Mengutamakan Adab di Atas Perintah

 
Mengutamakan Adab di Atas Perintah

Oleh NADIRSYAH HOSEN

LADUNI.ID, Jakarta - Saya tengah membaca kitab yang terbit tahun 2019 berjudul Tahqiq al-Mathlab bi Ta’rif Musthalah al-Mazhab karya Abdul Qadir bin Muhammad al-Malibari (Hanya 1 jilid dan berisi 365 halaman). Buku ini berkenaan dengan mazhab Imam Syafi’i. Isinya singkat dan padat serta menarik hati. Salah satu pembahasan adalah mengenai adab atau tata-krama.

Di atas aturan hukum, ada tata-krama. Dalam sejumlah kasus, adab diutamakan ketimbang perintah atau aturan hukum. Redaksi kaidahnya berbeda-beda dalam berbagai kitab yang saya lacak, tetapi maknanya serupa:

‎التزام الأدب مُقدَّم على امتِثال الأمْر

‎‫تقديم الادب مقدم على امتثال الامر

‎‫إن مراعاة الأدب خير من امتثال الأمر

‎‫أن سلوك الأدب أولى من امتثال الأمر

‎‫إن مراعاة الأدب أولى من امتثال الحكم

‫Kitab Tahqiq al-Mathlab ini menguraikan bagaimana para sahabat Nabi Saw dan ulama mendahulukan adab. Ada beberapa contoh kasus:

Pertama,  sunnah dari Nabi Muhammad itu berkhutbah di anak tangga ketiga dari mimbar. Namun, khalifah Abu Bakar saat khutbah berdiri di anak tangga kedua karena menghormati Nabi. Dan Khalifah Umar turun lagi pada anak tangga pertama, karena memghormati Nabi dan Abu Bakar. Syekh Abdul Qadir dalam kitabnya ini merujuk kepada kitab Hasyiyah Qalyubi ‫

Kedua, dengan mengutip kitab Ibn Hajar yang mengisahkan bagaimana saat Imam Syafi’i berziarah ke makam Imam Abu Hanifah, dan saat tiba shalat Imam Syafi’i tidak mengangkat tangannya saat takbir. Atau dalam riwayat lain dikatakan ini kejadian pas shalat subuh sehingga Imam Syafi’i tidak membaca qunut. Ini jelas menyalahi pendapat beliau sendiri yang mensunnahkan membaca qunut. Alasan Imam Syafi’i ialah menghormati shahibul maqam, yaitu Imam Abu Hanifah yang tidak membaca qunut.

Ketiga, masalah menambahi kata sayidina di depan nama Nabi Muhammad. Ini bukanlah hal yang berlebih-lebihan seperti tuduhan sementara pihak karena teks hadits tidak mencantumkan sayidina, tapi semata karena adab. Para ulama seperti Allamah al-Kurdi, Imam Ibn Hajar Al-Haytami dan Imam Al-Asnawi dan Syekh Izzuddin bin Abdus Salam, seperti dibahas dalam kitab ini, telah menyetujuinya. Argumentasinya bisa dibaca secara ringkas dalam kitab Tahqiq al-Mathlab ini.

‫Dalil yang dipakai untuk menjustifikasi bahwa adab diutamakan dari aturan hukum itu adalah, seperti tercatat dalam hadits shahih Bukhari-Muslim, ketika Abu Bakar mengimami shalat, lantas datang Nabi sebagai makmum masbuq. Abu Bakar menyadari kehadiran Nabi kemudian menoleh, dan Nabi memberi isyarat untuk Abu Bakar tetap pada posisi sebagai imam shalat. Namun Abu Bakar malah mundur ke belakang, sehingga Nabi maju menggantikan jadi imam meneruskan shalat berjamaah tersebut.

Ketika ditanya Nabi Muhammad:

‫“Apa yang menghalangimu untuk tetap (berada) di posisimu ketika aku perintahkan?

Abu Bakr ra menjawab, "Tidak selayaknya bagi Ibnu Abi Quhafah (Abu Quhafah adalah orang tua Abu Bakr ra) shalat di depan Rasulullah Saw."

Pengarang kitab Tahqiq al-Mathlab ini kemudian mengomentari bahwa adab didahulukan dari aturan hukum adalah pendapat para ulama salaf dan khalaf, dan inilah mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Di atas aturan hukum, ada adab. Kemudian di atas adab, ada cinta. Tapi biarlah topik cinta ini jadi bahasan para ulama tasawuf. Saya lebih mengambil posisi menemani para jomblo yang tengah mencari makna cinta. Ehhh....

 

Tabik,

Nadirsyah Hosen