Tahun 661 M: Perjanjian Damai Muawiyah bin Abu Sufyan dengan Hasan bin Ali

 
Tahun 661 M: Perjanjian Damai Muawiyah bin Abu Sufyan dengan Hasan bin Ali
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: Laduni.ID

LADUNI.ID, Jakarta - Pada tahun 661 M, umat Muslim meratapi tragedi yang menimpa mereka dengan meninggalnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, salah satu tokoh terkemuka dalam sejarah Islam. Ali, yang dikenal dengan kearifan, ketegasan, dan dedikasi spiritualnya, diserang oleh Ibnul Muljam, seorang pengikut fanatik dari golongan Khawarij. Khawarij adalah kelompok yang menentang kepemimpinan Ali dan menganggapnya sebagai kafir karena perbedaan pendapat politik.

Serangan terhadap Ali merupakan puncak dari konflik internal yang memilukan dalam umat Islam pada masa itu. Meskipun Khawarij sebelumnya telah dikalahkan oleh pasukan Khalifah, namun sisa-sisa pengikutnya terus menyebabkan kerusuhan dan ketegangan di dalam masyarakat Muslim.

Wafatnya Khalifah Ali merupakan sebuah tragedi yang mendalam bagi umat Muslim, karena kehilangan seorang pemimpin yang dihormati dan disegani. Namun, di sisi yang lain, ada pihak yang memanfaatkan kekosongan kekuasaan yang timbul akibat kematiannya.

Itulah Muawiyah bin Abu Sufyan, yang memperoleh kekuasaan yang signifikan di wilayah Syam setelah peristiwa tersebut. Dengan kecerdikannya dalam politik dan strategi, Muawiyah mampu memperluas pengaruhnya serta membangun kekuatan politik yang kuat di wilayah Damaskus, seta menjadikan kota tersebut menjadi ibukota kekuasaannya.

Kita telah bersama-sama menyaksikan bahwa setelah Majlis Tahkim, meskipun menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan umat Muslim, Muawiyah bin Abu Sufyan secara resmi diakui sebagai khalifah umat Muslim. Keputusan ini, meskipun kontroversial, telah diterima sebagai hukum yang sah dan mengikat bagi umat Islam pada saat itu.

Orang-orang yang mencintai dan mendukung Ali masih tidak menyetujui apabila sepeninggal Ali khalifah selanjutnya dipegang oleh Muawiyah. Makanya banyak daripada mereka semua kemudian membaiat Hasan bin Ali menjadi khalifah. Orang yang pertama kali membaiat Hasan bin Ali adalah Qais bin Sa’ad bin Ubadah, kemudian diikuti oleh banyak orang muslim lainnya.

“Ulurkan tanganmu wahai Hasan, aku akan membaiatmu berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, serta memerangi orang yang tidak membaiatmu,” kata Qais

“Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah saja, itu sudah cukup melatarbelakangi segala syarat,” tepis Hasan bin Ali.

Kata-kata ini memuat makna yang dalam bagi Hasan bin Ali. Bagi beliau, menolak kata-kata "memerangi" bukanlah tanda ketakutan untuk berhadapan dengan Muawiyah, melainkan merupakan ekspresi dari keinginannya untuk menghindari terulangnya peperangan di antara sesama saudara seiman.

Hasan memahami betapa berbahayanya konflik bersenjata di antara umat Islam, seperti yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa tragis seperti Perang Jamal, Siffin, dan Nahrawan. Baginya, sudah cukup penderitaan dan kehilangan yang terjadi pada masa kepemimpinan ayahandanya sebagai khalifah.

Dengan langkah mantap, Hasan bin Ali memimpin rombongan menuju Iraq, didampingi oleh saudaranya, Husain bin Ali, serta pasukan setianya. Meskipun, andai Hasan bin Ali mempunyai niat untuk berperang melawan Muawiyah, namun Hasan memutuskan untuk menahan diri.

Pada masa itu, Hasan bin Ali menyadari bahwa situasi di kalangan Rakyat Iraq sangat kompleks. Mereka dikenal memiliki kecenderungan untuk berkhianat, kurang sabar, dan sulit diprediksi. Mengingat kondisi tersebut, Hasan cenderung mengutamakan upaya perdamaian dengan Muawiyah sebagai langkah untuk menciptakan stabilitas dan kesatuan di antara umat Islam.

