Biografi KH. Ahmad Syakir Ma'shum, Pengasuh Pesantren Al-Hidayat, Lasem

 
Biografi KH. Ahmad Syakir Ma'shum, Pengasuh Pesantren Al-Hidayat, Lasem
Sumber Gambar: foto istimewa

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Menjadi Pengasuh Pesantren

4.    Karya-Karya
5.    Chart Silsilah Sanad
6.    Referensi

1. Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
KH. Ahmad Syakir lahir pada tahun 1920 (1338 H), tanggal dan bulan kelahirannya tidak diketahui dengan pasti. Beliau merupakan anak ketiga dari pasangan KH. Ma’shum Lasem (w. 1972) bin KH. Zainuddin bin KH. Ibrahim bin KH. Abdul Latif bin Mbah Joyotirto bin Mbah Abdul Halim bin Mbah Sambu dengan Ibu Nyai Hj. Mashfuriyah bin KH. Abdul Aziz bin KH. Abdul Latif bin Mbah Joyotirto bin Mbah Abdul Halim bin Mbah Sambu (Luthfi Thomafi, 2007:58-59).

1.2 Riwayat Keluarga
KH. Ahmad Syakir menikah dengan Nyai Hj. Faizah binti Ahmad Mustofa dari Tegalsari Solo, pada tahun 1944. Pernikahan tersebut berawal dari kedekatan hubungan KH. Ma’shum dengan KH. Ahmad Umar bin Abdul Mannan pengasuh Pesantren Al-Muayyad Solo. Nyai Faizah ini seorang hafiḍzah (penghafal Al Qur’an) terbaik di Lasem, yang melanjutkan perjuangan KH. Ma’shum dengan mengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayat spesialis tahfiḍzul Qur’an.

Pernikahan KH. Ahmad Syakir dengan Nyai Hj. Faizah ini melahirkan ulama-ulama besar pengasuh Pondok Pesantren di Lasem juga. Dari pernikahannya, beliau dikaruniai anak, diantaranya:

  1. Mustofa yang lahir pada tahun 1948, sekarang mukim di Pasuruan.
  2. Faizin yang lahir pada tahun 1951 dan wafat pada tahun 1974.
  3. Nur Jihan (lahir pada tahun 1955) yang diperistri oleh KH. Muafi pengasuh Pondok Pesantren Nazhatut Thulab Krajan Camplong Sampang Madura.
  4. Nur Inayah (lahir tahun 1957) yang diperistri oleh KH. Hasan Fauzi pengasuh Pondok Pesantren As-Syakiriyah Soditan Lasem.
  5. Sihabudin yang lahir pada tahun 1960, yang sekarang mengasuh Pondok Pesantren An-Nuriyah Soditan Lasem.
  6. Muhammad Nasih (meninggal pada waktu masih kecil).
  7. Muhammad Zaim yang lahir pada tanggal 1 Agustus 1965, satu-satunya putra KH. Ahmad Syakir yang diketahui tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya.

Menurut penuturan KH. Muhammad Zaim sendiri, tanggal dan bulan kelahirannya itu berdasarkan almari pakaian yang dibeli oleh abahnya, KH. Ahmad Syakir. “Di belakang almari tersebut tertuliskan tanggal 31 Juli 1965, dan kata abah, saya itu lahir satu hari setelah pembelian almari tersebut. Dengan demikian saya lahir pada tanggal 1 Agustus 1965”.

1.2 Wafat
KH. Ahmad Syakir wafat pada tanggal 31 Januari 1991 beliau dimakamkan di Masjid Jami' Lasem Rembang (Makam Mbah Sambu).

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Kyai Ahmad Syakir sejak kecil dididik langsung oleh keluarga, beliau mendapat pendidikan agama dari ayahandanya sendiri yang merupakan ulama kharismatik, yaitu Mbah Ma’shum. Kyai Ahmad Syakir tidak pernah mengenyam pendidikan formal, karena memang pada waktu itu masih dalam kondisi penjajahan kolonial Belanda. 

Dengan demikian, Mbah Ma’shum sangat menekankan arti pentingnya pendidikan kepada putra-putranya. Kyai Ahmad Syakir muda dikirim ke beberapa pondok pesantren terkenal di Jawa, seperti:

  1. Pondok Pesantren Kasingan Rembang yang diasuh oleh KH. Cholil Bisri (mertua KH. Bisri Mustofa),
  2. Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur, yang diasuh oleh Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari,
  3. Pondok Pesantren Buntet Astanajapura Cirebon yang diasuh oleh KH. Abbas,
  4. Pondok Pesantren Termas yang diasuh KH. Dimyati,
  5. Pondok Pesantren Watucongol Magelang yang diasuh KH. Dalhar.

Menurut KH. Muhammad Zaim (46 th) perjalanan KH. Ahmad Syakir menuntut ilmu sering bersamaan dengan kakaknya yang pertama, yaitu KH. Ali Maksum (Pengasuh Pesantren Al-Munawir Krapyak, Yogyakarta). Bahkan ketika mondok di Termas, beliau selain bersama kakaknya, juga bersamaan dengan KH. Abdul Hamid Pasuruan dan KH. Makmur Dimyathi Lasem (pengasuh Pesantren As-Salatiyah Rembang). Kyai Ahmad Syakir muda mengikuti jejak ayahandanya, melanglang ke berbagai daerah untuk menuntut ilmu agama.

Setelah dirasa cukup matang dalam keilmuan, maka Kyai Ahmad Syakir disuruh oleh orang tuanya untuk kembali ke Lasem. Dipersiapkan oleh KH. Ma’shum Lasem untuk meneruskan pondok pesantren yang diasuhnya. Hal ini dilakukan oleh KH. Ma’shum Lasem karena putra tertuanya, KH. Ali Ma’shum, diambil menantu oleh KH. Munawir Krapyak,Yogyakarta.

Pondok Pesantren Al-Munawir inilah yang kemudian membawa nama besar KH. Ali Ma’shum. Upaya pengkaderan KH. Ma’shum Lasem nampaknya membuahkan hasil. Kematangan ilmu agama Kyai Ahmad Syakir yang diperoleh dari berbagai pondok pesantren mulai nampak, beliau mulai membantu ayahandanya mengajar para santri. Selain itu juga ikut berdagang ayahnya di pasar.

Pendidikan yang diberikan KH. Ma’shum Lasem kepada Kyai Ahmad Syakir ini benar-benar merupakan tempaan yang kuat, agar kelak beliau mampu melanjutkan perjuangan ayahandanya ketika sudah dewasa.

2.2 Guru Guru

  1. KH. Ma’shum Lasem,
  2. KH. Cholil Bisri Kasingan Rembang,
  3. KH. Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang,
  4. KH. Abbas Buntet, Cirebon,
  5. KH. Dalhar Watucongol, Magelang.

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Menjadi Pengasuh Pesantren
KH. Ahmad syakir menjadi penerus perjuangan KH. Ma’shum Lasem, mengasuh santri-santri di Pondok Pesantren Al-Hidayat yang telah dirintis sejak tahun 1916 oleh ayahnya tersebut. Dalam mengasuh para santri KH. Ahmad Syakir dibantu oleh ibundanya, Nyai Nuriyah yang mengajar tahfiḍzul Qur’an. Pondok Pesantren Al-Hidayat ini diasuh oleh KH. Ahmad syakir sampai akhir hayatnya, yaitu pada tanggal 31 Januari 1991.

Setelah KH. Ahmad Syakir wafat, maka saat itu juga tanggung jawab Pondok Pesantren Al-Hidayat diasuh oleh KH. Muhammad Zaim, putra bungsunya. Semenjak diasuh oleh Muhammad Zaim inilah nama Pondok Pesantren Al-Hidayat mengalami beberapa perubahan dan kemajuan. Namun KH. Muhammad Zaim ini tidak bertahan lama mengasuh pondok warisan kakek dan ayahnya ini, beliau berusaha mendirikan pondok pesantren sendiri.

Maka mulai bulan Oktober 1992 Pondok Pesantren Al-Hidayat ini diserahkan kepada kakak sepupunya, yaitu KH. Zainuddin, sampai sekarang. Cita-cita KH. Muhammad Zaim untuk mendirikan pondok pesantren ini baru terwujud pada tahun 2003. Pada tanggal 27 Ramadhan 1424 H atau 21 November 2003 adalah awal berdirinya pondok pesantren, yang kemudian diberinya nama Pesantren Kauman.

4. Karya-Karya
KH. Ahmad Syakir tidak banyak menghasilkan karya tulis. Menurut penuturan KH. Muhammad Zaim (46 th) hanya ada 3 buah karya KH. Ahmad Syakir, yaitu

  1. Qamus Ulama Zuama berisi tentang ensiklopedi ulama dan pemimpin
  2. Kitab Nahwu berisi metode praktis memahami bahasa Arab dengan skema dan gambar
  3. Kitab Al Ḥikmah yang berisi tentang fikih, terdiri dari 4 juz (jilid) yang masih berupa tulisan tangan KH. Ahmad Syakir sendiri.

Kitab-kitab tersebut sebenarnya masih ada aslinya, yang masih berupa tulisan tangan KH. Ahmad Syakir sendiri. Namun semua sudah hilang dibawa oleh putra pertamanya, KH. Mustofa yang berada di Pasuruan Jawa Timur.

Hanya satu kitab yang masih terselamatkan, yaitu kitab Al-Ḥikmah, yang ditulis pada tahun 1973. Naskah tersebut sudah dibuat salinannya oleh Ahmad Yasin bin ‘Aqib salah seorang santri Lasem yang berasal dari Pasuruan. Penyalinan kitab tersebut dilakukan oleh Yasin ketika melanjutkan mondok di Yogyakarta. Naskah aslinya setelah dikembalikan kepada KH. Mustofa, juga turut hilang entah kemana.

Penyalinan kitab Al-Ḥikmah yang dilakukan oleh Ahmad Yasin ini selesai pada tanggal 4 Sya’ban 1404 H atau sekitar tahun 1983.  

Kitab Al-Ḥikmah fi Wiqayatil ummati ‘anil ḍulmah yang ditulis oleh KH. Ahmad Syakir Ma’shum ini merupakan kitab fiqih yang disusun berdasarkan pendapat 4 imam mazab (maẑahibul arba’ah).

Kitab tersebut terdiri dari 4 juz, juz pertama membahas tentang masalah Ṭaharah, juz kedua membahas khusus tentang masalah haid, juz ketiga membahas tentang masalah shalat, dan juz keempat membahas masalah zakat. Keempat kitab tersebut ditulis dengan aksara Pegon dan menggunakan bahasa Jawa Krama Madya.

Dalam penuturan yang lain, kitab tersebut hanya dua juz, pada juz I, yaitu kitab tentang Ṭaharah, dan pada juz II, yang membahas masalah haid. 

Diantara juz I dan II berada dalam satu bendel. Pada juz pertama membahas tentang taharah wa alatuha, Al ahdaś, fawāidu muhimmat, an najasāt, faidah, al mai musta’mal, al mai mutagayir, fawāidu muhimmat min masāilul miyahi, al ma’fuwat, dan masalah-masalah yang terjadi pada zaman sekarang.

Pada mukadimah atau pembukaan kitab Al-Hikmah, dijelaskan tentang asal mula munculnya hukum terhadap benda atau segala sesuatu. Segala sesuatu di dunia ini pada mulanya adalah suci, kecuali jika ada ‘illat atau dalil yang menunjukkan bahwa benda tersebut adalah najis. Kemudian benda-benda tersebut dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:

  1. Hayawanat, yaitu segala sesuatu yang memiliki nyawa atau yang hidup.
  2. Faḍalat, yaitu kotoran yang keluar dari dalam tubuh makhluk hidup.
  3. Jumadat, yaitu segala sesuatu yang tidak bernyawa dan yang bukan merupakan bagian atau sesuatu yang keluar dari makhluk hidup.

Pembukaan dalam kitab ini merupakan pokok bahasan umum dalam kitab-kitab fiqih klasik, sebelum masuk pada materi tentang hukum suatu benda. Namun ada hal-hal yang menunjukkan perbedaan dengan kitab-kitab fiqih klasik, yaitu:

  1. Aksara dan bahasa yang digunakan. Dengan menggunakan aksara Pegon dan bahasa Jawa Krama Madya menunjukkan nilai lokalitas ulama Jawa dalam mendakwahkan ajaran Islam sesuai dengan masyarakat yang dihadapinya.
  2. Kitab tersebut disusun berdasarkan permintaan umat, masyarakat sekitar (Lasem-Rembang) yang masih tergolong awam tentang hukum Islam, khususnya masalah taharah (bersuci).

Oleh sebab itu, dalam kitab tersebut contoh-contoh yang diberikan adalah masalah sehari-hari yang dihadapi masyarakat Lasem dan sekitarnya. Seperti masalah najis atau alat-alat bersucinya, dengan menggunakan contoh: petis, minyak tanah, kotoran cecak, bambu, ragi, ukuran air dengan menggunakan Kilogram, Liter atau Kati (Jawa).

Tidak hanya aksara, bahasa, dan istilah-istilah lokal (Jawa) yang digunakan oleh KH. Ahmad Syakir dalam kitab Al-Hikmah, tetapi terdapat juga permasalahan kontemporer yang sudah dibahas dalam kitab tersebut.

Diantara permasalahan kontemporer yang dibahas dalam kitab Al-Hikmah yaitu: masalah tahi lalat buatan, menggunakan rambut palsu, transfusi darah, alkohol, bank susu, dan donor mata.

Nuansa lokalitas dan kontemporer kitab Al-Hikmah ini yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini. Hal ini dianggap penting karena menunjukkan sikap arif seorang ulama Jawa yang peduli terhadap masyarakatnya dalam menghadapi perkembangan zaman.

5. Chart Silsilah
Chart silsilah guru KH. Ahmad Syakir Ma'shum dapat dilihat DI SINI, dan chart silsilah murid dapat dilihat DI SINI.

6. Referensi
wiki.laduni.id


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 31 Januari 2023, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa pada tanggal 31 januari 2024

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya