Dialog Tasawuf Falsafi Di Pesantren Al-Tsaqafah

 
Dialog Tasawuf Falsafi Di Pesantren Al-Tsaqafah
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Kemarin, (26/05/18) aku menikmati perbincangan bertema "Kiyai Sa'id dan Tasawuf Falsafi", yang sangat memikat, berkelas dan beretika tinggi. Dua kiyai muda dan cendekiawan NU yang masyhur; Ulil Abshar Abdalla dan Abdul Moqsith Ghazali membedah tema ini dengan begitu piawai, mengesankan dan anti klimaks. Perbincangan diakhiri oleh sang begawan ilmu ini dan guru mereka berdua, Kiyai Sa'id Aqil Siradj dengan amat memukau.

Salah satu hal yang menarik adalah mereka bicara tema ini tanpa beban sama sekali. Padahal membicarakan tema ini secara terbuka di depan publik luas, dalam banyak periode sejarah atau bahkan sepanjang sejarahnya selalu menimbulkan kontroversi bahkan tragedi. Ingat tragedi Al-Hallaj dan Sheikh Siti Jenar.

Lalu dua kiyai itu beberapa kali menyebut dua nama sufi besar, Imam Abu al-Qasim al-Junaid al-Baghdadi dan Imam Abu Hamid al-Ghazali, dua sandaran/anutan utama Ahlussunah wal Jamaah, dalam dimensi sufisme/mistisisme. Kedua Imam ini dipahami kaum Sunni sebagai penganut tasawuf akhlaqy atau 'Amali yang menganut dualitas Tuhan dan makhluk, sebagai dua entitas/wujud yang terpisah. Tasawuf Amali menekankan etika individu dan sosial.

Padahal menurut kedua pembicara, dua Imam itu juga menganut Tasawuf Falsafi. Kiyai Sa'id, sang suhu, telah lama menginfokan soal ini. Tasawuf ini membincangkan tema-tema sensitif dan kontroversial; Ittihad, Hulul, Fana, Emanasi, Teologi Negatif, dan puncaknya, Wahdah al-Wujud. Dunia sufisme Islam mengenal istilah yang terakhir ini merupakan gagasan al-Syeikh al-Akbar; Muhyiddin Ibnu Arabi. Tema-tema ini mengandung makna penyatuan, atau Manunggaling kawula Gusti.

Kiyai Moqsith menginformasikan pandangan Imam al-Ghazali tentang hal itu ada di dalam kitabnya yang terkenal "Ihya Ulumuddin", sambil menunjukkan letaknya, Juz III, halaman sekian dalam pasal ini (al-Wujud). Ia juga mengutip pernyataan Ibnu Arabi dalam bukunya al-Risalah al-Wujudiyah; Allah 'Aqlun, wa 'Aqilun wa Ma'qul, dan  Allah Khalqun, wa Khaliq wa Makhluq.

Pernyataan ini sungguh mengagetkan dan mencengangkan. Memaknainya memerlukan waktu yang relatif panjang.

Dulu kala, Imam Ali Zainal Abidin, putra Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib sangat berhati-hati bicara tema-tema Tasawuf Falsafi tersebut. Beliau mengungkapkan kekhawatirannya atas kemarahan banyak orang saat mengungkapkan gagasan-gagasan Tasawuf Falsafi ini.  Dalam sebuah puisi yang sangat terkenal ia mengatakan:

َيا ربّ جَوْهَر عِلْم لَوْ اَبْوَحُ بِه

  لَقِيْلَ لِى اَنْت ِممّنْ يَعْبُد اْلوَثْنا

وَلاَ سْتَحلّ رِجَالٌ مُسْلِمونَ دَمى

  يَرَوْنَ اَقْبَح مَا َيأتُونَه حَسَنا

O, betapa jika aku singkapkan mutiara pengetahuan

Niscaya aku dibilang menuhankan berhala

Niscaya banyak orang menghalalkan darahku

Mereka mengira ucapan buruk mereka

Adalah baik-baik belaka

Dari perbincangan luar biasa itu ada pertanyaan orang NU mengenainya, "Apakah Aswaja NU menerima ajaran Tasawuf Falsafi ini? Jika iya, maka ini sebuah lompatan besar. Tasawuf Falsafi adalah puncak dari segala pengetahuan. Dan itu secara substantif merupakan gagasan Neoplatonisme. Selamat", katanya.

 

Sore, saat matahari menjelang pulang, (28/05/18).

Repost, 28/05/21

Oleh: Husein Muhammad