Mendengar kabar pergerakan dari Hasan bin Ali beserta bala tentaranya, Muawiyah bersikap siaga dengan mengirimkan pasukan untuk meninjau maksud dari kedatangan Hasan ke tanah Iraq.

Tadinya Muawiyah menganggap pergerakan Hasan bin Ali sebagai sebuah ancaman kepada pemerintahanya, namun hal yang tidak disangka oleh beliau yaitu Hasan bin Ali meminta sebuah musyawarah perdamaian serta melantik Muawiyah menjadi satu-satunya khalifah bangsa Arab pada masa itu.

Ath-Thabari mencatat riwayat menarik bahwa Muawiyah sangat bersedia untuk mencapai perdamaian dengan Hasan bin Ali. Dalam kegembiraannya atas keinginan Hasan untuk menyelesaikan konflik, Muawiyah bahkan mengirimkan sehelai kertas putih kosong yang ditandai dengan stempelnya di bagian bawahnya. Tindakan ini menunjukkan kesediaan Muawiyah untuk memberikan keleluasaan kepada Hasan dalam menetapkan syarat-syarat perdamaian sesuai keinginan beliau.

Keputusan Hasan bin Ali untuk melepaskan jabatan kepemimpinan sebagai khalifah merupakan bukti nyata dari kemurahan hati dan kesetiaan beliau terhadap prinsip perdamaian. Meskipun pada hakikatnya beliau memiliki hak dan kapasitas untuk memimpin umat Islam pada masa itu, Hasan memilih untuk menempatkan kepentingan umum dan keselamatan umat di atas kepentingan pribadi.

Tidak hanya itu, Hasan juga rela menerima celaan dan hinaan dari beberapa segmen masyarakat Iraq yang menyerangnya dengan sebutan "Penista Bangsa Arab". Meskipun dihadapkan pada tuduhan ini Hasan tidak terpengaruh olehnya.

Benar saja apa yang dikatakan Rasulullah SAW pada masa lampau, bahwa Hasan bin Ali suatu saat akan mendamaikan dua golongan besar yang sedang bertikai. Terdapat dalam Hadist Bukhari no: 2505,

 

فَقَالَ الْحَسَنُ وَلَقَدْ سَمِعْتُ أَبَا بَكْرَةَ يَقُولُ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ إِلَى جَنْبِهِ وَهُوَ يُقْبِلُ عَلَى النَّاسِ مَرَّةً وَعَلَيْهِ أُخْرَى وَيَقُولُ إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ إِنَّمَا ثَبَتَ لَنَا سَمَاعُ الْحَسَنِ مِنْ أَبِي بَكْرَةَ بِهَذَا الْحَدِيثِ

Maka Al-Hasan berkata: "Sungguh aku telah mendengar Abu Bakarah berkata: ‘Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di atas mimbar sedangkan Al-Hasan bin 'Ali ada di samping beliau sementara beliau sesekali memandang ke hadapan orang banyak dan sesekali memandang kepadanya lalu bersabda: ‘Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid (pemimpin) dan semoga Allah akan mendamaikan dua kelompok besar kaum Muslimin lewat tangannya’. Berkata Abu 'Abdullah Al-Bukhariy berkata kepadaku 'Ali bin 'Abdullah; ‘Sesungguhnya riwayat ini kami tetapkan berdasarkan apa yang didengar Al Hasan dari Abu Bakarlah dengan lafazh hadits ini.'"

Muawiyah bin Abu Sufyan kemudian dibaiat di Kota Kuffah oleh Hasan bin Ali dan Husain bin Ali beserta Umat Islam. Berdamainya Hasan bin Ali dan Muawiyah membuat Umat Islam benar-benar bersatu. Hingga akhirnya mereka semua menamai peristiwa tersebut dengan Ammul-Jama’ah (Tahun Persatuan).

Pada tahun 661 Masehi, Muawiyah naik menjadi satu-satunya khalifah, mengakhiri masa ketidakpastian politik pasca-kematian Ali bin Abi Thalib. Dari tahun tersebut hingga sekitar 92 tahun ke depan, kekuasaan khalifah tetap berada di tangan keluarga Muawiyah. Era ini kemudian dikenal sebagai Dinasti Umayyah, dinasti yang memegang kendali penuh atas Kekhalifahan Islam selama hampir satu abad. []


Sumber:

Prof. Dr. Lathif, Abdussyafi Muhammad Abdul. 2016. Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar

----------------

Penulis: Muhammad Iqbal Rabbani

Editor: Kholaf Al Muntadar