Ijtima' dan jima'

 
Ijtima' dan jima'

LADUNI.ID - Ada istilah yang sepertinya jadi rancu belakangan ini, entah disengaja atau tidak, yaitu Ijtima' dan Ijma'.

Ijma' (إجماع) adalah istilah ushul fiqh yang berarti kesepakatan SELURUH ulama di suatu masa tentang putusan hukum terhadap suatu hal. Misal, seluruh ulama di abad ini sepakat bahwa adzan memakai microphone adalah baik dan mengonsumsi sabu-sabu adalah haram. Meski kita tak mendapati satu pun hadits yang secara eksplisit menyebutkan kedua hal ini sebab tak ada di masa lalu, tapi jangan lagi status hukumnya diragukan sebab sudah ada ijma' (meskipun tak ada yang namanya dokumen ijma' atau semacamnya).

Menolak hasil ijma' punya konsekuensi hukum tersendiri, adakalanya haram saja dan adakalanya bisa murtad bila terkait hal yang mendasar yang umum dalam agama Islam. Karena itu, ijma' menjadi salah satu dasar hukum yang pokok yang wajib dipatuhi seluruh muslim.

Namun, berapa sih perkara ijma' ini jumlahnya? Sedikit sekali dan biasanya hal yang simpel dan sederhana saja. Kalau dalam hal yang sedikit saja di atas simpel, jumlahnya teramat sedikit bahkan saking sedikitnya ada sebagian kalangan yang menganggap ijma' adalah fiksi belaka. Kalaupun ada, maka biasanya hanya klaim sepihak sebab sulit menemukan kesepakatan SELURUH ulama di dunia dalam hal yang butuh pertimbangan agak detail.

Adapun Ijtima' (إجتماع) adalah perkumpulan belaka. Ketika ada beberapa orang berkmpul, itu sudah ijtima' namanya. Dari sini kita tahu bahwa bila ada buruh yang berkumpul lalu menyepakati untuk demo ganti mandor, itu berarti bisa disebut ijtima' buruh ganti mandor. Kalau ternyata ada sebagian buruh lainnya juga kumpul untuk mendukung mandor yang ada, namanya juga ijtima' mempertahankan mandor. Keduanya adalah ijtima' yang sama persis kedudukannya di depan hukum dan tak ada yang lebih istimewa. Tentunya menolak ijtima' manapun tak punya konsekuensi apa-apa juga sebab itu hanya pendapat beberapa orang. Kata "buruh" dan konteksnya bisa anda ubah ke contoh lain.

Jadi, jangan ada yang rancu dalam membedakan keduanya hingga ijtima' dianggap ijma'.

Oleh: Abdul Wahhab AHmad