Perdebatan Imam Abu Hanifah dan Kaum Ateis tentang Dalil Eksistensi Allah

 
Perdebatan Imam Abu Hanifah dan Kaum Ateis tentang Dalil Eksistensi Allah
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Agama adalah sebuah sistem keyakinan yang memimiliki beragam jenis. Di Indonesia sendiri yang dimaksud agama berarti merujuk pada 6 agama yang telah diakui oleh pemerintah secara resmi yakni agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghuchu. Sementara selain dari itu maka disebut religi.

Mengingat basisnya adalah sebuah keyakinan maka agama bersifat private dan sangat personal yang artinya tidak bisa diatur oleh siapapun kecuali Allah SWT sebagai maha pembolakbalik hati. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an sebagai bentuk penegasan bahwa Nabi Muhammad tidak dapat membuat siapapun menerima agama Islam termasuk itu pamannya sendiri yakni Abu Thalib meskipun beliau menginginkannya.

إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

“Sungguh kamu (Muhammad) sekali-kali tak dapat memberikan petunjuk pada orang yang engkau sayangi, melainkan Allah-lah yang memberi petunjuk pada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”  (QS. Al-Qashash ayat 56)

Meski demikian sejarah mencatat sejak dulu ada sebagian kelompok masyarakat yang tidak meyakini eksistensi agama bahkan anti terhadap agama, mereka kemudian disebut komunitas atheis, komunitas yang menggambarkan keabsenan mereka terhadap agama manapun atau bahkan kecenderungan mereka pada sikap oposisi aktif terhadap agama pada umumnya.

Diceritakan dalam kitab Ad-Duror Al-Farid fii 'Aqoid Ahli At-Tauhid syarah kitab Fathul Majid karangan Syekh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi As-Syafi’i bahwa dulu kala pada zaman Syekh Hammad, guru dari Imam Abu Hanifah, ada sebuah komunitas yang tidak mengakui adanya eksistensi Tuhan sebagai pencipta, mereka meyakini bahwa segala yang ada dengan pendekatan scientific dan berdasarkan sifat alamiah. Komunitas ini dijuluki Kaum Dahriyyah.

Alkisah diceritakan bahwa pada saat itu kaum Dahriyyah ini telah banyak mengalahkan argumentasi para ulama melalui sistem debat terbuka terkait dengan eksistensi Allah SWT yang tidak berbasis pada sebuah dimensi maupun media tertentu yang menurut mereka itu sangatlah mustahil.

Melihat realitas itu seorang pentolan dari kaum Dahriyyah merasa berada di atas awan dan menganggap remeh orang-orang Muslim kala itu, bahkan ia menantang secara terang-terangan lalu berkata, “Apakah masih tersisa ulama kalian yang belum saya kalahkan”  Tanyanya dengan pongah.

“Masih ada!” Jawab seorang saat itu, “Beliau adalah Syekh Hammad” Lanjutnya.

“Oh Baiklah, datangkan dia padaku besok di tempat ini, dan kita lihat apakah dia bisa mengalahkan argumentasiku!” Ucapnya dengan sombong.

Setelah itu kemudian datanglah seseorang pada Syekh Hammad dengan tujuan menyampaikan undangan untuk berdebat, lalu Syekh Hammad berkata, “Beri aku waktu satu malam” Ahirnya orang itu pergi dari kediaman Syekh Hammad.

Saat waktu pagi telah datang yang ditandai dengan terbitnya matahari dari ufuk timur, datanglah Abu Hanifah ke kediaman Syekh Hammad, dimana saat itu Abu Hanifah masih kecil, tujuan Abu Hanifah datang adalah untuk berbincang dengan gurunya itu.

Saat itu ia menjumpai gurunya sedang bermuram durja, dengan rasa penasarannya Abu Hanifah mendekati sang guru dan bertanya tentang keadaannya dan apa gerangan yang membuatnya risau.

Syekh Hammad pun menjawabnya “Bagaimana diriku ini tak merasa risau, sedangkan kemarin ada seseorang datang padaku untuk menyampaikan undangan debat terbuka dari kaum Dahriyyah, padahal aku tahu betul bahwa sudah banyak ulama-ulama lain yang argumentasinya dengan mudah dikalahkan oleh kelompok itu, apalagi tadi malam aku bermimpi tidak mengenakkan dan aku khawatir itu menjadi pertanda buruk bagiku dan bagi kaum muslimin secara umum”

Abu Hanifah pun bertanya mencoba mengulik masalah sang guru berusaha memberikan solusi, “Mimpi seperti apa itu Syekh, kalau aku boleh tahu?”

Kemudian Syekh Hammad pun menceritakan mimpinya tadi malam, “Aku melihat dalam mimpiku itu ada sebuah rumah yang sangat luas dan indah, di dalamnya aku melihat ada sebuah pohon yang amat besar sedang berbuah lebat, setelah lama aku pandangi, tiba-tiba saja dari sisi pojok rumah itu muncul seekor babi yang kemudian mendekat dan memakan semua bagian dari pohon itu, baik buahnya, daunnya, bahkan batangnya, sampai hanya tersisa akarnya saja aku lihat. Dan hal yang mengejutkanku berikutnya adalah dari dalam akar itu muncul seekor macan yang dengan mudah membunuh babi tersebut, itulah yang aku lihat dalam mimpiku itu, dan aku khawatir ini menjadi pertanda buruk.” Ucap Syekh Hammad dengan gelisah.

Abu Hanifah mendengarkan cerita gurunya dengan seksama, lalu ia mengangguk sekilas seolah sedang mencoba menelaah, lantas ia berkata, “Sesungguhnya Allah SWT mengajariku ilmu tafsir mimpi, sungguh ini adalah mimpi pertanda baik untuk kita dan buruk untuk musuh kita, jika engkau berkenan maka aku dapat mentafsiri mimpi itu” Tegas Abu Hanifah.

Bersambung, lanjut ke bagian selanjutnya!


Penulis: Ahmad Syahroni

Editor: Hakim