Ingin Produktif Menulis, Amalkan Ijazah Kiai Ihsan Jampes Ini!

 
Ingin Produktif Menulis, Amalkan Ijazah Kiai Ihsan Jampes Ini!

LADUNI.ID, Jakarta - Kiai Ihsan lahir di Jampes, sebuah desa kecil di sebelah Utara Kota Kediri pada 1901. Beliau adalah seorang ālim-allāmah dan prolifik dalam banyak karya tasawuf. Saya tidak bertemu langsung dengan figur karismatik ini, karena beliau wafat jauh sebelum saya lahir, tepatnya pada 1952.

Saya mengenal Kiai Ihsan terutama lewat karya-karyanya dan beberapa cerita dari cucu-cucunya yang sampai sekarang menjadi pengasuh di Pesantren Jampes Kediri. Cerita inilah yang membuat saya penasaran dengan ulama Nusantara yang sederhana dan alim ini. Dari penasaran kemudian terinspirasi untuk mengikuti jejak dan amalannya.

Nama Kiai Ihsan Dahlan tidak saja dikenal luas di kalangan ulama dan santri di Indonesia, tapi juga dikenal luas di negara-negara Timur Tengah melalui karya-karyanya yang ditulisanya dalam Bahasa Arab. Hebatnya, ulama ini tidak pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah. Dia juga tidak pernah tinggal lama di negara berbahasa Arab selain saat menunaikan ibadah haji singkat pada 1926. Begitu kuatnya pengaruh Kiai Ihsan Dahlan, hingga namanya masuk dalam salah satu entri Encyclopaedia of Islam III, terbitan EJ Brill, Leiden.

Beberapa karya Kiai Ihsan yang cukup populer antara lain: kitab tasawuf yang berjudul Sirāj al-Tālibīn ʿalā Minhāj al-ʿĀbidīn ilā Jannat Rabb al-ʿĀlamīn. Kitab ini adalah kitab syarah (penjelas) atas kitab Minhāj al-Abidīn karya Abū Hāmid al-Ghazālī (w. 505/1111). Pada tahun 1930, ia menulis kitab tentang astronomi yang berjudul Tasrīḥ al-ʿIbārāt, sebuah kitab komentar atas kitab Natījat al-Mīqāt karya gurunya dari Semarang. Untuk merespons beberapa fatwa haram tentang rokok dan kopi, Kiai Ihsan menulis kitab khusus yang ia beri judul Irshād al-Ikhwān fī Bayān Ahkām Shurb al-Qahwah wa al-Dukhān.

Pertemuan dengan keluarga Kiai Ihsan Dahlan bermula saat saya melakukan riset etnografi selama satu tahun (2004-2005) di Kediri untuk penyelesaian studi doktor saya di Departemen Antopologi, RSPAS, The Australian National University, Canberra. Saat itu, kebetulan saya tinggal di sebuah rumah kecil di samping pesantren Jampes. Saya memilih tempat tinggal dekat pesantren Jampes karena alasan praktis riset. Selain agar dekat dengan salah seorang pemimpin majelis zikir yang menjadi salah satu informan penting saya, juga agar saya dapat ngalap berkah mengaji kitab-kitab karya Kiai Ihsan Dahlan secara langsung kepada cucu beliau selama bulan Ramadan.

Selama proses penelitian panjang itu, saya hidup bersama dengan masyarakat di mana saya tinggal. Pada akhirnya, penelitian adalah sebuah proses belajar. Di sinilah saya belajar dari banyak orang yang saya temui. Secara khusus, saya belajar memahami  ragam makna terdalam tradisi dan budaya masyarakat pesantren yang pasti berubah seiring dinamika kehidupan.

Dalam proses riset yang panjang ini, saya banyak menggali beberapa pengalaman ulama pesantren yang memiliki peran bukan hanya sebagai guru, pendidik, dan muballigh, tapi juga peran-peran sosial lain, seperti, pembentukan sistem nilai, sistem kelembagaan, dan perilaku masyarakat  setempat. Pada saat tertentu, para ulama kampung ini juga berperan sebagai cultural broker (makelar budaya) atau mediator yang menyaring pengaruh-pengaruh budaya asing agar tidak memberikan dampak negatif kepada umatnya.

Dari sinilah saya “berkenalan” dengan Kiai Ihsan Dahlan. Saat itu, saya melakukan wawancara secara bebas dengan salah seorang pengasuh pesantren yang juga cucu Kiai Ihsan. Dengan sedikit naif, saya bertanya apa rahasia Kiai Ihsan dapat menghasilkan karya-karya tulisan yang berbobot, yang sampai sekarang masih diminati  banyak kalangan. Terbersit di benak saya, “Ah, itung-itung, kalau saya dapat ijazah doa atau wirid, saya akan menjadi penulis prolifik seperti Kiai Ihsan, setidaknya disertasi saya cepat selesai.”

Cucu Kiai Ihsan ini tidak langsung menjawab pertanyaan saya, justru balik bertanya kepada saya, “Pernahkah Mas mengalami kondisi saat mau menulis dan duduk di depan mesin ketik dalam waktu yang sangat lama, tapi tak satu pun ide keluar dan menuangkannya di atas kertas?” Saya merasa tertohok karena kejadian itu tidak hanya pernah, tapi sering. Tidak jarang saat berada di depan komputer, alih-alih dapat menuliskan ide sekalipun hanya satu paragraf, justru yang sering terjadi adalah ide tulisan itu berubah menjadi status di media sosial.

Sang Cucu Kiai Ihsan melanjutkan pertanyaannya, “Siapa sesungguhnya yang menciptakan ide dalam pikiran kita sebelum menulis?” Ini jelas pertanyaan retoris. Saya hanya diam. Dia menjelaskan, “Sesungguhnya yang menciptakan dan memunculkan ide dalam pikiran kita untuk kemudian kita menuliskannya adalah Zat yang menciptakan otak kita. Dialah Zat Yang Maha Pencipta.”

“Karena itu,” lanjutnya, “untuk memunculkan ide-ide tulisan itu, kita harus memohon langsung kepada Zat yang menciptakan ide-ide itu.” Menurut tuturan sang cucu, setiap kali Kiai Ihsan Dahlan mau menulis, dia selalu memulainya dengan melakukan shalat sunnah dua rakaat, kemudian dilanjutkan dengan doa, agar diberikan kemudahan dalam menulis.

Tak ada doa atau wirid khusus. Setidaknya, saya tidak mendapatkan ijazah doa atau wirid khusus. Hanya yang selalu saya ingat adalah penjelasan cucu sang Kiai tentang apa yang dilakukan Kiai saat menulis. Selama menulis, Kiai Ihsan senantiasa dalam keadaan suci dari hadas. Saat menulis, Kiai Ihsan selalu menghadap kiblat. Hanya itu ijazah Kiai Ihsan yang saya dapatkan langsung dari cucunya.

Jika tulisan ini sampai ke depan pembaca, saya ingin mengatakan bahwa tulisan ini saya awali dan akhiri dengan membaca surah al-Fātihah yang saya kirimkan secara khusus kepada arwah Kiai Ihsan Dahlan dan cucunya, Kiai Misbah, atau yang biasa saya panggil Gus Bah. Saya menulis artikel pendek ini dalam keadaan suci dari hadas dan menghadap ke arah kiblat.

Jika Anda sering kali “mati akal” saat di depan komputer karena merasa punya banyak ide di kepala, tapi semua terasa abstrak sehingga tidak tahu apa yang harus ditulis, segera ambil air wudhu, shalatlah dua rakaat, dan berdoalah kepada Allah agar diberi kemudahan dalam mendapatkan dan menuangkan gagasan. Jangan lupa, kirim hadiah surah al-Fātihah ke Kiai Ihsan Dahlan. Ingin bukti? Silahkan coba sendiri! Wa Allah A’lam bi al-Sawāb.


*) Oleh Ust. Arif Zamhari, Ketua Yayasan dan Pengajar Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Depok.