Tahun 659-661 M: Penumpasan Kaum Khawarij serta Pembunuhan Ali bin Abi Thalib

 
Tahun 659-661 M: Penumpasan Kaum Khawarij serta Pembunuhan Ali bin Abi Thalib
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Sebelum kita masuk ke dalam cerita tentang Perang Nahrawan, mari kita lihat dulu situasinya. Pada masa itu, umat Islam di bawah kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib sedang menghadapi banyak masalah. Ada konflik politik dan kekacauan di kalangan umat Islam, terutama antara Ali dan sekelompok pemberontak yang dikenal sebagai Khawarij.

Nah, Khawarij ini adalah kelompok yang cukup ekstrim dalam pemahaman agama mereka. Mereka tidak setuju dengan keputusan Ali dalam beberapa masalah, terutama terkait dengan penyelesaian konflik dalam pemerintahan. Konflik ini mencapai titik memuncak di Nahrawan, sebuah daerah di Irak.

Jadi, ketegangan antara Ali dan Khawarij ini berkembang menjadi konflik terbuka yang kemudian dikenal sebagai Perang Nahrawan. Perang ini jadi cukup bersejarah karena berdampak besar pada perkembangan Islam dan politik pada masa itu.

Kaum Khawarij memiliki ideologi yang ekstrim pada masa itu, salah satu doktrin yang mereka sebarkan ke masyarakat bahwa Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary adalah kafir. Peristiwa yang mendasari pemikiran mereka itu adalah Perjanjian Majlis Tahkim diselesaikan bukan dengan Al-Qur'an dan Hadis.

Puncaknya adalah mereka tidak segan-segan membunuh sesama kaum muslim yang tidak sejalan dengan mereka, contohnya apabila mereka memberikan sebuah pertanyaan kepada salah seorang Muslim,

“Siapa Amirul Mukminin saat ini?” apabila yang ditanya menjawab Ali bin Abi Thalib, maka siap-siap berakhir dengan pedang-pedang kaum Khawarij.

Mendengar berita tersebut, Khalifah Ali merasa marah dan menuntut agar mereka menyerahkan orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan tersebut. Namun, dalam sebuah jawaban yang menantang, mereka menegaskan bahwa merekalah dalang di balik pembunuhan-pembunuhan tersebut.

Khalifah Ali bin Abi Thalib saat itu benar-benar kerepotan dengan deklarasi Muawiyah sebagai khalifah terbaru umat Muslim, juga kerepotan dengan ganasnya kaum Khawarij. Khalifah Ali akhirnya mengesampingkan masalah Muawiyah serta harus cepat mengurusi Khawarij. Orang-orang ini kalau dibiarkan benar-benar akan merepotkan.

Muawiyah yang melihat Khalifah Ali yang saat itu kerepotan dengan khawarij mengambil keuntungan dengan persiapan untuk segera menguasai daerah Mesir agar berada di bawah kepemimpinan beliau.

Khalifah Ali dalam persiapan perang benar-benar merencanakan dengan matang. Ada sedikit hal yang memberatkan beliau, yaitu terdapat banyak dari kaum Khawarij itu para penghafal Al-Qur'an yang sebenarnya mereka semua hanya terjebak dalam fitnah dan dugaan (ikut-ikutan saja).

Diutuslah ibnu Abbas untuk berdialog dan memberikan penjelasan kepada mereka bahwa jalan yang mereka ini adalah salah. Sebagian dari mereka menganggap ibnu Abbas adalah musuh karena berada di pihak Ali, namun sebagian dari mereka ingin berdialog dan berdiskusi.

Setelah mendengar penjelasan dari ibnu Abbas, sebagian yang tadi ingin mengajak dialog menyatakan masuk kembali kepada pasukan Ali bin Abi Thalib. Menyisakan kurang lebih hanya 4000 orang yang tetap teguh dengan pendiriannya berada di sisi musuh Ali.

Pasukan yang dipimpin oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib telah dipersiapkan dengan matang untuk menghadapi kaum Khawarij. Dalam konflik ini, kaum Khawarij jelas berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dari segi jumlah pasukan maupun persenjataan yang mereka miliki.

Pasukan Khalifah Ali memiliki keunggulan yang signifikan dalam hal kedua aspek tersebut, memperkuat posisi mereka dalam pertempuran yang akan datang.

Dengan alasan-alasan tersebut, tampaknya menjadi tugas yang relatif mudah bagi pasukan yang dipimpin oleh Ali bin Abi Thalib untuk mengatasi kaum Khawarij.

Bahkan, dalam pertempuran tersebut, jumlah korban dari pihak Ali hanya sedikit, sekitar belasan orang, sementara dari pihak kaum Khawarij jumlahnya mencapai ribuan. Hal ini menunjukkan dominasi dan keunggulan yang sangat jelas dari pasukan Ali dalam konflik tersebut.

Rencana Pembunuhan Ali, Muawiyah, dan Amr bin Ash

Sisa-sisa kaum Khawarij yang terluka namun masih hidup diberikan kesempatan untuk kembali ke daerahnya dan bertaubat. Namun, kejadian yang tidak terduga muncul. Para sisa-sisa pasukan mereka ternyata masih belum menyerah dan masih berniat untuk membalas dendam, menunjukkan bahwa semangat perlawanan mereka belum padam meskipun telah mengalami kekalahan.

Dalam pergerakan bawah tanah, mereka merencanakan pembunuhan terhadap tiga tokoh yang mereka anggap bertanggung jawab atas terpecah belahnya umat Muslim pada masa itu.

Mereka menargetkan Ali bin Abi Thalib, Amr bin Ash, dan Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai sasaran utama untuk menghapuskan apa yang mereka lihat sebagai akar penyebab perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Muslim.

Tragedi terjadi pada tanggal 19 Ramadhan tahun 661 Masehi, di Masjid Kufah, pada saat yang tepat untuk melaksanakan Shalat Subuh. Saat itulah, Ali bin Abi Thalib diserang dan ditikam oleh Abdurrahman bin Muljam dengan menggunakan pedang yang dilapisi racun yang sangat mematikan.

Dua hari lamanya para tabib mencoba dengan semaksimal mungkin, namun naas racun tersebut sudah sampai ke jaringan otak beliau. Khalifah Ali bin Abi Thalib meninggal pada umur yang ke-63 tahun.

Di tempat yang lain, Muawiyah bin Abu Sufyan selamat dari upaya pembunuhan yang ditujukan padanya, dan pelaku pembunuhan tersebut berhasil ditangkap serta dihukum mati sebagai konsekuensi dari tindakannya.

Sementara itu, Amr bin Ash, yang pada saat itu sedang sakit, tidak sempat berangkat untuk melaksanakan Shalat Subuh, sehingga ia terhindar dari percobaan pembunuhan yang dialamatkan padanya. []


Penulis: Muhammad Iqbal Rabbani

Editor: Kholaf Al Muntadar