Hasil Penelitian: 7 Risiko Ini Dialami Anak Pecandu Medsos

 
Hasil Penelitian: 7 Risiko Ini Dialami Anak Pecandu Medsos

LADUNI.ID, Jakarta - Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat dengan hadirnya media sosial (medsos) memberikan dampak yang serius terhadap anak. Hal ini seperti dilaporkan sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Shofiyuddin Ichsan dari Institut Ilmu Al Qur’an an-Nur Yogyakarta, bahwa anak-anak sekolah yang aktif bermedia sosial memiliki kecenderungan kurang fokus dalam pelajarannya.

Penelitian ini dilakukan pada anak-anak Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Yogyakarta pada tahun 2018, di mana 36% anak lebih banyak membahas game, 23% membahas pelajaran, sementara terdapat 20% hanya membahas tingkah laku teman lainnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Shofiyuddin Ichsan ini bekerjasama dengan Diktis Pendis Kementerian Agama RI. Dalam laporan penelitian tersebut juga disebutkan bahwa anak bermedia sosial dan game dilakukan rata-rata 3-4 jam per hari. Ketika diakumulasi, ada lebih dari 25 jam digunakan anak bermedia sosial dan main game dalam seminggunya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecanduan media sosial (maniak) anak usia anak tingkat sekolah dasar setidaknya berimbas pada diri anak. Dalam penelitian ini juga disebutkan bahwa terdapat 7 (tujuh) risiko yang akan dialami oleh anak usia MI ketika mereka sudah kecanduan pada medsos:

Moralitas anak menjadi rendah

Pertama, hasil penelitian ini menunjukkan ditemukannya anak yang memiliki media sosial 71% sudah memiliki rasa dengan lain jenis, bahkan 39% sudah berpacaran. Hal ini menjadi ironis, karena usia mereka belum menginjak dewasa. Di lihat usia, mereka masih labil dalam berinteraksi sosial, sehingga melalui media sosial, mereka bisa mengakses apapun, termasuk gambar-gambar pornografi

Lebih berani berinteraksi dengan lawan jenis

Kedua, hasil penelitian ini juga mengejutkan bahwa melalui media sosial, mereka cenderung lebih intens berkomunikasi dengan lawan jenis daripada sesama jenis. Sebanyak 60% berinteraksi dengan lawan jenis melalui WhatsApp, 18% berinteraksi dengan orangtua, 22% berinteraksi dengan sesama jenis.

Kemalasan belajar

Ketiga, anak yang sudah akut dalam menggunakan media sosial dan gadget, akan sulit untuk diajak ke dalam hal lainnya. Anak sudah fokus pada bagaimana menyelesaikan misi dalam game atau terus menelusuri (stalking) apa yang dia lihat.

Risiko menimbulkan iri dan dengki antarteman

Keempat, semakin dalam ia melakukan penelusuran akun orang lain (stalking), maka secara tidak langusng ia akan mulai membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Inilah yang akan memunculkan sikap iri dan dengki atas apa yang dilakukan oleh orang lain atau temannya. Anak yang belum mampu menemukan jati dirinya, akan lebihi terombang-ambing pada obsesi dari apa yang dia lihat.

Risiko menimbulkan kecemasan dan ketidakstabilan emosi dalam diri anak

Kelima, ketika anak-anak melihat dirinya dan mulai membandingkan dirinya dengan orang lain, di sana akan muncul kecemasan dari apa yang hanya dia miliki. Anak yang belum mampu melihat realitas yang sebenarnya mulai terperangkap pada suatu frame visualisasi saja, tidak melihatnya sebagai suatu proses. Misal ketika ia melihat temannya sedang  memposting liburannya ke luar negeri, ketidakmampuan anak dalam melakukan hal yang sama akan menimbulkan emosi yang belum mampu diarahkan. Akhirnya anak tersebut merasa minder atau malah menyalahkan keadaan.

Risiko anak Mengalami kejenuhan dengan menyendiri akibat beraktifitas belajar di sekolah

Keenam, masa usia anak yang seharusnya mampu menjadi masa yang baik dalam proses pertumbuhan interaksi langsung dan memahami pergaulan (tatap muka). Dengan intensitas anak kepada media sosial yang berlebih menjadi penghalang dalam proses itu, dimana ia tidak bisa memberikan respon langsung dari suatu proses interaksi. Anak tersebut lebih memilih untuk menyendiri dan mulai merasa, 'Ngapain ketemu, toh kalau soal ngobrol, di WA juga bisa.'

Risiko tinggi dalam menyebabkan anak menjadi individualistik

Ketujuh, kenyamanan berlebih dalam bermedia sosial, membuat anak akan menjadi sosok yang lebih suka menyendiri (individualistik). Dalam keadaan pandangan fokus ke media sosial, ia lebih memilih keadaan yang tidak ingin diganggu. Justru si anak akan marah apabila diusik.

Keadaan yang berulang seperti ini akan menjadi boomerang apabila tidak ditanggulangi. Karenanya, perlu peran banyak elemen untuk mengatasi ini semua. Elemen yang berperan penting diantaranya; orang tua, sekolah, dan pergaulan sebaya. tetapi juga diperlukan sinergi dari pemerintah. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan kebijakan tertinggi harus juga memahami lebih dalam tentang fenomena media sosial yang dilakukan oleh anak usia Sekolah Dasar, khususnya pada anak Madrasah Ibtidaiyah.

(Sumber: nu.or.id)