Biografi Syekh Hasanuddin bin Abdul Latif, Pendiri PP. Babakan Ciwaringin Cirebon

 
Biografi Syekh Hasanuddin bin Abdul Latif, Pendiri PP. Babakan Ciwaringin Cirebon

Daftar Isi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Nasab
1.4  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Guru-guru

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Sekilas Asal-Usul Desa Babakan
3.2  Mendirikan Pondok Pesantren di Babakan
3.3  Perjuangan Melawan Penjajah

4.     Referensi

 

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
Kyai Hasanuddin Jatira adalah pendiri Pondok Pesantren Babakan,  Caringin, Cirebon, Jawa Barat, lahir sekitar tahun 1665 di Pamijahan Kulon, Plumbon, Jawa Barat. Ayah beliau adalah Kyai Abdul Latif, keturunan ke-9 Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan Kulon (Tasikmalaya).
Selain itu beliau juga dikenal dengan nama :

  1. Kyai Hasan
  2. Kyai Hasanuddin
  3. Kyai Jatira
  4. Kyai Qobul

1.2 Wafat
Kyai Hasanuddin Jatira wafat pada 1785 dalam usia sekitar 120 tahun dan dimakamkan di komplek Maqbaroh Syekh KH. Abdul Latif Kajen, Pamijahan Wetan,   Plumbon, Cirebon.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

Semenjak kecil beliau dibesarkan dan dididik oleh Ayahnya

2.1 Guru

  1. Syekh KH. Abdul Latif
  2. Penerus Kyai Hasanuddin Jatira
  3. KH. Nawawi (Menantu Kyai Hasanuddin Jatira)

3 . Perjalanan Hidup dan Dakwah

Ciwaringin Babakan, suatu pendukuhan kecil terletak dibagian barat daya kabupaten Cirebon + KM dari pusat keramaian kota, merupakan salah satu dari sekian banyak pondok pesantren yang berdiri di bumi nusantara ini. Sebagai pondok pesantren, Babakan hingga kini masih mampu bertahan, berdiri kokoh, bak batu karang ditengah lautan.

Tersirat dalam sejarah, pesantren Babakan Ciwaringin didirikan sekitar tahun 1715 M / 1127 H oleh seorang Kyai berdarah mataram.
Berdirinya pondok pesantren tidak terlepas dari pembawa agama islam melalui perpaduan antara budaya lokal dengan norma islam perjalanan panjang oleh para Kyai merupakan para wali penyebar agama islam sejak tahun 1350 M. Pada periodesasi kerajaan mataram proses islamisasi telah tumbuh dan mengakar di kalangan masyarakat indonesia.

Adalah Kyai Hasanuddin Jatira, yang mula-mula pertama kali menyebarkan agama islam dari mataram didaerah Babakan ciwaringin cirebon pada tahun 1517 M. Dipilihnya desa Babakan bukan tanpa alasan, tetapi karena beliau seorang pejuang agama yang dekat dengan masyarakat miskin. Desa yang kering dengan lahan pertanian yang kurang subur menjadikan diri Kyai Hasanuddin Jatira berpacu mengembangkan pondok beliau sebagai tempat peristirahatan yang jauh dari keramaian terutama dari pengaruh kekuasaan dan penjajah belanda.

Maka dirintislah sebuah pesantren sederhana yang diberi nama Pesantren Babakan. Leluhur Kyai Hasanuddin Jatira yaitu Kyai Nawawi merupakan tonggak bagi berdirinya sejumlah pondok pesantren di wilayah Cirebon paling barat, yang berbatasan dengan Kabupaten Majalengka. Di antaranya Pondok  Pesantren Babakan, Pondok Pesantren Panjalin, Pondok Pesantren Kempek, Pondok Pesantren Arjawinangun, Pesantren Winong, Pesantren Loatang Jaya, Pesantren Duku Mire, Pesantren Gintung, Pesantren Kedongdong, dan Pondok Pesantren Lebak Ciwaringin.

