Governmentality dan UU Terorisme; Sebuah Keniscayaan bukan Represi atau Koersi

 
Governmentality dan UU Terorisme; Sebuah Keniscayaan bukan Represi atau Koersi

LADUNI.ID - Terorisme merupakan sebuah tindak pidana atau kejahatan yang sangat luar biasa dan spesies ini menjadi salah-satu pehatian penting bagi masyarakat dunia. Masyarakat dunia yang dimaksud bukan hanya dalam skala perseorangan melainkan komunitas-organisasi sampai pada Negara diseluruh dunia, khususnya dalam hal ini ialah Indonesia. Terorisme tentunya tidak muncul dalam bentuk instan, melainkan dapat muncul dalam relasinya baik skala nasional maupun secara trans-nasional.

Aksi terorisme selalu berhubungan dengan ideologi baik agama, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Kejahatan terorisme tidak hanya mengancam keseimbangan global dan Negara, tetapi justru lebih mengakar lagi mengancam pada tiap-tiap tubuh masyarakat dengan tindakan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Belakangan ini, suatu bentuk kejahatan terorisme terjadi di Selandia Baru (New Zealand) pada hari jumat, 15 Maret 2019 di Masji Al-Noor dan Masjid Linwood kota Christchurch yang menewaskan 49 orang (tirto.id), adalah sebagai contoh bahwa kejahatan terorisme memang sangat mengancam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara.  

Terorisme memang tidak mempunyai definisi tunggal, namun setidaknya terlihat sebuah gambaran di dalam regulasi penjelasan atas UU No 5 Tahun 2018 tentang Pemberentasan Tindak Pidana Terorisme bahwa:

“Tindak Pidana Terorisme merupakan kejahatan serius yang dilakukan dengan menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan dengan sengaja, sistematis, dan terencana, yang menimbulkan suasana terror atau rasa takut secara meluas dengan target aparat negara, penduduk sipil secara acak atau tidak terseleksi, serta Objek Vital yang Strategis, lingkungan hidup, dan Fasilitas Publik atau fasilitas Internasional dan cenderung tumbuh menjadi bahaya simetrik yang membahayakan keamanan dan kedaulatan negara, integritas teritorial, perdamaian, kesejahteraan dan keamanan manusia, baik nasional, regional, maupun internasional”.     

  1. Undang-Undang terorisme

Kelahiran sebuah regulasi tentang pemberantasan tindak pidana terorisme dilatar-belakangi atas aksi terorisme tragedi bom Bali di Sari Club dan Paddy’s Club Kuta Legian pada 12 Oktober 2002, dengan kemudian membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 yang akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tidang Pidana Terorisme pada tanggal 4 April 2003.

Pasca lahirnya UU No 15 th 2003 tentang Terorisme ternyata tidak cukup menjawab permasalahan terkait kejahatan terorisme, Karena pada tahun 2016 lalu kegiatan aksi teror atau kejahatan terorisme kembali dikejutkan di kawasan Sarinah, JL. M.H.Thamrin, Jakarta Pusat. Sehingga upaya merevisi UU No 15 th 2003 harus dilakukan dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan mempertimbangkan: 1) wacana mempertahankan ideologi negara, keseimbangan dan keamanan negara, kedaulatan negara, nilai kemanusiaan, dan berbagai aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, serta bersifat lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas serta memiliki tujuan tertentu sehingga pemberantasannya dilakukan secara khusus, terencana, terarah, terpadu, dan berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 2) keterlibatan orang atau kelompok WNI dalam organisasi baik didalam maupun luar negeri yang bermaksud melakukan niat kejahatan yang mengarah pada tindak pidana terorisme, berpotensi mengancam keamanan dan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara serta perdamaian dunia. 3) memberikan landasan hokum yang lebih kuat agar menjamin perlindungan dan kepastian hokum dalam pemberantasan terorisme, dengan memenuhi kebutuhan maka lahirlah UU No 5 Tahun 2008 Tentang Pemebrantasan Tindak Pidana Terorisme.

  1. Relasi Kuasa-Pengetahuan

Permasalahan terkait hadirnya UU Terorisme tesebut, sangat menarik untuk dianalisa lebih renyah melalui cara kerja analisis wacana kritis Michel Foucault (1926-1984), sebuah bentuk analisis yang beranjak dari pendekatan genealogi. Sedikit menyinggung beberapa pragmentasi yang ditawarkan Michel Foucault khususnya yang sesuai dengan disiplin terhadap kajian ini yaitu tentang sosiologi politik atau kebijakan politik pemerintahan walaupun dalam kacamata sejarah Michel Foucault adalah seorang ilmuan yang multidisiplin tetapi juga dikenal sebagai tokoh filsuf post-strukturalis, kajian tentang sosiologi politik dan kebijakan politik pemerintahan yang dimaksud ialah viewpoints tentang adanya relasi kuasa dan pengetahuan.

 Menurutnya, nalar tentang kekuasaan selalu ter-artikulasikan melalui pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan ialah efek dari relasi kekuasaan. Bahasa yang lebih renyah lagi sesuai pembahasan ini bahwa program penyenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) khususnya dalam Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berasal dari dan selalu memproduksi pengetahuan, karena lahirnya ide, discourse, bentuk kebenaran good governance diawali dan dijalankan secara tersusun melalui regulasi, dimapankan melalui program penyelenggaraan, dan diwujudkan melalui praktek-praktek penyelenggaran. Dalam hal ini berarti bahwa antara kuasa dan pengetahuan ialah suatu bentuk relasi yang saling terhubung dan mengikat.

Melalui wacana (discourse), kekuasaan menghubungkan kehidupan sosial dari formal kepada tidak formal sampai negara kepada keluarga bahkan perseorangan dalam format pengetahuan sebagai kebenaran (truth), efeknya yaitu dalam bentuk regulasi perundang-undangan, lembaga-lembaga, kebijakan-kebijakan, sampai menyentuh pada norma. 

  1. Relasi Kekuasaan (Disciplinary of Power) menuju Governmentality

Governmentality adalah sebuah penerapan konsep kekuasaan guna menyelidiki hubungan antara masyarakat (power from below) dengan pemerintahan (power from above). Governmentality bukan tindakan represi dan koersi, melainkan sebuah mekanisme berlangsungnya kekuasaan untuk menghadirkan pilihan tindakan social yang berujung pada produktifitas.

Individu dan masyarakat yang terjalin dan terikat dengan regulasi perundang-undangan khususnya UU Terorisme seyogyanya memilih untuk mengikuti aturan yang berlaku demi tercapainya sebuah keamanan Negara, bentuk pendisiplinan-normalisasi kekuasaan dan kesejahteraan sosial masyarakat, bangsa, dan negara serta perdamaian dunia. Karena konten pengetahuan atau kebenaran yang ditawarkan oleh Negara khususnya pemerintahan Indonesia terhadap seluruh tubuh individu bahkan kelompok masyarakat bukan dalam bentuk kekuasaan seperti yang dimaksud Mark sebagai manipulasi ideologi, bukan juga seperti yang dimaksud Machiavelli sebagai pertarungan kekuatan, bahkan bukan seperti yang dimaksud Freud sebagai represi. Kekuasaan bagi Michel Foulcault hanyalah sebagai strategi yang bukan untuk dimiliki atas kepentingan pemerintahan semata, tetapi dilaksanakan melalui mekanisme yang diselenggarakan untuk “telos” seperti kepentingan bersama demi terciptanya sebuah kepatuhan dan ketertiban terhadap kesepakatan negara, kesejahteraan sosial, perdamaian dan lain sebagainya.

  1. UU Terorisme dan Governmentality

Salah satu instrument penting yang dimiliki pemerintahan sebagai penguasa kelembagaan pemerintahan Negara adalah membentuk sebuah UU Terorisme secara lebih mapan dan menguatkan tugas dan fungsi BNPT. Menyentuh pada diskurusus ini terkait keberadaan UU Terorisme dan BNPT sebagai representasi kebenaran bagi pemerintahan adalah bukti terjalinnya relasi pengetahuan-kekuasaan antara pemerintah dan masyarakat.

