Pentingnya Pertanyaan Lanjutan

 
Pentingnya Pertanyaan Lanjutan

LADUNI.ID - Seringkali sesuatu tak bisa diputus baik atau tidaknya secara adil tanpa ada pertanyaan lanjutan untuk memperjelas kasusnya. Misalnya ketika dihadapkan pada kasus berikut:

1. Baik atau tidak bersekolah dengan tujuan duniawi seperti supaya dapat kerja?
2. Boleh tidak mondok dengan niat supaya jadi kyai/ustadz?
3. Boleh tidak bercita-cita jadi orang kaya?

Banyak yang akan menjawab ketiga pertanyaan itu dengan satu jawaban saja, entah itu baik atau tak baik. Semua bisa dicari alasannya, misalnya: Mencari ilmu untuk dunia adalah hal tercela bahkan dalam suatu hadis diancam dengan neraka, jadi tak baik. Demikian ingin jadi orang kaya menunjukkan cinta dunia, itu tercela juga.

Jawaban seperti di atas mudah dilakukan dan mudah pula dicari dalil pendukungnya dari al-Qur’an dan hadis. Tapi jawaban seperti itu tidak cermat, meskipun memuat puluhan dalil sekali pun. Yang salah bukan dalilnya, tapi penempatan dalilnya oleh si penjawab.

Seharusnya pertanyaan di atas disusul dengan pertanyaan lanjutan agar jawabannya akurat sehingga penempatan dalil pun akan tepat sasaran. Misalnya:

Baik atau tidak bersekolah dengan tujuan duniawi seperti supaya dapat kerja? Pertanyaan ini harus dijawab dengan pertanyaan lanjutan semisal: pengen dapat kerjanya buat apa? Buat foya-foya di masa mudakah? Sebab kekayaan materi dianggap puncak kemuliaankah? Agar bisa hidup enak bergelimang harta? Atau agar bisa menafkahi anak istri dengan layak? Atau agar bisa lebih berguna bagi orang lain dengan kekayaannya? Atau agar tak tergantung pada orang dan jauh dari mental peminta-minta? Dan pertanyaan semisal itu. Dari situlah kemudian akan muncul jawaban yang pas yang sesuai bagi masing-masing kasus.

Demikian juga untuk pertanyaan kedua dan ketiga harus beri pertanyaan lanjutan dulu agar jelas. Untuk apa motif ingin jadi kyai/ust atau orang kaya itu dulu? Apakah karena mengejar kemuliaan duniawi belaka atau ada alasan lain?

Bila terbiasa memberi pertanyaan lanjutan semacam ini, maka akan terhindar dari jawaban yang gegabah dan pendalilan yang tidak pada tempatnya. Pendalilan tak tepat sasaran inilah yang kerap membuat wibawa Nabi Muhammad secara khusus dan Syariat secara umum seolah tak bijak di mata orang yang memang sejak kecil tak belajar agama secara resmi di lembaga pendidikan agama. Dan, ini tentu disayangkan.

Oleh: Abdul Wahab AHmad

 

 

Tags