3.1 Sekilas Asal-Usul Desa  Babakan
Ki Gede Lemah Abang dari Indramayu yang terkenal dengan kesaktiannya, sedang memanggul pohon jati yang sangat besar dari daerah Gunung Galunggung untuk membantu pendirian masjid di Cirebon. Di tengah perjalanan ia dihadang seekor macan putih yang langsung menyerangnya untuk merebut pohon jati dari panggulannya. Melihat seekor macan putih yang ingin merebut pohon jati dari panggulannya, Ki Gede Lemah Abang tidak tinggal diam. Dengan sekuat tenaga ia mempertahankan jati yang dipanggulnya itu jangan sampai berpindah tangan.‎

Terjadilah perebutan pohon jati antara Ki Gede Lemahabang dengan seekor macan putih yang sebenarnya adalah jelmaan Ki Kuwu Cerbon. Tujuan Ki Kuwu menghadang perjalanan Ki Gede Lemahabang, agar pohon jati tersebut jangan terlalu cepat sampai ke Cirebon. Jika hal itu terjadi, maka ilmu kewalian harus diajarkan kepada para santri yang belum memenuhi syarat untuk menerima ilmu tersebut.

Perebutan pohon jati itu membuat suasana di tempat itu sangat mengerikan. Kedua makhluk itu saling mengeluarkan ilmu kesaktian, sehingga menimbulkan prahara dan di sekelilingnya banyak pohon yang tumbang. Pepohonan yang tumbang itu seperti terbabak benda tajam. Daerah tempat terjadinya peristiwa itu kemudian dijadikan nama sebuah pedukuhan Babakan.

Waktu terus berlalu, rupanya kesaktian Ki Gede Lemah Abang berada di bawah kesaktian Ki Kuwu Cerbon yang berwujud macan putih. Dia tidak sanggup lagi mempertahankan apa yang di panggulnya. Pohon jati itu hilang dalam panggulannya, bersamaan dengan hilangnya macan putih yang menghalang-halangi perjalanannya.

Kini pedukuhan Babakan telah berubah menjadi Desa Babakan dalam wilayah Kecamatan Ciwaringin. Desa Babakan terletak di ujung sebelah barat, merupakan daerah perbatasan Kabupaten Cirebon dengan Kabupaten Majalengka.

3.2 Mendirikan Pondok Pesantren di Babakan
Menginjak tahun 1705, seorang pengembara yang menyebarkan agama Islam bernama Kyai Hasanuddin Jatira berasal dari Kajen Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon datang di pedukuhan Babakan. Di Pedukuhan Babakan Syekh Hasanudin membangun sebuah mushala kecil sebagai cikal bakal berdirinya Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.

Untuk kehidupan sehari-harinya Syekh Hasanudin bertanam palawija di sekitar tempat itu.
Dalam mensyiarkan agama Islam, Syekh Hasanudin banyak mendapat rintangan, ejekan, cercaan, dan tantangan dari beberapa daerah di sekitarnya seperti dari Desa Budur, Pedukuhan Jati Gentong, Pedukuhan Tangkil yang ada di bawah kekuasaan Ki Gede Brajanata yang tidak mau masuk Islam. Tantangan tersebut bahkan datang dari Pedukuhan Babakan itu sendiri, namun semua rintangan itu tidak menyurutkan tekad beliau menyebarkan agama Islam.

Sepeninggal Ki Gede Brajanata, penyebaran agama Islam yang dilakukan Kyai Hasanuddin Jatira mengalami kemajuan. Telah banyak masyarakat yang mau memeluk agama Islam dan memperdalam ilmu syariat Islam. Walau masih banyak pengikut-pengikut Ki Gede Brajanata yang terus menentangnya tidak menjadi penghalang yang berarti bagi Syekh Hasanudin untuk terus berjuang. Mushala yang kecil itu sudah tidak bisa lagi menampung orang-orang yang ingin belajar ilmu.

Para santri bersepakat untuk membangun lagi mushala yang lebih besar. Pada saat membangun mushala itulah para santri memberi julukan kepada Kyai Hasanudin dengan panggilan Kyai Hasanuddin Jatira , karena kebiasaan gurunya itu beristirahat di depan mushala di bawah dua pohon jati yang besar.

Jati = pohon jati, dan ra = loro (dua).
Nama Kyai Hasanuddin Jatira  menjadi terkenal sampai ke pusat ajaran Islam yang ada di Amparanjati, Gunung Sembung. Begitu pula nama Kyai Hasanuddin Jatira  yang mengajarkan ilmu agama Islam dan ilmu kanuragan terdengar oleh pihak Belanda, yang dianggap akan membahayakan kekuasaanya di Cirebon.

3.3 Perjuangan Melawan Penjajah
Sebagai pejuang agama dan penegak kebenaran, beliau diharapkan oleh masyarakat untuk menyebarkan ilmu pengetahuan beliau, dan menahan ancaman dari penjajah pada saat itu, akhirnya beliau merintis sebuah pesantren sederhana yang beratapkan ilalang dan berdaun kelapa dan dinding kayu dan bambu.
Kesibukan beliau bertambah ketika tantangan pada saat itu bukan saja tantangan dalam mengajar ilmu agama, tetapi juga ancaman pihak penjajah Belanda yang telah menangkap isyarat persatuan dan kesatuan yang sangat kental dalam jiwa para santri dan masyarakat lingkungannya.

Hal ini terbukti ketika belanda merencanakan pembuatan jalan Daendels antara Bandung-Cirebon yang melintasi dikomplek pesantren Babakan maka pemerintah Belanda memerintahkan agar Kyai Hasanuddin Jatira  untuk pindah tempat karena pondok / surau beliau akan dibongkar untuk pembuatan jalan.

Perintah pengusiran dari belanda oleh Kyai Hasanuddin Jatira  tidak dihiraukan sama sekali bahkan disambut dengan menambah beberapa bangunan baru. Setelah pemerintah Belanda mengetahui hal tersebut segera menyiapkan tentaranya untuk menangkap Kyai Hasanuddin Jatira  dan menghancurkan komplek pesantren. Sementara pembuatan jalan terus berjalan dengan cara memasang patok dan tanda-tanda lainnya.

Kedatangan kompeni belanda ke komplek pesantren disambut oleh Kyai Hasanuddin Jatira  dan beberapa santrinya dengan perlawanan yang gigih. Siasat yang dilakukan oleh Kyai Hasanuddin Jatira  dan santrinya dengan cara perang gerilia. Yaitu peperangan yang muncul secara tiba-tiba dan menyergap lawan tak terduga serta menghilang masuk hutan bila terjadi perlawanan dari musuh. Lama kelamaan perlawanan yang dipimpin oleh Kyai Hasanuddin Jatira  kian membesar dan terbuka berkat keikutsertaan rakyat, terutama bagi mereka yang menolak RODI ( Kerja Paksa ) yang diperintahkan kolonial belanda.

Melihat peperangan yang banyak menelan waktu, Kyai Hasanuddin Jatira  dan para pejuang lainnya juga memindahkan patok dan tanda-tanda jalan lainnya diatur sedemikian rupa sehingga pihak belanda tidak mengetahui bahwa patok itu telah dipindah dari tempatnya. Karena ukuran dan posisinya masih tetap seperti semula ( jembatan lama dan belokan didepan pabrik TERA COTTA ).Patok-patok dan tanda jalan yang terbuat dari kayu jati itulah yang menjadi saksi sejarah. Setelah pemindahan patok dan tanda- tanda lainnya itu berhasil dan rencana pembuatan jalan raya itu digagalkan.

Maka Kyai Hasanuddin Jatira  menyusun rencana baru untuk melanjutkan perlawanan terhadap belanda, karena beliau berkeyakinan bahwa selama belanda masih berkuasa, selama itu pula pendidikan dan pengajaran agama islam akan selalu mendapat tekanan dan gangguan. Laksana derasnya hujan yang menyirami tanaman subur Kyai Hasanuddin Jatira  berhasil menyebarkan api semangat " Jihad fi Sabilillah " dengan beberapa pengertian yang disampaikan kepada masyarakat akan pentingnya pendidikan dan pengajaran islam dalam situasi dan kondisi yang damai, tenang, aman dan sentosa selain itu juga memerangi kafir harbi adalah suatu kewajiban bagian setiap muslim.

Bahkan ada ahli sejarah mengatakan bahwa dahsyatnya peperangan tersebut melebihi Perang Diponegoro yang dipimpin oleh pangeran Diponegoro.
Taktik strategi perang diatur dan disusun menjadi dua benteng untuk mempersiapkan serangan senjata secara besar-besaran. Pos pertama dipusatkan di Babakan dan pos kedua dialokasikan disebelah utara pesantren yang kelak dikenal dengan sebutan Kebon Tiang, Akhirnya berkobarlah api peperangan. Dalam peperangan ini Kyai Hasanuddin Jatira  mendapat bantuan dari Tubagus Serit dan Tubagus Rangin, keduanya adalah jawara dari kesultanan Banten yang memimpin pemberontakan melawan Belanda.

