Kontroversi Pidato Kiai Said : ANtara Makna dan Konteks

 
Kontroversi Pidato Kiai Said : ANtara Makna dan Konteks

LADUNI.ID - Untuk kesekian kalinya, media menghebohkan kita dengan “kontroversi” isi pidato Kyai Said Aqil Siradj . Kali ini pidato beliau di hadapan ribuan jamaah Muslimat NU yang sedang merayakan hari ulang tahunnya di Gelora Bung Karno yang menjadi sorotan. Tak pelak lagi, kutipan pidato beliau yang menyatakan bahwa “Peran agama harus kita pegang. Imam masjid, khatib-khatib, KUA (kantor urusan agama), menteri agama, harus dari NU. Kalau dipegang selain NU, salah semua...” itu penggalan kalimat yang tersebar di media, dan menjadi viral “kontroversial”. Benarkan begitu isi pidatonya? Atau sampai disitukan teks pidato sang Kyai sehingga menimbulkan tafsiran (makna) yang menghebohkan dan “kontroversi” itu?

Kenyataannya, tidak sedikit masyarakat kita yang terlibat aksi menghujat dan mencaci maki sang Kyai. Beliau disebut sebagai ulama yang tidak benar, ulama yang suka bikin gaduh umat, bahkan merusak persatuan umat (lihat di banyak chat medsos). Astaghfirullahal azhim, semoga Allah memberi punjuk untuk mereka yang mencaci ulama, terutama dari kalangan non Nahdliyin. Akan tetapi tidak sedikit pula yang sependapat dengan beliau dan bisa memahami pesan penting dari pidato yang disampaikan, terutama kaum Nahdliyin. 

Terlepas dari figur seorang Kyai Said yang oleh sebagian orang “dianggap ulama kontroversial” karena gaya komunikasi dan dukungan wawasan yang luas ketika berbicara, belum lagi paktor politik dan perbedaan pandangan keagamaan. Yang pasti ada dua persoalan yang mendasari mengapa terjadinya “kontroversi” terhadap pidato Kyai Said baru-baru ini, yakni persoalan makna dan konteks.

Dalam Ilmu Komunikasi, makna (meaning) adalah aspek penting menyangkut sesuatu yang dimaksudkan atau sesuatu yang ditafsirkan dari pesan simbol dan proses komunikasi. Makna tidak bisa berdiri sendiri, tapi makna selalu menyertai proses. Makna ditranspormasikan melalui pesan dan simbol komunikasi. Pesan dan simbol komunikasi terbentuk dalam bahasa atau kata-kata yang digunakan. Karena itu, pilihan bahasa, pembentukan kata, hingga susunan kalimat dalam komunikasi itulah yang mengkonstruk pesan. Dan pesan itulah yang selanjutnya memberikan makna (tafsiran atau ditafsirkan) dalam komunikasi. 

Sementara konteks (context) adalah sesuatu yang berada di luar teks, atau lawan dari teks (text). Jika bahasa, kata-kata dan pesan itu adalah teks, maka konteks adalah sesuatu yang menyertai proses teks. Ahli komunikasi menyebutnya sebagai situasi dan kondisi yang menyertai proses komunikasi. Apakah itu lingkungan fisik, psikologi, pengetahuan (frame of reference), maupun pengalaman (field of eksperience) partisipannya. Para ahli komunikasi bersepakat bahwa kontekslah yang menentukan makna dalam komunikasi. sebagai contoh, setiap orang bisa saja tersenyum atau tertawa. Tapi apa makna senyuman dan tawa tersebut, sangat bergantung pada konteksnya atau situasi dan kondisi saat peristiwa tawa (teks) itu terjadi.  

Orang mengambil makna dari proses komunikasi bukanlah berdasarkan teks, tapi konteks. Perbedaan pendapat dan “kontroversial” yang terjadi terhadap pidato Kyai Said Aqil sesungguhnya dikarenakan kita hanya menafsirkan pesan teks, bukan konteksnya. Apalagi ketika pesan teks (tekstual) pidato sang Kyai tidak lagi tersampaikan secara lengkap dan utuh (alias sepotong-sepotong). Sebagaimana yang terpublish oleh media dan menjadi kontoversi “Said Aqil: Imam Masjid, Khatib, KUA harus dari NU, selain itu salah semua” . Sepotong kalimat (teks) tersebut, kemudian ditulis sebagai judul sebuah berita media, tentu saja memicu kontroversi, sebab tidak membawa pesan yang utuh. Ada kalimat lanjutan yang menjadi penyempurna pesan dalam pidato ini yang tak tersampaikan. Atau mungkin sengaja tidak difahami maknanya dengan benar. Dengan kata lain, selain persoalan pesan yang tidak sempurna dari teks yang tidak utuh itu, kontroversi ini lebih disebabkan kegagalan kita dalam memahami konteksnya.

Sebaliknya, tidak sedikit yang mendukung isi pidato sang Kyai, yang menganggap pidatonya memiliki pesan yang jelas, baik dan tidak ada persoalan ketika ditafsirkan dengan melibatkan konteks di dalamnya. Kapan Kyai bicara, dalam suasana apa, dengan siapa, untuk tujuan apa, dan sebagainya. Dan, tentu saja dalam struktur bahasa dan kalimat pesan yang utuh dan sempurna (tidak sepotong-sepotong).

Sebagai satu bentuk komunikasi publik, ada banyak orang yang terlibat di sana dan memahami konteksnya. Pidato Kyai Said bukanlah sebagaimana (potongan) teks yang kontroversial dipublish di banyak media itu. Prof. Machasin mengulas bahwa “Pesan wanti-wanti Ketum PBNU, Said Aqil Siraj, dalam pidato Harlah Muslimat itu sebenarnya sangat jelas: Hai warga Nahdliyyin, rebutlah posisi kunci dalam bidang keagamaan. Kalau tidak, kalian akan menyesal nanti kalau posisi itu dipegang orang lain yang akan menyalah-nyalahkan semua dari amaliah kita....”

Makna ini, mesti belum menampilkan semua teks pidatonya, akan tetapi membawa makna yang jauh lebih jelas, lebih baik dari apa yang dipublish media dan kontroversi itu. Karena itu, belajar dari semua ini, sangat penting bagi kita untuk memahami beberapa etika dalam berkomunikasi yang baik dan efektif. Baik menyangkut struktur pesan, pilihan bahasa dan kalimat yang mestinya utuh dan sempurna, maupun pemahaman yang benar terhadap konteks yang menyertai proses komunikasi. Dengan demikian, kita bisa terhindar dari kesalahfahaman memaknai pesan komunikasi dan menciptakan kontroversi baru yang berpoensi memecah-belah persatuan dan persaudaraan umat Islam. Wallahu a`lamu bish shawab.  

Oleh: Dr.Ibrahim, MA

Ketua LTN PWNU Kalbar / Dosen Komunikasi IAIN Pontianak 

 

 

Tags