Jokowi dan Anti-Intelektualisme

 
Jokowi dan Anti-Intelektualisme

LADUNI.ID, Sosial Budaya - Selalu ada cara untuk menyerang Jokowi. Itulah kredo kaum “oposisi”. Melihat rakyat ikut gembira dalam hirukpikuk dan kemajuan Indonesia dalam meraih medali emas di Asian Games 2018, lewat “media-media alternative”-nya, mereka mencoba menyorongkan sejenis pseudo-ilmiah cum pseudo-intelek(tuil): Jokowi anti intelektuil(isme)! Begitu pesan besar yang ingin mereka sampaikan.

Dan ini, tentu saja agak berbeda dengan ciri umum mereka selama ini yang kerap mengaduk-aduk isu berbasis agama – hal yang lebih condong ke perkara iman, kepercayaan dan emosional, ketimbang soal-soal yang lebih ilmiah, dingin dan rasional. Lengkap dengan meminjam nama besar Yudi Latif sebagai (lagi-lagi) “cendekiawan muslim”, yang belum lama ini melepaskan posisinya sebagai Kepala BPIP.

Saya tak tahu persis, media mana yang pertama melansir artikel bertajuk “Yudi Latif: Jokowi membawa arus besar anti-intelektualisme” itu. Apakah eramuslim, konfrontasi, nusanews, atau apa lagi.

Yang pasti sejak siang kemarin ada beberapa posting yang berlalulang di akun facebook saya, menshare “berita” itu – yang masing-masing berasal dari media berbeda. Hal yang menunjukkan bagaimana kompak dan militannya kaum ABJ ini.

Dan dari sisi teknis jurnalistik, “berita” tersebut jelas kurang lengkap. Tak mengandung 5W+1H secara lengkap, sebagai syarat dasar penulisan sekaligus ciri berita. Ia hanya menyebutkan aspek bagaimana (H) Jokowi. Kapan, di mana, dan kenapa Yudi Latief mengemukakan hal itu tak disebutkan sama sekali.

Lagi-lagi menegaskan kredo oposan: Pokoknya serang, apa dan bagaimana pun caranya. Masih dalam konteks jurnalistik, sebagai orang yang pernah berkecimpung di industri pers saya menilai artikel tersebut sebagai bukti kemalasan pengelolanya. Kalaupun pendapat Yudi Latief itu dianggap masih aktual dan layak diapungkan kembali, kenapa tak berusaha untuk menyegarkannya dengan mewawancara ulang sang tokoh? Bahkan, sangat mungkin ada pendapat Yudi yang lebih gress dan lebih nendang bagi kepentingan mereka. Atau, mereka gagal melakukan ini? Tak berhasil mengontak Yudi sampai deadline tiba. Atau, Yudi malah menolak diwawancarai? Wallahualam.

Sekadar melengkapi informasi: Bila dicermati, termasuk susunan beberapa kalimat dan kutipan yang ada dalam “berita” itu, artikel tersebut tak lain dari semacam ringkasan dari artikel yang ditulis Yudi Latief pada 2015 silam. Persisnya artikel Yudi Latief yang dimuat kompas dotcom pada 2 Februari 2015, “Negara Sengkarut Pikir”. Secara isi atau subtansi, “berita” itu tak menyalahi apa yang ditulis Yudi dalam artikelnya. Namun, “peringkasan” dan “penayangan ulang”-nya yang selang tiga tahun menegaskan kredo tadi.

Dan, itulah kenapa saya menyubutnya sebagai “pseudo ilmiah” atau “pseudo intelektualisme” yang disodorkan kaum oposisi. Lengkap dengan diksi dan istilah yang selama ini tak diakrabi “pasar” mereka.

Bagi saya, ini tak lebih dari upaya mereka untuk menunjukkan bahwa “gua juga intelek, lo…” sama persis dengan upaya mereka untuk mengidentifikasikan diri dengan kelas menengah negeri ini. Sekaligus, bagian dari upaya mereka untuk menyeret Yudi Latief, yang notabene “kecewa” kepada rezim Jokowi pasca kasus BPIP, untuk bergabung ke dalam gerbong mereka. Sama halnya dengan upaya mereka mengelus-elus Mahfud MD setelah batal jadi Cawapres Jokowi, dan curhat di sebuah acara pseudo diskusi televisi.

Artikel Yudi Latief sendiri, yang orisinal, sudah dibantah seorang intelektual Bandung, Ismail Al Anshory, nyaris saat artikel itu tayang di kompasdotcom. Lewat blognya, thedufresneblogspot dotcom, bantahan Al Anshory itu cukup meyakinkan.

Ia tak hanya menunjukkan kesalahan filosofis yang dilakukan Yudi Latief, tapi juga menunjukkan kegagalan Yudi dalam memahami realitas politik yang dihadapi Jokowi yang memicu kritik Yudi tersebut.

Sementara, arus anti-intelektualisme, kita tahu, berlangsung jauh sebelum Jokowi berkuasa. Ia bisa disebut hanya kena getahnya. Itupun, karena segelintir oposan yang dengan sadar dan militan memanfaatkan gelombang besar itu demi kepentingannya – yang notabene, hakekatnya, sama-sama anti-intelektualisme.

Ya, saya melihat watak anti-intelektualisme di kalangan oposisi. Tak semata ketidakdewasaan dalam beragama atau berbangsa-bernegara. Dan saya kira, saya tak perlu menuliskan pembuktian pendapat saya itu di sini. Anda bisa googling sendiri. Pun tentang riwayat intelektualisme vs anti-intelektualisme. Sebagai appetizer, sekaligus menghindari opini sarjana dalam negeri yang dikhawatirkan bias politik dan ideologi, tapi tetap memiliki citarasa melayu, saya sodorkan sebuah blog sejumlah mahasiswa muslim Singapura ini: theunthought blogspot dotcom.

Di sana ada artikel menarik tentang anti-intelektualisme. Selamat ber-intelektuil! Selamat menyelami intelektualisme.

FOTO: Sindiran terhadap fenomena pemujaan tubuh. Bagi saya, gambar ini juga semiotika anti intelektualisme yang paling intelek sekaligus kontekstual banget. Sumber: twitter/idanpohan.

Maman Gantra (Penulis media swasta di Jakarta)