Keilmuan Nusantara: Mengingat Kembali Khazanah yang Terlupakan

 
Keilmuan Nusantara: Mengingat Kembali Khazanah yang Terlupakan

LADUNI.ID, Jakarta - Dulu, pesantren mengajarkan minimal empat aksara: Jawa, Pegon, Jawi Melayu dan Sunda atau Bali. Bukan cuma pegon. Keluarga priyayi di Jawa ngaji aksara Jawi melayu ke pesantren.

Orang-orang Belanda ke pesantren belajar aksara pegon dan Jawa dan Melayu sekaligus seperti di pesantren Tegalsari Ponorogo.

Komunitas Buda Merapi Merbabu dan Hindu Tengger belajar ke pesantren untuk ngaji aksara Jawa Bali dan pegon seklaigus ke pesantren-pesantren pesisir untuk ngaji Wali Songo. Kini semuanya hilang...

Sanad-sanad  keilmuan ulama-ulama Nusantara adalah nyambung langsung ke Wali Songo, tapi karena pengaruh Arabisasi yang dibawa kolonialisme dan imperialisme Eropa sejak wabah puritanisasi rasial (ras Timur asing, ras Arab ras Cina ras Eropa dan ras Pribumi, semua dikotak-kotak) diperkenalkan di Hindia Belanda sejak abad 19. Maka sanad-sanad keilmuan ulama-ulama kita pun terputus dari garis Wali Songo dan lebih mudah dapat sanad ke Timur Tengah.

Terlebih lagi: tradisi sanad-sanad Wali Songo yang terdokumentasikan dalam naskah-naskah Jawa sudah tidak lagi dijangkau karena  masalah aksara Jawa yang tidak lagi disosialisasikan orang-orang pesantren.

Sanad kitab-kitab Wali dari Ampel, ilmu tasawuf Nusantara dan sanad tarekat Sunan Gunung Jati  misalnya hanya sampai pada abad 18 di masa Sultan Ageng Tirtayasa Banten. Setelah itu terputus, tidak ada pelanjut.

Cara para Wali Songo mengajarkan kalimat Tauhid La ilaha illallah kepada orang Jawa era Majapahit dari naskah Jawa abad 16 koleksi Leiden.

Ini bukti para Wali Songo belum mengajarkan pegon untuk masyarakat Jawa secara umum untuk mengajak mereka ke dalam agama Islam dan juga mengajarkan dasar-dasar keislaman hanya melalui aksara yang mereka pahami dan resapi sehari hari.

***

Itulah beberapa kerisauan (untuk tidak mengatakan kritik) yang diungkapkan Ahmad Baso mengenai dinamika keilmuan yang berkembang di Indonesia kini. Terlebih, pondasi keilmuan yang dibangun di rata-rata lembaga pendidikan tinggi kini berasal dari bangunan keilmuan Barat, Eropa, Timur dan lainnya.

Sangat jarang lembaga pendidikan (kecuali pesantren) yang mengajarkan keilmuan berdasarkan khazanah lokal ke-Nusantara-an. Akibatnya, terdapat banyak teori-teori ilmu pengetahuan yang berkembang di Indonesia justru tidak sejalan dengan realitas masyarakatnya.

Tulisan ini bukan hendak melakukan kritik secara besar-besaran pada perkembangan keilmuan di lembaga pendidikan ataupun perguruan tinggi-perguruan tinggi di negeri ini. Melainkan, sekadar memberikan jalan untuk melakukan instrospeksi kembali akan khazanah keilmuan nusantara yang begitu kaya.(*)

***

Sumber: KH. Ahmad Baso
Editor: Muhammad Mihrob