Biografi KH. Muhammad Khozin (Pengasuh Pondok Pesantren Langitan Tuban Ke-3)

 
Biografi KH. Muhammad Khozin (Pengasuh Pondok Pesantren Langitan Tuban Ke-3)

Daftar Isi

1.   Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.   Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Guru-guru

3.   Penerus
3.1  Anak-anak
3.2  Murid-murid

4.  Perjalanan Hidup dan Dakwah
5.  Keteladanan
6.  Referensi

 

1. Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
Syekh KH. Muhammad Khozin dilahirkan pada tahun  + 1870 M. Ayahnya bernama KH. Syihabuddin, seorang ulama pengasuh Pondok Pesantren Rohmatul Huda, yang terletak di Desa Rengel Tuban.

1.2 Riwayat Keluarga
Dari dua pernikahannya dengan Nyai Shofiyah putri KH.Ahmad Sholeh Pengasuh Pondok Pesantren Langitan dan Nyai Maryam  (Nyai  Khozin  II)  putri Nyai  Nur  Puling  dan  cucu  Kyai  Muhtar,  seorang pengasuh Pondok Pesantren Cepoko yang terkenal di daerah Nganjuk.

1.3 Wafat
Pondok  Pesantren Langitan selama kurang lebih 20 tahun Syekh KH.  Muhammad Khozin  mengasuh  lembaga  pendidikan  ini.  Beliau wafat pada tahun 1340 H/1921 M dan dimakamkan di kompleks pesarean keluarga di Pemakaman Umum Desa Mandungan Kecamatan Widang Kabupaten Tuban.

2. Sanad dan Pendidikan

Pendidikannya, dimulai dari sejak kecil, dengan belajar membaca al-Qur’an dan pengetahuan agama Islam tingkat dasar, di pesantren tersebut, di bawah bimbingan ayahnya sendiri,  KH.  Syihabuddin

2.1 Guru-guru

  1. KH. Syihabuddin pengasuh Pondok Pesantren Rohmatul Huda Rengel Tuban.
  2. Syaikhona Kholil Bangkalan Pengasuh Pondok Pesantren Kademangan Bangkalan
  3. KH. Ahmad Sholeh Pengasuh Pondok Pesantren Langitan

3. Penerus KH. Muhammad Khozin

3.1 Anak-anak

  1. Nyai  Djuwariyah  dinikahkan  dengan  Syekh  KH. Abdul  Hadi  Zahid  dan  selanjutnya  menggantikan mertuanya,  sebagai  pengasuh  Pondok  Pesantren Langitan. 
  2. Nyai  Masruroh  dinikahkan  dengan  KH. Djazuli dan selanjutnya mendirikan Pesantren Ploso di  Kediri.
  3. Nyai  Rabi’ah  dinikahkan dengan  KH.  Zaini  dan  selanjutnya  mendirikan Pesantren Sukomulyo di Lamongan. Dari KH. Zaini menurunkan Nyai Halimah, istri Syekh KH. Ahmad Marzuki  Zahid,  pengasuh  Pondok  Pesantren Langitan dewasa ini.
  4. Nyai  Fátimah dinikahkan  dengan  KH.  Basuni  dan  selanjutnya mendirikan  Pesantren  Miftahul  Ulum  di  Pulosari, Blitar.
  5. Nyai Chadidjah dinikahkan dengan KH.  Rafi’i  dan  selanjutnya  membantu  mengasuh Pondok Pesantren Langitan. KH. Rafi’i menurunkan KH.  Abdullah  Faqih,  pengasuh  Pondok  Pesantren Langitan dewasa ini.

3.2 Murid-murid

  1. KH. Djazuli Pesantren Ploso di  Kediri
  2. KH.  Zaini  Pesantren Sukomulyo di Lamongan
  3. KH. Basuni Pesantren  Miftahul  Ulum  di  Pulosari, Blitar.
  4. KH.  Rafi’i 
  5. KH. Abdul  Hadi  Zahid

4. Perjalanan Hidup dan Dakwah

Syekh KH. Muhammad Khozin dilahirkan pada tahun  + 1870 M. Ayahnya bernama KH. Syihabuddin, seorang ulama pengasuh Pondok Pesantren Rohmatul Huda, yang terletak di Desa Rengel Tuban. Pendidikannya, dimulai dari sejak kecil, dengan belajar membaca al-Qur’an dan pengetahuan agama Islam tingkat dasar, di pesantren tersebut, di bawah bimbingan ayahnya sendiri,  KH.  Syihabuddin.  Kemudian  ketika  menginjak usia remaja, beliau meneruskan pelajarannya ke Pondok  Pesantren  Kademangan  di  Bangkalan, Madura.  Dua  tahun  di  sana,  beliau  memperdalam pengetahuan tentang Ilmu Alat, Fiqh, Tauhid, dan lain sebagainya, di bawah bimbingan Syaikhona Kholil Bangkalan, seorang ulama yang paling masyhur pada akhir abad ke-19 di Bangkalan Madura.

Selanjutnya,  Syekh  KH.  Muhammad Khozin  meneruskan pelajarannya  ke  Pondok  Pesantren  Langitan.  Enam tahun  di  sini,  beliau  mendalami pengetahuan  tentang Fiqh, Tauhid, Tassawuf,  Ilmu  Alat  dengan  segala cabangnya, Mantiq, Ilmu Tafsir dan lain sebagainya. Beliau termasuk  kelompok  santri  yang  cerdas  dan  pintar. Selama beberapa tahun di Langitan, beliau telah mampu membantu mengajar para santri yang jauh lebih tua dari dirinya. Mengetahui akan kemahiran Syekh KH. Khozin tersebut, terdoronglah minat gurunya untuk mengambilnya  sebagai  menantu.  Untuk  itu,  pada tahun 1894 M. beliau dinikahkan dengan putri Syekh KH. Ahmad Sholeh bernama Nyai Shofiyah.

Selanjutnya, sesudah  mertuanya  wafat  pada  tahun  1902  M.  beliau menerima  amanah  dan  tugas  meneruskan  kepemimpinan  pondok,  sebagai  pengasuh  Pondok Pesantren Langitan. Setelah  berjalan  beberapa  tahun  mengasuh pesantren, beliau pada tahun 1904 M.40 pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Di sana sebagaimana kedua ulama terdahulu, beliau dalam waktu senggangnya berkenan  untuk  mengikuti  pengajian  halaqah di Masjidil  Haram  dan  sempat  berguru  kepada  para ulama terkemuka seperti Syekh Mahfud at-Tarmisi, Syekh  Ahmad Fathani dan lain sebagainya.

Sebagaimana kebiasaan di masa itu pengajian dan pengajaran di Masjidil Haram antara lain menjelaskan ”masyarakat Indonesia yang belajar  dan  berhalaqah di  Mekkah  pada  abad  ke-19 menggunakan  dua  bahasa,  yaitu  bahasa  Jawa  dan bahasa  Melayu  sebagai  sarana  penterjemahan  teks bahasa Arab dan bahasa pengantar pembelajarannya. Biasanya, mereka yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah  dan  Jawa  Timur  serta  Madura,  mengikuti halaqah dan kuliah yang menggunakan bahasa Jawa. Sedangkan  mereka  yang  berasal  dari  Makassar, Bugis, Aceh, Minangkabau dan Lampung, pergi ke guru-guru  yang  menggunakan  bahasa  Melayu sebagai media pengajaran.”

Sekembalinya dari Mekkah, dengan perpaduan  ilmu  dan  pengalaman,  baik  yang  diperolehnya selama  mengikuti  pengajian  di  Masjidil  Haram maupun  di  beberapa  pesantren,  beliau  membina pesantren dengan penuh mujahadah dan ketekunan. Setidak-tidaknya,  dengan  ilmunya,  kesederhanaannya  dan  budi  pekertinya  yang  luhur  serta  kewibawaannya,  beliau  mampu  menempatkan  Pondok Pesantren  Langitan  tetap  dalam  perkembangan. Santrinya  tetap  besar  jumlahnya  dan  diperkirakan mencapai  350 orang.  Mereka  berasal  dari  berbagai daerah seperti daerah-daerah di wilayah Jawa Timur dan daerah-daerah di wilayah Jawa Tengah.

Dari  segi  pengembangan ilmu,  sebagaimana sebelumnya,  beliau  tetap  mempertahankan  ilmu  pengetahuan  agama  sebagai  bagian  yang  terpenting dari semua materi pelajarannya. Di samping itu, beliau juga  mengusahakan  untuk  menambah  buku-buku pustaka. Sedangkan dari segi pengembangan organisasi, beliau tetap mempertahankan tradisi lama dengan mengangkat  seorang  santri  yang  cakap  untuk menjadi  lurah  pondok.

Dalam periode ini, sekembali beliau dari menunaikan ibadah haji terjadi banjir yang cukup dahsyat, lokasi Pondok Pesantren Langitan digenangi air Bengawan Solo dan terancam erosi cukup berat. Sehingga dengan terpaksa beliau memindahkan bangunan-bangunan pondok yang semula berada di tepi Bengawan Solo ke arah utara. Upaya ini juga dibarengi dengan perluasan areal pondok dan perbaikan sarana dan fasilitas pemukiman santri yang rusak akibat banjir. Pondok yang berhasil dibangun pada saat itu adalah sebanyak empat unit yang terdiri dari Pondok Kidul yang sekarang disebut dengan Pondok Al Ghozali, Pondok Lor yang terkenal dengan nama Pondok Al Maliki, Pondok Kulon atau yang saat ini lebih populer dengan nama Pondok As Syafii dan Pondok Wetan yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Pondok Al Hanafi.

