Ini Penjelasan Tauhid Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

 
Ini Penjelasan Tauhid Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

LADUNI.ID, Jakarta - Kendati Syekh Abdul Qadir al-Jailani menggambarkan ihwal Hadarah al-Quds sebagai maqam tertinggi salik yang telah bermakrifatulLah, beliau qaddasahulLah dengan penuh arif bijaksana terus mendorongkan harapan besar kepada kita untuk bisa menggapai maqam ahli tauhid itu. Seberat dan sepelik apa jalan menujunya. Yakni melalui penekanannya yang sangat ketatterhadap kepatuhan syariat sesuai ajaran Allah Swt dan RasulNya. Inilah jalan terang yang terdekat dengan pemahaman kita: bahwa tiada taqarrub ilalLah, apalagi hakikat dan makrifat, tanpa fondasi amal syariat yang teguh….

Jika kita rujukkan kembali kepada tulisan sebelumnya tentang hierarki ilmu, kita perlu mengingat dua jenjang syariat ini:

Pertama, menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya sebagai kesadaran dan pengakuan diri atas penghambaan kita kepada Allah Swt.

Kedua, memahami dengan semakin detail dan utuh dari masa ke masa tujuan-tujuan yang menjadi arah bagi lelaku pertama tadi. Apa gerangan hikmah di balik kita menjalankan dengan taat kewajiban shalat  dan puasa, misal? Apa gerangan hikmah di balik kita bersungguh-sungguh dalam menjauhi maksiat-maksiat yang dibenci oleh Allah Swt? Serta, yang mesti kemudian kita arungi, apa dampaknya (seperti atsar al-shalat, bekas shalat) kepada hidup kita di dunia ini, kepada sesama manusia, bahkan kepada alam sekitar kita?

Syariat kiranya adalah perpaduan antara bukti nyata kepatuhan kita kepada ajaran Allah Swt dan RasulNya, di satu sisi. Ketika misal Allah Swt memerintah kita untuk berdoa, maka berdoalah –kendati kita tahu dan iman betul bahwa Allah Swt Maha Mengetahui apa saja yang terbetik di dalam hati.

Bila kita terpikir bahwa doa sama sekali tak diperlukan toh Allah Swt ‘alimun bidatis shudur atau kita merasa malu untuk berdoa meminta-minta kepada Allah Swt yang telah mengaruniakan nikmat-nikmat tak tepermanai, waspadalah betapa pemikiran yang terkesan mulia tersebut sejatinya adalah tipu-daya iblis semata. Ia yang seolah kerendahan hati ternyata bisa menjelma keangkuhan diri. Ia pun bisa menjadi hijab rohani. Betapa peliknya, bukan?

Secara sederhana, mari pahami selalu bahwa meninggalkan syariat Allah Swt, seperti perintahNya untuk berdoa kepadaNya (ud’uni astajib lakum, berdoalah kepadaKu maka Aku akan memenuhinya, misal), dengan dalih apa pun adalah ketercelaan.

Sekali lagi, di sisi ini, syariat adalah kewajiban belaka bagi kita. Paham tidak paham, terang tidak terang, lakukanlah saja.

Berikutnya, di sisi kedua, pemahaman terhadap amal-amal syariat itu sendiri. Inilah derajat kedua dari syariat, yakni memahami tujuan-tujuannya.

Untuk memasuki derajat ini, kita membutuhkan ilmu dan “pendamping” –atau guru rohani sebagai pembimbing. Ini kerap kita kenal sebagai tarekat. Yakni perjalanan rohani yang kita arungi dengan mengikuti (taklid, ittiba’) dua sisi pelajaran-pelajaran (ta’lim dan tarbiyah) seseorang atau jamaah yang telah menempuhi jalan panjang kerohanian tersebut.

Jika kita bertarekat sendirian, sungguh rawan terjebak gelora hawa nafsu dan tipu daya iblis. Entah masuknya melalui suatu pikiran yang diam-diam dibajak hawa nafsu ataupun suatu perasaan yang sejatinya ditahtai iblis.

Tepat di titik inilah tepat sekali nasihat populer yang kerap kita dengar betapa ilmu saja tidaklah cukup untuk menuju Wajah Allah ‘Azza wa Jalla. Seluas dan sedalam apa pun penguasaan khazanah dalil (al-Qur’an dan hadis Rasul Saw), boleh jadi justru itulah hijab terbesarnya –sebagaimana juga hijab amal. Dua bentuk hijab ini sungguhlah sangat samar, halus, dan membunuh. Maka bertelitilah, berpeganglah kepada ajaran guru rohani untuk kebaikan diri kita sendiri.

Wilayah pemahaman terhadap tujuan-tujuan kita bersyariat (ini adalah ranah ilmu) ini dimaksudkan sebagai olah pikir dan olah rasa. Ilmu yang kita kulak supaya kemudian menakbirkan pencerahan rasa dalam diri kita. Pikiran yang lurus dan rasa yang peka oleh asahannya lama-lama akan intens ‘mengoreksi’ geliat-geliat hawa nafsu yang selama ini diam-diam membajak amal-amal syariat kita.

Misal. Jika kita adalah pelaku shalat Subuh jamaah yang istiqamah, itu adalah kebaikan syariat, tentu saja. Secara ilmu, kita bisa mengukuhkannya dengan hadis Rasul Saw bahwa shalat Subuh berjamaah lebih mulia daripada dunia seisinya. Andai kalian tahu, maka kalian akan rela pergi ke masjid dengan merangkak sekalipun, tutur Rasul Saw.

Tetapi jelas betul bahwa shalat bertujuan secara rohani untuk  mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar. Sumber dari pikiran dan perbuatan keji dan mungkar ini adalah hawa nafsu kita –yang makin parah bila telah dikipasi setan.

Bila amal tersebut malah menisbatkan rasa lebih baik dan lebih sesuai perintah Allah Swt dan RasulNya dibanding tetangga-tetangga yang belum istiqamah shalat Subuh berjamaah, cermatilah bahwa ini adalah suatu kekejian dan kemungkaran. Sehalus apa pun denyarannya, ini adalah kesombongan. Dan hati yang sombong sama sekali bukanlah hati yang layak untuk dihuni hikmah, apalagi menjadi Tahta Allah Swt (‘ArsyulLah).

Ini masalah pelik, bukan?

Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengingatkan, “Cinta kepada Allah Swt tidak akan hidup dalam diri kita selagi musuh kita, yakni hawa nafsu yang serakah dalam diri kita, tidak mati dan tidak meninggalkan kita.”

Hawa nafsu tersebut merupakan salah satu penghalang (hijab) bagi dibukakanNya hikmah kepada diri kita, yakni pemahaman hakikat tentang baik dan buruk, dosa dan pahala. Ini merupakan pintu hakiki bagi berhentinya kita dari melakukan perbuatan dosa dan kesalahan, sebagai buah dari pengetahuan hakikat terhadap masing-masing perbuatan tersebut, tutur Syekh Abdul Qadir al-Jailani.

Mari simak baik-baik ungkapan tersebut: tanpa pemahaman hakikat tentang segala perbuatan, termasuk laku-laku syariat –yang ini mestilah dipandu guru rohani—kita akan senantiasa rawan terjatuh kepada dosa dan salah. Perhatikan kembali hal tersebut….

Sangat boleh jadi, dalam contoh di atas, amaliah lahiriah kita bershalat jamaah Subuh di masjid diselubungi dosa dan kesalahan di dalamnya, dikarenakan secara hakikat rohani kita dibajak hawa nafsu itu. Mendaku diri mulia karena amal tersebut –bahkan dikukuhkan oleh suatu dalil naqli—adalah suatu dosa da kesalahann, suatu kekejian dan kemungkaran yang jelas-jelas dilarang oleh Allah Swt melalui surat al-Ankabut ayat 45.

Renungkanlah: mengapa kita bisa mengingkari Allah Swt (berbuat dosa) justru tatkala kita sedang menjalankan syariat shalatNya?

Sungguh ini suatu anomali rohani yang besar dengan cara kerja halus.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani menasihatkan, “Orang yang benar-benar ingin bertaubat (ingatlah bahwa taubat merupakan pintu pertama menuju kemakrifatan) perlu mengetahui bahwa ia telah melakukan dosa (boleh jadi, bentuk dosanya adalah kemungkaran dalam amal syariat lahiriah tadi). Ia pun harus mengetahui mengapa dosa itu dilakukan dan bertekad untuk membuang dan menghapus dosa itu.  Kemudian ia menyerabut keluar umbi dosa itu dari dalam dirinya. Apabila akar umbi dosa itu telah digali, maka yang menjadi pokok dari dosa itu akan layu, kering, dan akhirnya mati. Niscaya ia tidak akan hidup lagi. Cangkul yang digunakan untuk menggali dan mengorek umbi akar dosa yang menyebabkan tumbuhnya dosa-dosa itu berupa pendidikan rohaniah dari guru yang sebenarnya (pembimbing rohani). Sebelum kebun dibuka, tanah yang akan dijadikan kebun itu hendaknya dibersihkan terlebih dahulu dari akar-akar pohon, tunggul-tunggul pohon, dan semak belukar….”

Para waliyulLah menasihatkan: “Wujud diri sendiri itu adalah dosa paling besar, lebih besar dibandingkan dengan semua dosa yang ada….”

Betul, wujud diri (dalam istilah Syekh Abdul Qadir al-Jailani di atas adalah “umbi akar dosa”) adalah isyarat bagi tidak/belum tegaknya kalimat tauhid yang haq, la ilaha illalLah itu. Jika ini masih bersemayamdi dalam hati kita, pertanda hati kita masih terhijab dariNya, itulah golongan yang digambarkan Rasul Saw sebagai muflis (bangkrut) di antara laku-laku ibadahnya bahkan.

Mari kita ingat kembali bahwa tegaknya tauhid di dalam hati, la ilaha illalLah, ialah semata tegaknya Allah Swt, bukan selain-lainnya, termasuk wujud diri ini.

Wallahu a’lam bish shawab.


*) Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY