Penyebab Hati tetap Gelisah Meski Rajin Beribadah

 
Penyebab Hati tetap Gelisah Meski Rajin Beribadah
Sumber Gambar: Pinterest,Ilustrasi: Laduni.id

Laduni.ID, Jakarta - Berikut ini sebuah cerita dari Abu Yazid Al-Busthami, seorang sufi dan pengajar tasawuf yang mengajarkan pelajaran berharga bagi kita.

Di antara jamaahnya, ada seorang santri yang juga memiliki banyak murid. Santri itu selalu memakai pakaian yang menunjukkan kesalihannya, seperti baju putih, sorban, dan wewangian tertentu.
Suatu saat, muridnya mengadu kepada Abu Yazid, “Tuan Guru, saya sudah beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan puasa setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan.”

Abu Yazid berkata, “Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun, kau takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu.”

 Murid itu heran, "Mengapa, ya Tuan Guru?”
"Karena kau tertutup oleh dirimu,"
jawab Abu Yazid.
 Murid itu meminta agar Abu Yazid membuka hijabnya. Abu Yazid berkata, “Bisa, tapi kau takkan melakukannya.”
"Tentu saja akan aku lakukan,"
sanggah murid itu.

"Baiklah kalau begitu," kata Abu Yazid, "sekarang tanggalkan pakaianmu. Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping. Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah ke pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka, 'Hai anak-anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu kantung kacang.' Lalu datangilah tempat dimana jamaah kamu sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka, 'Siapa yang mau menampar mukaku, aku beri satu kantong kacang!'"

Murid itu terkejut dan Abu Yazid berkata, “Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir.”
Murid itu heran dan Abu Yazid menjawab, “Karena kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan maha suci, seakan-akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu.”

Murid itu kembali meminta nasihat dari Abu Yazid, tetapi Abu Yazid mengingatkan muridnya bahwa ia takkan mampu melakukannya.

Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Abu Yazid mengajarkan bahwa orang yang sering beribadah mudah terkena penyakit ujub dan takabur. "Hati-hatilah kalian dengan ujub," pesan Iblis. Dahulu, Iblis beribadah ribuan tahun kepada Allah. Tetapi karena takaburnya terhadap Adam, Tuhan menjatuhkan Iblis ke derajat yang serendah-rendahnya. Takabur dapat terjadi karena amal atau kedudukan kita. Kita sering merasa menjadi orang yang penting dan mulia. Abu Yazid menyuruh kita menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah hati. Hanya dengan itu kita bisa mencapai hadirat Allah SWT.

Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub. Mereka merasa telah memiliki ilmu yang banyak. Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, "Ya Rasulallah, aku rasa aku telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat kupegang teguh?" Nabi menjawab, "Katakanlah: Tuhanku Allah, kemudian beristiqamahlah kamu."

Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadah dan dapat menghambat kemajuan manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Abu Yazid mengingatkan kita supaya menghindari perasaan ujub agar terhindar dari perpecahan di kalangan kaum muslimin. Penawarnya hanya satu, belajarlah menghinakan diri kita, seperti yang dinasihatkan Abu Yazid Al-Busthami kepada santrinya.

Berikut ini ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnad-nya;

Suatu hari, di depan Rasulullah SAW Abu Bakar menceritakan seorang sahabat yang amat rajin ibadahnya. Ketekunannya menakjubkan semua orang. Tapi Rasulullah tidak memberikan komentar apa-apa. Para sahabat keheranan. Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tidak menyuruh sahabat yang lain agar mengikuti sahabat ahli ibadah itu.

Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu lewat di hadapan majelis Nabi. Ia kemudian duduk di tempat itu tanpa mengucapkan salam. Abu Bakar berkata kepada Nabi, “Itulah orang yang tadi kita bicarakan, ya Rasulallah.”

Nabi hanya berkata, “Aku lihat ada bekas sentuhan setan di wajahnya.”

Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, “Bukankah kalau kamu datang di satu majelis kamu merasa bahwa kamulah orang yang paling salih di majelis itu?” Sahabat yang ditanya menjawab, “Allahumma, na’am. Ya Allah, memang begitulah aku.” Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis Nabi.

Setelah itu Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang mau membunuh orang itu?” “Aku,” jawab Abu Bakar.
Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia kembali lagi, “Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang ruku’.”

Nabi tetap bertanya, “Siapa yang mau membunuh orang itu?” Umar bin Khaththab menjawab, “Aku.” Tapi seperti juga Abu Bakar, ia kembali tanpa membunuh orang itu, “Bagaimana mungkin aku bunuh orang yang sedang bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?” Nabi masih bertanya,

“Siapa yang akan membunuh orang itu?” Imam Ali bangkit, “Aku.” Ia lalu keluar dengan membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak berlumuran darah, “Ia telah pergi, ya Rasulullah.”

Nabi kemudian bersabda, “Sekiranya engkau bunuh dia. Umatku takkan pecah sepeninggalku….”


Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah:
“Kisah ini memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi umat Muslim. Perasaan ujub dan superioritas dapat menyebabkan perpecahan di tengah umat Islam, dan solusinya adalah dengan belajar untuk merendahkan hati dan mengakui kelemahan kita. Dengan demikian, kita dapat menjaga hubungan yang harmonis dengan sesama umat Muslim dan memperkuat persatuan umat Islam secara keseluruhan.” []

 


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 27 Agustus 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Lisantono