Begini Cara Menyikapi Tradisi Sesajen dan Sejenisnya Menurut Gus Baha

Laduni.ID, Jakarta - Dalam banyak kesempatan pengajiannya, Gus Baha sering kali memberikan perspektif yang dalam dan membumi terkait keislaman yang disinggungkan dengan tradisi, seperti soal sesajen. Apa yang disampaikannya bukanlah berupa caci maki atau penghakiman, tetapi beliau menunjukkan keluasan ilmunya dengan pendekatan sejarah, kultural, dan kearifan Islam Nusantara.
Gus Baha mengingatkan bahwa masuknya Islam ke Indonesia tidak diwarnai konflik dan kekerasan. “Saya masih ingat pesan Pak Zaeni (salah satu tokoh di dalam jamaahnya. peny.), berkali-kali beliau bilang ke saya bahwa agama yang masuk ke negara yang tidak konflik itu—di antaranya yang paling spesial itu Indonesia—karena para wali ini mendampingi kultur daerahnya, tapi tidak benturan,” tutur Gus Baha.
Salah satu bentuk kebudayaan lokal yang dihadapi para wali kala itu adalah tradisi sesajen. Di banyak wilayah, termasuk di Jawa, sesajen dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada penunggu sawah atau tempat-tempat tertentu, yang dalam bayangan masyarakat waktu itu adalah makhluk gaib.
Namun Gus Baha menjelaskan dengan nada sindirian, bahwa di era modern, penunggu-penunggu itu tidak lain adalah ayam, kambing, atau binatang liar yang memang memakan sesajen tersebut. “Akhirnya dulu itu aneh. Diistilahkan dimakan penunggunya. Kalimat penunggu itu tidak jelas (siapa yang dimaksudkan. peny.),” kelakar Gus Baha.
Lebih menarik lagi, para wali tidak serta-merta mengkafirkan atau merobohkan tradisi tersebut. Mereka tidak datang sebagai hakim yang memvonis, melainkan sebagai pendidik yang membimbing. “Wali-wali datang tidak mengkafirkan. Tapi terus diubah. Jadi sedekah ke tetangga tadi. Jadi kultur itu tidak dilawan. Tapi cukup diubah dari memberi makan setan berubah menjadi sedekah pada tetangga,” ungkap Gus Baha.
UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN
Support kami dengan berbelanja di sini:
Memuat Komentar ...