Dengan kejelian mata-mata Belanda akhirnya pihak Belanda mengetahui jejak kedua jawara itu, yang telah membantu pasukan Kyai Hasanuddin Jatira . Setelah pasukan Belanda mundur,Belanda dengan segera mendatangkan bala bantuan yang sangat banyak sehingga peperangan berkobar dengan sengit, sementara korban saling berjatuhan diantara kedua belah pihak. Akan tetapi datangnya bala bantuan dari pihak Belanda tidak sedikitpun mengurangi kegigihan dan keberanian pasukan Kyai Hasanuddin Jatira.  

Belanda mendatangkan bantuan lagi dari semarang dan kekuatan menjadi tidak seimbang dan peralatan yang dimiliki oleh tentara belanda serba modern, maka akhirnya pihak Kyai Hasanuddin Jatira  mendapat tekanan yang besar sekali. Akhirnya siasat perang itu diubahnya dengan perang geriliya. Dengan politik Devide et impera nya Belanda melakukan siasat untuk mematahkan semangat para pejuang, bahkan sebaliknya malah menambah keberanian yang tidak pernah kunjung padam. Setelah Belanda mengetahui siasat ini tidak berhasil, maka disiapkannya pasukan yang besar jumlahnya dan peperangan itu terjadi begitu sengitnya dan hampir kedua jawara itu tertangkap namun keduanya memerintahkan para pasukan untuk berjuang sampai tetesan darah terakhir.

Setelah mengetahui kekuatan yang tidak seimbang maka keduanya memerintahkan pasukan untuk mundur, Sedangkan Tubagus Serit dan Tubagus Rangin berada di barisan paling depan. Tapi pukulan yang di berikan Belanda semakin berat. Akhirnya keduannya membuka pakaian untuk menyelamatkan diri kemudian baju perang itu dinasukan kedalam sumur yang disampingnya tumbuh kedondong. Di atas pohon itu dikibarkan bendera merah tanda menantang. Setelah itu keduannya meninggalkan tempat itu dan bergabung dengan Kyai Hasanuddin Jatira .

Belanda mengira Tubagus Serit dan Tubagus Rangin telah mati karena melihat baju perangnya berada dalam sumur. Kemudian Belanda mengumumkan bahwa keduanya telah mati dan peristwa itu belanda menamakan " PERISTIWA KEDONDONG " dan sampai sekarang tempat ini dinamakan desa kedondong. Pengaruh Kyai Hasanuddin Jatira  ini terus meluas sampai kedaerah Sumedang, Karawang, Indramayu, Cirebon, Tegal dan Kuningan.

Pada tahun 1721, Kyai Hasanuddin Jatira  datang lagi ke pedukuhan Babakan untuk meneruskan syiar Islamnya. Kedatangannya itu disambut gembira oleh masyarakat, kemudian tahun 1722 Kyai Hasanuddin Jatira  bersama-sama masyarakat membangun kembali padepokan yang telah hancur itu. Tempatnya dipindahkan ± 400 m ke sebelah selatan dari padepokan yang lama.

Ketenaran dan keharuman nama Kyai Hasanuddin Jatira  yang mengajarkan ilmu agama Islam dan ilmu kanuragan, tercium lagi oleh Belanda. Pada tahun 1751 serdadu Belanda kembali menyerang padepokan Kyai Hasanuddin Jatira . Akan tetapi sebelumnya, rencana Belanda tersebut sudah di ketahui oleh Kyai Hasanuddin Jatira . Sehingga sebelum penjajah itu datang untuk menyerang padepokan, terlebih dahulu Kyai Hasanuddin Jatira  membubarkan para santrinya dan Kyai Hasanuddin Jatira  sendiri mengungsi ke Desa Kajen, menunggu situasi aman.

Setibanya para serdadu Belanda di padepokan Kyai Hasanuddin Jatira  telah kosong tidak ada penghuninya. Untuk kedua kalinya padepokan Kyai Hasanuddin Jatira  dibakar oleh serdadu Belanda. Dalam pengungsiannya, Kyai Hasanuddin Jatira  terserang penyakit pada usia yang telah sepuh. Pada waktu sakit, beliau berpesan kepada keponakannya yang sekaligus menantunya bernama KH. Nawawi untuk datang ke Pedukuhan Babakan meneruskan perjuangan beliau

4. Referensi

  1. https://nucirebon.or.id
  2. Dikumpulkan dari beberapa sumber

 

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya