Menceritakan Makam Waliyullah Itu Penting dan Perlu

 
Menceritakan Makam Waliyullah Itu Penting dan Perlu
Sumber Gambar: Media Jawa Timur

Laduni.ID, Jakarta – “Makam ini orang Sholeh. Kalau bisa, ya dirawat,” tutur Romo KH. Abu Bakar kepada kami, tepat di depan makam Mbah Kalbakal untuk pertama kalinya pada bulan Maret di tahun 2011. Saat itu makam belum dibangun. Setelah itu, pertengahan Juli 2011 makam mulai dibangun dan rampung pengerjaannya di bulan Oktober 2011.

Romo KH. Abu Bakar, 84 tahun, adalah sosok kiai yang gemar berziarah dan riyadhoh di makam para Auliya'. Beliau tergolong kiai sepuh yang malang melintang di dunia permakaman. Karena itulah tak heran jika nama beliau cukup masyhur di kalangan pecinta makam. Namanya juga termaktub dalam prasasti pengukuhan Makam Maulana Ishak (ayah Sunan Giri) yang berada di Kemantren, Paciran, Lamongan.

Sebagaimana penuturan beliau kepada kami, di masa mudanya, kiai asal Jatirogo, Tuban tersebut bersahabat kental dan sering berpetualang dari satu makam ke makam lainnya bersama Gus Dur, Gus Miek, Mbah Kiai Burhan, Mbah Kiai Hambali Lasem, dan Mbah Kiai Shobib Jepara.

Nah, sejak 2014, Romo KH. Abu Bakar adalah salah satu kiai yang kerap berziarah dan ziyadhoh ke makam Mbah Kalbakal, dan tiap kali hendak ke makam ini beliau selalu menghubungi kami. Dalam kurun waktu enam bulan, hampir satu minggu atau dua minggu sekali, beliau melakukan riyadhoh. Biasanya beliau memulai riyadhoh di dalam makam antara pukul 00.00 sampai menjelang shubuh.

Dari hasil riyadhoh yang beliau lakukan diperolehlah sebuah petunjuk bahwa Makam Mbah Kalbakal sejatinya adalah Makam Sayyid Ali Ridha.

Romo KH. Abu Bakar berkata, “Makam Sayyid Ali Ridha adalah makam yang selama ini saya cari-cari. Karena selama puluhan tahun berkelana dari makam ke makam lain di Indonesia, makam Sayyid Ali Ridha mempunyai garis nasab yang tertinggi ke Rasulullah SAW.”

Semenjak itulah kami mulai berani memperkenalkan dan menceritakan Makam Sayyid Ali Ridha kepada publik via medsos. Sebab, hal itu sangat penting dan perlu. Sebagaimana tulis Fariduddin Attar dalam pengantar buku Tadzkiratul Auliya', “Dengan menceritakan para wali, kita memberkahi diri dan tempat sekeliling kita.”

Sebuah hadis menyebutkan bahwa di dunia ini ada sekelompok orang yang amat dekat dengan Allah SWT. Bila mereka tiba di suatu tempat, karena kehadiran mereka, Allah selamatkan tempat itu dari tujuh puluh macam bencana. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulallah, siapakah mereka itu dan bagaimana mereka mencapai derajat itu?” Nabi yang mulia menjawab, “Mereka sampai ke tingkat yang tinggi itu bukan karena rajinnya mereka ibadah. Mereka memperoleh kedudukan itu karena dua hal; ketulusan hati mereka dan kedermawanan mereka pada sesama manusia.”

Itulah karakteristik para wali. Mereka adalah orang yang berhati bersih dan senang berkhidmat pada sesamanya. Wali adalah makhluk yang hidup dalam paradigma cinta. Dan, mereka ingin menyebarkan cinta itu pada seluruh makhluk di alam semesta. Fariduddin Attar yakin, bahwa kehadiran para wali akan memberkahi kehidupan kita, baik kehadiran mereka secara jasmaniah maupun kehadiran secara ruhaniah.

Akhir kalam, kami tentu sangat bersyukur, ternyata di desa kami, tepatnya di belakang/barat almamater tercinta kami di Ponpes Tarbiyatul Wathon (Desa Campurejo, Kec. Panceng, Kab. Gresik) Allah menganugerahkan makam salah satu kekasih-Nya.

Hal ini mengingatkan kami pada goresan Kiai M. Faizi (Pengasuh PonPes Annuqoyyah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura) dalam puisi bertajuk Di Maqbarah Tebuireng, “Alangkah bahagia engkau, Tanah/dipilih alim-ulama jadi maqbarah.”

Keterangan foto: Kondisi makam sebelum dibangun (foto 1), Romo KH Abu Bakar (foto 2), kondisi makam setelah dibangun (foto 3), kondisi dalam makam (foto 4).

Oleh: Gus Ahmad Jauhari


Editor: Daniel Simatupang