (Widang, Kabupaten Tuban), Pondok Pesantren Mojosari (Kabupaten Nganjuk), dan Pondok Pesantren Gondanglegi (Kabupaten Nganjuk). Khusus di pondok pesantren di Gondanglegi ini, KH. Ahmad Sholeh menugaskan putera menantunya, KH. Rofi’i, namun perkembangannya tidak bagus dan hanya tinggal berupa bangunan masjid saja. Sementara Pondok Pesantren di Mojosari, Kabupaten Nganjuk, diasuh oleh KH. Zainuddin dan masih ramai hingga sekarang yang masih menganut sistem penggemblengan mental spiritual bagi para santri pasca belajar di Pesantren. Tidak sedikit, santri-santri yang sudah tunai belajar di pesantren-pesantren Ploso (Kediri), Lirboyo (Kediri), Langitan (Tuban), dan lain-lain yang melakukan “uji nyali” di pesantren ini.

Berangkat dari uraian di atas, terutama pada besarnya  usaha  KH.  Ahmad  Sholeh  dalam mengembangkan Pondok Pesantren Langitan dilakukan dengan kesungguhan  hati, dengan penuh kesabaran, ulet, dan Istiqomah. Maka Pondok Pesantren Langitan menjadi sangat populer, pengaruhnya sangat luas, yang ditandai oleh adanya sejumlah ulama besar pengasuh pesantren terkenal di Pulau Jawa yang pernah menjadi santrinya, telah  menjadi  bukti  dan  petunjuk  akan kebenaran  ucapan  masyarakat,  bahwa  keharuman nama  KH.  Ahmad  Sholeh  setingkat  atau melebihi tingkat popularitas KH. Muhammad Shaleh Darat, Semarang. Yang terakhir ini lebih dikenal oleh masyarakat  karena  kitab-kitab  yang  dikarang  dan ditinggalkannya.

Sedangkan  KH.  Ahmad  Sholeh agak tertutup sehingga  karya-karya beliau kurang  diketahui umum, terpendam tak terungkapkan. Semua  dari  data  kitab-kitab  yang menjadi  buku  pelajaran  seperti  tertulis  dalam catatannya,  sebagaimana  terlampir,  maka  dapat diperkirakan bahwa KH. Ahmad Sholeh telah mengarahkan  Pondok  Pesantren  Langitan  pada spesialisasi  pendalaman  masalah  Fiqh.  Ini  berarti lebih tepatnya apabila pesantren-pesantren  di pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pesantren Fiqh. KH.  Ahmad  Sholeh  mengasuh  Pondok Pesantren Langitan, selama kurang lebih 32 tahun. Beliau wafat pada tahun 1320 H./1902 M. dan dimakamkan di  kompleks  pesarean  keluarga  di  Desa  Widang, kurang  lebih  400  meter  sebelah  utara  kompleks Pondok   Pesantren   Langitan.   Beliau   digantikan   oleh  menantunya bernama KH. Khozin.

5. Keteladanan KH. Ahmad Sholeh

KH. Ahmad Sholeh membina Pondok Pesantren Langitan dengan lebih tekun lagi. Sekurang-kurangnya dengan ilmu beliau  yang  dalam,  budi  pekertinya  yang  luhur, kewibawaan  dan  kesederhanaannya,  beliau  telah  dapat membawa Pondok Pesantren Langitan pada tingkat kemajuan  dan  perkembangan  yang  sangat  tinggi. Santrinya setiap tahun meningkat jumlahnya. Selain dari  lingkungan  dekat,  santrinya  juga  berdatangan dari  daerah  yang  jauh  seperti  Tuban,  Bojonegoro, Babat,  Lamongan,  Gresik,  Banyuwangi,  Sarang, Lasem, Demak, Cirebon dan lain sebagainya, yang kurang lebih seluruhnya 300 orang santri.

Karena kemasyhuran nama Mbah Sholeh, Pondok Pesantren Langitan pun menjadi tempat “jujugan” santri-santri yang ingin “ngangsu kaweruh”. Selama 32 tahun (1870-1902), Mbah Sholeh mengabdikan ilmu, mengasuh para santri, dan istiqamah beribadah.

Pondok Pesantren Langitan menjadi sangat populer, pengaruhnya sangat luas, yang ditandai oleh adanya sejumlah ulama besar pengasuh pesantren terkenal di Pulau Jawa yang pernah menjadi santrinya, telah  menjadi  bukti  dan  petunjuk  akan kebenaran  ucapan  masyarakat,  bahwa  keharuman nama  KH.  Ahmad  Sholeh  setingkat  atau melebihi tingkat popularitas KH. Muhammad Shaleh Darat, Semarang. Yang terakhir ini lebih dikenal oleh masyarakat  karena  kitab-kitab  yang  dikarang  dan ditinggalkannya. Sedangkan  KH.  Ahmad  Sholeh agak tertutup sehingga  karya-karya beliau kurang  diketahui umum, terpendam tak terungkapkan. Semua  dari  data  kitab-kitab  yang menjadi  buku  pelajaran  seperti  tertulis  dalam catatannya,  sebagaimana  terlampir,  maka  dapat diperkirakan bahwa KH. Ahmad Sholeh telah mengarahkan  Pondok  Pesantren  Langitan  pada spesialisasi  pendalaman  masalah  Fiqh.

6. Referensi

  1. langitan.net
  2. Siddiq,  KH.  Ahmad,  Khittah  Nahdliyah,  Surabaya: Balai Buku, 1979. 
  3. Abbas,  KH.  Siradjudin,  Ulama Syafi’i  Dan Kitab-Kitabnya Dari Abad Ke Abad, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1975.
  4. Buku Daftar Pondok Pesantren Di Jawa Timur 1980, Dinas Pendidikan Pondok Pesantren Departemen Agama Wilayah Jawa Timur 
  5. Kabupaten Daerah Tingkat II Tuban, Tuban Hari Ini Dan  Hari  Esok,  Tuban:  Pemda  Kabupaten Tuban, 1980.

Semoga Beliau mendapatkan Tempat yang Mulia Disisi NYA. Aamiin.
Lahul Al Fatihah

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya