Penegasan Al-Qur’an bahwa Nabi Ibrahim Bukanlah Seorang Yahudi ataupun Nasrani

 
Penegasan Al-Qur’an bahwa Nabi Ibrahim Bukanlah Seorang Yahudi ataupun Nasrani
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Yahudi, Nasrani dan Islam sering kali disebut sebagai agama samawi. Dikatakan demikian, sebab ketiga agama tersebut dibawa oleh para nabi, yang merupakan utusan Tuhan.

Yahudi dan Nasrani dianggap sebagai agama yang datang terlebih dahulu dibanding Islam. Bahkan tidak sedikit yang secara sinis mengatakan bahwa Islam adalah agama yang banyak terpengaruh atau mengikuti agama-agama sebelumnya. Tuduhan ini sama sekali tidak berdasar, sebab di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa para nabi itu adalah seorang Muslim, yang artinya adalah beragama Islam pula.

Tetapi ihwal tentang hal itu banyak dicibir oleh orang Yahudi dan Nasrani. Mereka bersikeras menganggap bahwa nabi mereka bukanlah beragama Islam, melainkan sebagaimana yang mereka sebut itu.

Bahkan Nabi Ibrahim, yang dianggap sebagai Bapak Tauhid itu dianggap mereka sebagai penganut Yahudi atau Nasrani. Padahal, di dalam Kitab Taurat, Zabur maupun Injil, tidak ada sama sekali dalil shahih yang membenarkan pernyataan itu.

Mengenai hal ini, Al-Qur’an yang juga merupakan firman Allah SWT, setelah Taurat, Zabur dan Injil,  menyatakan dengan tegas tentang status Nabi Ibrahim dan keturunannya.

Allah SWT berfirman:

مَاكَانَ اِبْرٰهِيْمُ يَهُوْدِيًّا وَّلَا نَصْرَانِيًّا وَّلٰكِنْ كَانَ حَنِيْفًا مُّسْلِمًاۗ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

“Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, melainkan dia adalah seorang yang hanif, lagi berserah diri (Muslim). Dia bukan pula termasuk (golongan) orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)

Pengertian Hanif dalam ayat tersebut adalah jauh dari perbuatan syirik dan jauh dari kesesatan. Dari sini terbuktilah dengan fakta, jika demikian adanya, tidak mungkin Ibrahim sebagaimana pengikut Yahudi dan Nasrani yang tenggelam dalam perbuatan syirik dan tersesat.

Kenyataannya Yahudi dan Nasrani saling berdebat juga soal pembenaran kesyirikan dan kesesatan mereka, sebagaimana keterangan dalam Al-Qur’an berikut ini:

وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ عُزَيْرُ ِۨابْنُ اللّٰهِ وَقَالَتِ النَّصٰرَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ قَوْلُهُمْ بِاَفْوَاهِهِمْۚ يُضَاهِـُٔوْنَ قَوْلَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَبْلُ ۗقَاتَلَهُمُ اللّٰهُ ۚ اَنّٰى يُؤْفَكُوْنَ

“Orang-orang Yahudi berkata, ‘Uzair putra Allah,’ dan orang-orang Nasrani berkata, ‘Al-Masih putra Allah.’ Itulah ucapan mereka dengan mulut-mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang yang kufur sebelumnya. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS. At-Taubah: 30)

Kebohongan demi kebohongan untuk membenarkan pernyataan Yahudi maupun Nasrani tidak pernah mendapatkan kebenarannya. Justru, semakin mereka menunjukkan klaim itu secara terang-terangan dan massif dengan mengidentifikasi sejarah Ibrahim dan keturunannya, malah ditemukan banyak kerancuan dan kesalahan.

Dalam firman Allah SWT Surat Al-Baqaran ayat 140, dinyatakanlah dengan tegas:

اَمْ تَقُوْلُوْنَ اِنَّ اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ وَالْاَسْبَاطَ كَانُوْا هُوْدًا اَوْ نَصٰرٰى ۗ قُلْ ءَاَنْتُمْ اَعْلَمُ اَمِ اللّٰهُ ۗ وَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهٗ مِنَ اللّٰهِ ۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ

“Apakah kamu juga berkata bahwa Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya‘qub, dan keturunannya adalah penganut Yahudi atau Nasrani? Katakanlah, ‘Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah? Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah (kesaksian) dari Allah yang ada padanya?’ Allah sama sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.”

Imam At-Thabari, menjelaskan di dalam kitab tafsirnya Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Al-Qur'an, bahwa ketika itu Allah SWT menyuruh Nabi Muhammad SAW untuk menantang orang-orang Yahudi dan Nasrani untuk membuktikan kebenaran klaimnya mengenai status Ibrahim dan anak turunnya. Dan pada saat itu pula terbantahkan klaimnya karena ada syahadah atau kesaksian atau bukti yang nyata tentang kesalahan klaim mereka di dalam kitab suci yang menjadi rujukan mereka.

Syahadah itu adalah bukti adanya persaksian Allah yang tersebut dalam Taurat dan Injil bahwa Ibrahim AS dan anak cucunya bukanlah penganut Yahudi maupun Nasrani dan bahwa Allah akan mengutus Muhammad SAW. Tetapi karena menurut mereka hal itu tidak menguntungkan, atau karena keengganannya mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT, maka syahadah itu disembunyikan dan dianggap tidak pernah ada. []


Penulis: Hakim 

Editor: Kholaf