Seyogyanya masyarakat yang patuh terhadap hukum dan mepunyai rasa peduli terhadap nilai-nilai kemanusiaan tentunya tidak akan merasakan sedikitpun perasaan represif dan koersif atas lahirnya UU Terorisme, secara rasional terkait UU Terorisme bahwa bentuk kebenaran yang dirumuskan oleh pemerintahan republik Indonesia menjadi pengetahuan yang bisa diterima secara pantas dan layak. Apalagi jika melihat kedalam lagi terkait point-point dalam pasal UU Terorisme ternyata tidak hanya pada batas keinginan pedisiplinan oleh pemerintah semata (disciplinary of power), UU Terorisme justru adalah bagian daripada nafas keinginan dan harapan masyarakat Indonesia yang sudah direalisasikan atas relasi kuasa pemerintah (Governmentality).

UU Terorisme yang telah diberlakukan kini tidak hanya menunggu ada tindakan yang menghasilkan korban baru bergerak, melainkan sebelum terjadinya korban yang mencederai masyarakat, berbangsa dan bernegara bahwa regulasi telah menyusun seketat mungkin indikasi-indikasi yang menandakan adanya sikap untuk melakukan tindakan kejahatan terorisme. Beberapa penambahan pasal pada UU No 5 Th 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai representasi, contoh mendasar ialah pada pasal 1 memuat 14 point yang menandakan unsur-unsur tindak pidana terorisme. Khususnya pada point 4 dengan mengambarkan,

“Ancaman Kekerasan adalah perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat”.  

Hadirnya pemerintah yang menggunakan instrument kekuasaannya tidak hanya hanya sebatas pada disciplinary of power yang hanya menciptakan lembaga sebagai pengendali atas relasi kuasa, melainkan pemerintahan Indonesia sudah mulai mampu untuk menciptakan relasi kuasa-nya dengan sangat produktif, merumuskan pengetahuan sebagai kebenaran (truth) menjadi sebuah pemerintahan yang berfungsi sebagai penyambung lidah rakyat (governmentality). Pada UU No 5 Th 2018 tentang Pemebrantasan Tindak Pidana Korupsi terkait Pasal 1, point 4 misalnya, jika dilihat bunyi kalimat-nya (matan) terlihat seperti hanya mengontrol kebebasan masyarakat dan seolah pemerintah hanya berperan untuk mendisplinkan dengan membatasi ruang demokrasi pada masyarakatnya. Padahal, justru muatan yang ada dalam tubuh UU Terorisme tersebut sangat demokratis dan benar-benar memperhatikan suara keresahan masyarakat pada umumnya. Sehingga tersusunlah sebuah regulasi yang mapan dan bisa menjawab persoalan sampai akar permasalahan.

Sederhananya, seperti baru-baru banyak oknum menjadikan media sosial sebagai alat untuk melancarkan hasrat kekerasannya dalam bentuk penyebaran berita-informasi-isu hoax dengan menampilkan gagasan irasional seperti negara religious nation state (NKRI) harus diganti dengan khilafah islamiyah versi trans-nasional. Berita-informasi-isu yang mengatasnamakan ajaran Islam dan menganggu keseimbangan negara justru dalam isu tersebut mengandung unsur hoax, karena khilafah islamiyah yang dimaksud secara bentuk dan sistem tidak pernah diajarkan dalam kitab suci (baca; al-Quran), melainkan itu adalah produk daripada pemikir muslim dalam konteks dan situasi yang berbeda-beda. Lahirnya berita-informasi-isu tersebut juga bisa mengancam keseimbangan negara dalam bermasyarakat, karena Ideologi bangsa yang telah disepakati oleh modus vivendi (leluhur) diperadukan dengan ideologi trans-nasional yang sampai sekarang model ideal (percontohan) belum ada.

Sebenarnya banyak contoh yang ingin ditampilkan, namun dengan lahirnya UU Terorisme yang telah direvisi dan konteks cara-pandang beberapa masyarakat yang sudah diracuni oleh ideologi yang sangat kaku ini. Tentunya dengan analisa wacana kritis ini bisa menjawab bahwa kuasa pemerintah dan relasi pengetahuan yang bertujuan untuk masyarakat, bangsa dan negara menjadi terkendali bisa melihat bahwa UU Terorisme ini adalah suatu bentuk dari governmentality.  

Oleh: Ali Akhbar A.R.L, S.Th.I.,M.H

Dosen STAI Nias

 

 

Tags