Sikap Kita Terhadap Seorang Sufi

 
Sikap Kita Terhadap Seorang Sufi

LADUNI.ID - Terkadang muncul dari beberapa ulama sufi (sufi haqiqi, bukan sufi jahil syariat) ucapan-ucapan yang secara lahiriyyah tampak menyelisihi zhahir syariat, seperti “Ana al-Haq”, atau “Subhani” dan lain-lain. Syaikh Akbar Ibn Arabi al-Hatimi dan Syaikh Abu Yazid al-Basthami adalah di antara sufi yang “tertuduh” dalam hal ini.

Bagaimana sikap kita?

Pertama, tidak seyogyanya kita bergegas mengingkari sebelum kita benar-benar telah tabahhur (sangat luas) dalam ilmu-ilmu syariat agama. Jika kita sadar tidak dalam level ini, maka sebaiknya diam dan itu lebih selamat. Ingat yang kita nilai atau hukumi adalah ulama’. Tetapi jika kita yakin ada dalam level ini, maka perhatikan terlebih dahulu ucapan sufi tersebut; Bisa dipahami maksudnya atau tidak? Jika kita tidak faham maksud yang diucapkannya, tentu kita tidak boleh inkar, karena inkar adalah setelah faham maksud-maksud yang di ucapkan. Sampai sini kita faham?

Jika kita faham maksud dan kandungan ucapannya, maka perhatikan lagi; Apakah sufi yang mengucapkan kata-kata tersebut dalam kondisi sakar/ghaibah (nur ilahi yang datang sehingga menjadikan ia hilang kesadaran dan hati tidak lagi punya perhatian kepada selain Allah) atau dalam kondisi sadar/shahwu?

Dalam syair Labid yang di taqrir oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam disebutkan:

ألاَ كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلاَ اللهَ بَاطِل

“Ingatlah, setiap sesuatu selain Allah adalah batil” (HR. Bukhari)

Gambaran orang yang sedang ghaibah/fana’ dalam musyahadah adalah seperti yang dirasakan para wanita Mesir yang melihat ketampanan Nabi Yusuf ‘alaihissalam:

قَالَ ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ مَا بَالُ النِّسْوَةِ اللَّاتِي قَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ إِنَّ رَبِّي بِكَيْدِهِنَّ عَلِيمٌ

“Berkatalah Yusuf: "Kembalilah kepada tuanmu dan Tanyakanlah kepadanya bagaimana halnya wanita-wanita yang telah melukai tangannya. Sesungguhnya Tuhanku, Maha mengetahui tipu daya mereka." (QS. Yusuf: 50)

Jika dia sedang dalam kondisi sakar/ghaibah, maka secara hukum syariat kedudukannya sama seperti orang yang menggigau dalam tidur, orang gila, orang yang tidak sadar, atau anak kecil yang belum tamyiz yang ucapan-ucapan yang keluar dari mereka tidak ada pahala juga tidak ada siksa, bahkan ucapan kufur sekalipun.

Inilah keadaan sufi-sufi saat sedang ghaibah atau sakar atau fana’. Tentu saja tidak boleh bagi kita menghukumi mereka kufur atau murtad, karena mereka dalam kondisi yang tidak sadar atau fresh alam fikirannya.

Kaitan dengan ini, dalam sebuah hadits shahih dikisahkan tentang seorang laki-laki yang kehilangan hewan kendaraannya di jalan. Padahal disana ada persediaan makanan dan minuman. Akhirnya, dia yang sudah putus asa meletakkan kepalanya untuk tidur (atau kerana mau mati). Tiba-tiba dia bangun dan melihat hewan yang dicarinya berdiri di samping kepalanya:

ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ

“Kemudian orang tersebut berkata, karena sangat-sangat bergembira: “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabb-Mu” dia tersilap mengucapkan, karena hatinya yang sedang sangat bergembira” (HR. Muslim)

Apa yang bisa dipahami dari ini? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengkafirkan orang yang mengucapkan kalimat kufur tersebut dan hanya mengatakan “dia tersilap kerana hatinya yang sedang sangat berbahagia” sehingga hilang kesadaran. Dihatinya tetap ada tauhid.

Jika ada orang yang akal-nya sedikit kacau hanya karena perkara duniawi dan kemudian muncul kalimat-kalimat kufur, maka para sebagian sufi yang mengucapkan kalimat-kalimat seperti di atas akalnya juga sedang bingung saat musyahadah (menyaksikan) hakekat dan hamparan luas-nya.

Adapun jika sufi tersebut yang mengucapkan kalimat-kalimat di atas dalam kondisi sadar/shahwu, maka ada kemungkinan kalimat tersebut benar-benar jelas kekufurannya sehingga tidak mungkin lagi di ta’wil atau masih ada potensi bisa di ta’wil. Jika yang pertama, maka apabila dia bertaubat, maka di terima dan tidak boleh lagi bagi kita menisbatkan kalimat-kalimat kufur tersebut kepadanya. Imam Abu Zur’ah al-Iraqi berkata: “Aku berprasangka dia telah bertaubat di akhir hidupnya”.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنِّي لَمْ أُومَرْ أَنْ أَنْقُبَ عَنْ قُلُوبِ النَّاس

“Aku tidak diperintahkan meneliti hati manusia” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sedangkan apabila masih ada potensi di ta’wil, maka mengkafirkan adalah sebuah perkara yang sangat berat, karena kita menisbatkan masuk neraka selamanya kepada seseorang. Apalagi jika sufi tersebut adalah ulama yang tidak dikenal tasahul dan tahawun dalam beragama.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallan bersabda:

إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَان

“Kecuali kalian melihat kekufuran yang sangat jelas (tidak bisa di ta’wil lagi) menurut kalian yang terdapat hujjah dari Allah” (HR. Bukhari dan Muslim)

Wallahu A’lam

Oleh: Hidayat Nur 

 

 

Tags