Oleh karena itu, lokasi pondok sebagaimana telah disebutkan, pada tahun 1904 M. dipindahkan oleh Syekh KH. Muhammad Khozin ke tempat seperti keadaannya sekarang.  Tanahnya  di  samping  merupakan  wakaf dari KH. Muhammad Khozin, beliau juga menerima bantuan berupa tanah wakaf dari beberapa orang dermawan muslim seperti dari H. Nahrawi dan H. Idris. Tanah tersebut luasnya 2.710 ha.

Pada  tahun  1909  M.  setahun  sesudah wafatnya Nyai Shofíah, Syekh KH. Muhammad Khozin menikah lagi  dengan  Nyai Maryam  (Nyai  Muhammad Khozin  II)  putri Nyai  Nur  Puling  dan  cucu  Kyai  Muhtar,  seorang pengasuh Pondok Pesantren Cepoko yang terkenal di daerah Nganjuk. Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai 3 orang putra dan 2 orang putri, yang setelah dewasa dinikahkan  dengan  para  santrinya.  Nyai  Fátimah dinikahkan  dengan  KH.  Basuni  dan  selanjutnya mendirikan  Pesantren  Miftahul  Ulum  di  Pulosari, Blitar. Sedangkan Nyai Chadidjah dinikahkan dengan KH.  Rafi’i  dan  selanjutnya  membantu  mengasuh Pondok Pesantren Langitan. KH. Rafi’i menurunkan KH.  Abdullah  Faqih,  pengasuh  Pondok  Pesantren Langitan dewasa ini.

Adapun  dari  pernikahannya  dengan  istri pertama,  beliau  dikaruniai  5  orang  putra  dan  putri,  2 orang  diantaranya  wafat  ketika  masih  kecil, sedangkan  3  lainnya  dinikahkan  dengan  santrinya. Nyai  Djuwariyah  dinikahkan  dengan  Syekh  KH. Abdul  Hadi  Zahid  dan  selanjutnya  menggantikan mertuanya,  sebagai  pengasuh  Pondok  Pesantren Langitan.  Nyai  Masruroh  dinikahkan  dengan  KH. Djazuli dan selanjutnya mendirikan Pesantren Ploso di  Kediri,  sedangkan  Nyai  Rabi’ah  dinikahkan dengan  KH.  Zaini  dan  selanjutnya  mendirikan Pesantren Sukomulyo di Lamongan. Dari KH. Zaini menurunkan Nyai Halimah, istri Syekh KH. Ahmad Marzuki  Zahid,  pengasuh  Pondok  Pesantren Langitan dewasa ini.

Demikianlah,  perkembangan  Pondok  Pesantren Langitan selama kurang lebih 20 tahun Syekh KH.  Muhammad Khozin  mengasuh  lembaga  pendidikan  ini.  Beliau wafat pada tahun 1340 H/1921 M dan dimakamkan di kompleks pesarean keluarga di Desa Widang. Beliau digantikan  oleh  menantunya,  bernama  Syekh  KH. Abdul Hadi Zahid.

5. Keteladanan

KH.  Muhammad Khozin  termasuk  kelompok  santri  yang  cerdas  dan  pintar. Selama beberapa tahun di Langitan, beliau telah mampu membantu mengajar para santri yang jauh lebih tua dari dirinya. Mengetahui akan kemahiran Syekh KH. Khozin tersebut, terdoronglah minat gurunya untuk mengambilnya  sebagai  menantu.  Untuk  itu,  pada tahun 1894 M. beliau dinikahkan dengan putri Syekh KH. Ahmad Sholeh bernama Nyai Shofiyah.

Beliau  membina pesantren dengan penuh mujahadah dan ketekunan. Setidak-tidaknya,  dengan  ilmunya,  kesederhanaannya  dan  budi  pekertinya  yang  luhur  serta  kewibawaannya,  beliau  mampu  menempatkan  Pondok Pesantren  Langitan  tetap  dalam  perkembangan. Santrinya  tetap  besar  jumlahnya  dan  diperkirakan mencapai  350 orang.  Mereka  berasal  dari  berbagai daerah seperti daerah-daerah di wilayah Jawa Timur dan daerah-daerah di wilayah Jawa Tengah.

6. Referensi

  1. langitan.net
  2. Siddiq,  KH.  Ahmad,  Khittah  Nahdliyah,  Surabaya: Balai Buku, 1979. 
  3. Abbas,  KH.  Siradjudin,  Ulama Syafi’i  Dan Kitab-Kitabnya Dari Abad Ke Abad, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1975.
  4. Buku Daftar Pondok Pesantren Di Jawa Timur 1980, Dinas Pendidikan Pondok Pesantren Departemen Agama Wilayah Jawa Timur 
  5. Kabupaten Daerah Tingkat II Tuban, Tuban Hari Ini Dan  Hari  Esok,  Tuban:  Pemda  Kabupaten Tuban, 1980.

 

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 06 Juni 2016
Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan beberapa revisi


Editor : Achmad Susanto

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya